(Depok – Notarynews) Konstitusi Indonesia memberikan tanggung jawab kepada negara untuk mengelola bumi, air, dan sumber daya alam yang ada di Indonesia untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat. Hal ini secara spesifik terkandung dalam bunyi Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dan berkaitan dengan dasar serta keberadaan reforma agraria di Indonesia. Undang-Undang Nomor 21 Republik Indonesia Tahun 2023 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibukota Negara (UU IKN) memiliki nilai landreform dalam konstitusi yang mengunakan tanah untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Eksistensi nilai pada Pasal 33 ayat (3) menitikberatkan pada tujuan konstitusi untuk kepentingan umum.
Hal ini tercermin dari adanya kepastian mengenai hak-hak pribadi sekaligus mempertegas kewenangan negara dalam mengatur pengunaan tanah di wilayah kesatuan Republik Indonesia. Ibu Kota Nusantara merupakan salah satu cita-cita negara sejak lama, dan pengadaan tanah IