Skip to content

Pengadaan Tanah Ibu Kota Nusantara, Untuk Masyarakat Atau Swasta?”

Senior Associate dari Hanafiah Pongawa and Patners (“Dentons HPRP'), Winda Tania saat foto bersama dengan panitia seminar dan pembicara lainnya

(Depok – Notarynews) Pemindahan Ibu Kota Negara merupakan salah satu proyek strategis nasional untuk menciptakan kota berkelanjutan guna menarik investasi baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Otorita Ibu Kota Nusantara, yang bertugas untuk persiapan, pembangunan, dan pengelolaan kota tersebut, memiliki wewenang atas pengelolaan tanah yang termasuk dalam aset yang dikuasai oleh otorita.

Lantas sejauh mana kewenangan pemegang hak pengelolaan di Ibu Kota Nusantara dan bagaimana implikasinya pada aktivitas investasi di sana. Dan sejumlah pertanyaan mengemuka di tengah masyarakat yang umumnya datang dari pengamat dan pengiat agraria serta  tak ketinggalan para kalangan akademisi.  Seperti apa Pengadaan Tanah Ibu Kota Nusantara, Untuk Masyarakat Atau Swasta?

Dan faktanya sejauh ini menurut Prof. Dr. Mahfud MD dalam satu kesempatan (debat kedua Capres Cawapres Desember 2023 lalu, pembangunan IKN masih seluruhnya dibiayai APBN, dan menariknya belum ada dana pembangunan yang dibiayai oleh investor, karena belum ada satupun investor yang masuk ke dalam proyek itu.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut diatas, Ikatan Mahasiswa Magister Kenotariatan (IMMK) berkolaborasi dengan Ikatan Mahasiswa Magister Hukum (IMMH) mencoba mengali akar permasalahan Pengadaan Tanah di Ibu Kota Nusantara tersebut dengan menyelenggarakan seminar nasional dalam rangka menyambut Dies Natalis Universitas Indonesia Yang Ke 100,  yang digelar pada Jumat, 23 Febrauari 2024 di kampus Fakultas Hukum Universitas Indonesia bertajuk “Pengadaan Tanah Ibu Kota Nusantara, Untuk Masyarakat Atau Swasta?”.

Hadir pada acara ini, Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Dr. Parulian Paidi Aritonang, SH, LLm, MPP, CCMS, Ketua IMMH, Muhammad Reza Firdaus, S.H., Ketua IMMK, Dimas Aditya Pangestu, S.H. dan Ketua Panitia Dies Natalis ke 100 Universitas Indonesia, Yu Un Oppusunggu, S.H., LL.M., Ph.D.

Dihadirkan sebagai pembicara Guru Besar Hukum Agraria, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Prof. Dr. Nurhasan Ismail, SH, MSi, Dosen Prodi Magister Kenotaraiatan Fakultas Hukum Universitas Warmadewa, Bali, Dr. I Made Pria Dharsana, SH, M. Hum dan Winda Tania, Senior Associate  dari Hanafiah Ponggawa and Partners “Dentons HPRP”).

Guru Besar Hukum Agraria, FH UGM, Prof Dr. Nurhasan Ismail, SH, MSi saat menyampaikan paparannya
Guru Besar Hukum Agraria, FH UGM, Prof Dr. Nurhasan Ismail, SH, MSi saat menyampaikan paparannya

Guru Besar Hukum Agraria, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Prof. Dr. Nurhasan Ismail, SH, MSi dalam paparannya menyampaikan bahwa perolahan tanah untuk kepentingan IKN bisa dilakukan melalui dua cara sesuai status kawasan. Untuk perolehan tanah yang ada dalam kawasan hutan misalnya, bisa dilakukan melalui Pelepasan Kawasan Hutan menjadi kawasan non hutan dengan ketentuan : pertama, sesuai dengan peraturan bidang kehitanan. Kedua, harus tetap menghormati keberadaan tanah masyarakat & MHA jika ada.

Sedangkan untuk perolehan tanah kepunyaan warga masyarakat dan Masyarakat Hukum Adat (MHA) harus dilakukan melalui  proses pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum dan kepentingan Program Strategis Nasional sebagaimana diatur dalam UU No.2/2012 sebagaimana telah diubah dengan UU No.6/2023 dan PP No.19/2021.

“Dengan catatan, pembangunan IKN termasuk Program Strategis Nasional sehingga perolehan tanahnya harus sesuai dengan peraturan perinfang-undangan pengadaan tanah, bahkan dalam aspek-aspek tertentu berada di atas kepentingan umum,” terang Prof Nurhasan.

Sehingga menurut Guru Besar Hukum Agraria FH UGM ini, proses perolehan tanah secara langsung antara Badan Otorita IKN dengan warga masyarakat dan MHA yang mempunyai hak atas tanah bisa dilakukan melalui pelepasan secara sukarela, ruislag, atau cara lain yang disepakati.

Dengan adanya pengendalian tanah yang ada dalam wilayah IKN, menurut Prof Nurhasan, maknanya bahwa setiap pemilik tanah yang ada di wilayah IKN hanya dapat memperalihkan tanah, pertama, atas dasar persetujuan Badan Otoritas; dan kedua hak prioritas untuk menerima peralihan ada pada Badan Otoritas IKN. Dengan kata lain : pengendalian sebagai cara Badan Otoritas IKN memperoleh tanah.

Selanjutnya, untuk pemanfaatan tanah hasil pengadaan tanah IKN,  yang diperuntukkan sebagai tempat kantor pemerintahan dan  pendukung digunakan langsung sendiri oleh Badan Otoritas. Sedangkan tanah yang berada di lokasi pengembangan berstatus HPL dan terbuka untuk dikerjasamakan dengan pihak lain sebagai Mitra.

“Adapun pihak lain yang bisa dijadikan mitra, dalam hal kerjasama sebagai pemberian fasilitas khusus kepada pihak lain yang mendukung pembiayaan dalam rangka persiapan, pembangunan, pemindahan, & pengembangan IKN. Dan kerja sama pemanfaatan tanah yang terbuka bagi siapapun untuk menjadi mitra,” ujar Prof Nurhasan dalam paparannya.

Prof Nurhasan menambahkan bahwa kerjasama badan otorita dengan mitra bisa dilakukan dengan Perjanjian Pemanfaatan Bagian Tanah HPL yang berisi juga rekomendasi untuk mengajukan permohonan hak atas tanah. Sedangkan untuk permohonan hak atas tanah yang sesuai dengan rencana penggunaan : HM dengan konsekuensi HPL nya hapus untuk bagian tanah tersebut, HGU jika untuk untuk pertanian luas, HGB jika untuk kegiatan non pertanian, dan HPJW.

Selanjutnya, bicara soal perlakuan terhadap mitra dalam hal bagaimana tahapan pemanfaatan tanah hak penglolaan (HPL), Guru Besar Hukum Agraria UGM ini menyampaikan bahwa terdapat fakta normatif sebagaimana dikemukakan sebelumnya, terbuka akan adanya tafsir dan pendapat yang berbeda, tergantung pada aspek normatif yang dijadikan rujukan dan komprehensif tidaknya memahami seluruh norma yang terkait.

Prof. Dr. Nurhasan Ismail, SH. MSi saat menerima plakat dari Kaprodi MKn
Prof. Dr. Nurhasan Ismail, SH. MSi saat menerima plakat dari Dekan FH UI , Dr. Parulian Paidi Aritonang, SH, LLm, MPP, CCMS

Prof Nurhasan menilai ada kelompok yang berpendapat bahwa pengadaan tanah di IKN tetap dimaksudkan untuk tempat pembangunan bagi kepentingan umum dengan pertimbangan, pelaksanaan pengadaan tanahnya dilakukan oleh pemerintah atau pemerintah daerah atau oleh Badan Otoritas IKN sebagaimana ditentukan Pasal 11 UU No.2/2012 dan Perpres No.65/2022, penggunaannya diperuntukkan bagi salah satu kegiatan pembangunan yang juga disebutkan dalam Pasal 10 UU No.2/2012 sebagaimana telah diubah dengan UU No.6/2023, kepemilikan tanahnya tetap ada pemerintah, Pemda atau Badan Otorita IKN meskipun dalam pemanfaatannya diserahkan kepada Mitra swasta dalam rentang waktu yang sangat lama (95/80 tahun) dengan tahapan sebagaimana telah dijelaskan di atas kewajiban pihak mitra dalam pemanfaatan tanah sungguh dikontrol dan jika dilanggar langsung dibatalkan.

Dr. I Made Pria Dharsana, SH, M.Hum
Dr. I Made Pria Dharsana, SH, M.Hum

Kesempatan selanjutnya, Dosen Notariat Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Universitas Warmadewa Bali, Dr. I Made Pria Dharsana, SH, M. Hum mengatakan bahwa perolehan hak atas tanah dan penguasaan tanah oleh investor di Ibukota Negara telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 21 Tahun 2023 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara.

“Pasal 16A yang mengatur tentang angka waktu hak atas tanah. Jika dirangkum, rancangan batang tubuh dan penjelasan pasal ini mengatur hal-hal sebagai berikut: Jangka waktu hak guna usaha (HGU) bisa selama 190 tahun, meliputi siklus pertama paling lama 95 tahun dan siklus kedua 95 tahun. Tahapan di setiap siklus meliputi pemberian hak 35 tahun; perpanjangan 25 tahun; dan pembaruan 35 tahun,’ terang Made Pria.

“Adapun jangka waktu hak guna bangunan (HGB) dan hak pakai bisa selama 160 tahun, meliputi siklus pertama paling lama 80 tahun dan siklus kedua 80 tahun. Tahapan di setiap siklus meliputi pemberian hak 30 tahun; perpanjangan 20 tahun; dan pembaruan 30 tahun,” imbuh Made Pria.

Hanya saja, Dosen Notariat UI dan Unwar, Bali ini memberikan catatan kritis bahwa pemberian hak atas tanah sangat panjang, bahkan melebihi aturan zaman kolonial. Jika dilihat pada klausul dua siklus dalam pemberian hak atas tanah menurut Made Pria sejatinya juga tak dikenal dalam UU Pokok Agraria.

“Coba saja tengok pada Pasal 16A. Pasal baru ini disisipkan di revisi UU IKN untuk mengatur lebih lanjut Pasal 16 ayat 7 undang-undang lama yang menyatakan Otorita Ibu Kota Nusantara berwenang mengikatkan diri dengan setiap individu atau badan hukum dalam perjanjian hak atas tanah. Adapun Pasal 16A menjabarkan bahwa perjanjian hak atas tanah yang dimaksudkan bisa berupa hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), dan hak pakai,” terangnya.

Masalahnya, lanjut Made Pria, dalam rumusan Pasal 16A, jangka waktu pemberian berbagai jenis hak atas tanah tersebut sangat panjang. HGU, misalnya, kelak dapat diberikan dalam dua siklus, masing-masing dengan jangka waktu paling lama 95 tahun. Setiap siklus HGU tersebut terbagi dalam tahapan pemberian selama 35 tahun, perpanjangan 25 tahun, dan pembaruan 35 tahun. Jika ditotal, dua siklus pemberian hak itu membuka peluang bagi pemegang HGU untuk menguasai dan mengusahakan tanah di wilayah IKN selama 190 tahun.

Dan jika melihat skema berupa dua siklus, pemberian hak atas tanah juga diberlakukan pada HGB dan hak pakai. Bedanya, lanjut Made Pria jangka waktu di setiap siklus HGB dan hak pakai ini hanya 80 tahun. Dengan demikian, jika ditotal, pemegang hak bisa memanfaatkan dua jenis hak atas tanah tersebut selama 160 tahun.

Artinya apa, pengaturan dua siklus pemberian hak atas tanah di IKN itu bisa mengakibatkan masalah lantaran tak dikenal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

Menurut Made Pria, jangka waktu hak atas tanah dalam RUU IKN ini bahkan lebih panjang dibanding Agrarische Wet 1870, produk kolonial yang hanya memberi konsesi selama 75 tahun. Sedangkan regulasi HGU di IKN sekarang akan diberikan 190 tahun dalam dua siklus. Ini lebih kolonial dari aturan kolonial.

“Saya melihat UU baru ini sarat kepentingan investor agar mau menanamkan modal di IKN. Agar investor tertarik, sehingga pemerintah memberikan jaminan hukum hak atas tanahnya sangat panjang,” imbuh Made.

Mengutip pendapat Guru Besar FH UGM, Prof. Dr. Mari W. Sumardjono soal jangka waktu atas tanah di IKN (Harian Kompas, 23/3/2023), diungkapkan Made Pria bahwa diperlukan penyempurnaan rumusan pengaturan tentang jangka waktu HGU/HGB/hak pakai dalam PP No 12 Tahun 2023.  “Diperlukan dimaksud agar tidak melanggar putusan Mahkamah Konstitusi. Upaya tersebut agar dirumuskan dalam peraturan menteri,” terang Made Pria.

Made Pria menjelaskan bahwa kata dicatat dalam sertifikat dan dimuat dalam sertifikat  tanpa penjelasan. Artinya apa, dalam Penjelasan PP No 12/2023, membuka peluang timbulnya berbagal penafsiran. Pertama, apakah makna dicatat dalam sertifikat itu? Jika hal Itu dimaknai sebagai pencatatan atas SK.

Selanjutnya, terkait perpanjangan dan pembaruan HGU/HGB/Hak Pakal maka hal Itu tidak menimbulkan masalah. Namun, jika Kata dicatat itu dimaknal sebagai Pendaftaran Perpanjangan Dan Pembaruan HGU/HGB/Hak Pakal sekaligus hal ini elanggar Putusan MK No 21- 22/PUU-V/2007).

Kedua, tidak jelas apa yang dimaksudkan dengan dimuat dalam sertifikat HGU/HGB/Hak Pakal, apakah sama artinya dengan kata dicatat? Jika dianggap sama, tanpa diikuti dengan frasa sejak berakhirnya Hak Atas Tanah, rumusan itu bertentangan dengan Putusan MK.

“Pertimbangannya, pertama, pemberian perpanjangan dan pembaruan Hak Atas Tanah yang dituangkan dalam SK itu tiidak bertentangan dengan konsepsi UUPA Dan tidak melanggar putusan Mahkamah Konstitusi. Alasannya, karena SK Itu merupakan janji yang baru dapat terwujud ketika didaftar dan jika semua persyaratan dipenuhi dan telah dilakukan evaluasi,” tegas Made Pria.

Adapun upaya pemberian perpanjangan dan pembaruan Hak Atas Tanah sekaligus yang dimuat dalam SK menurut Made Pria, hal itu merupakan penyederhanaan administrasi dan bukan penyimpangan Konsepsi. Kedua, untuk memberikan penegasan bahwa jangka Waktu HGU/HGB/Hak Pakai dalam PP No 12 Tahun 2023 tidak melanggar Putusan MK.

I Made Pria Dharsana saat menerima plakat dari panitia
I Made Pria Dharsana saat menerima plakat dari panitia

Untuk itulah, ditegaskan Made Pria, perlunya dilakukan penyempurnaan rumusan melalui penambahan Frasa “Sejak tanggal berakhirnya Hak Atas Tanah setelah frasa dicatat dalam Sertifikat HGU, HGB dan Hak Pakai.  Selanjutnya, bisa menjadi koreksi atau penyempurnaan rumusan melalui Peraturan Menteri nengenai pengaturan tentang Jangka Waktu HGU/HGB/hak pakai dalam PP No 12 Tahun 2023. (Pramono)

 

 

Releated Posts

No comment yet, add your voice below!


Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow Us Social Media

ADVERTISMENT

Are You Ready to Explore the Renewed JupiterX with Advanced User Experience?

Recent Posts

ADVERTISMENT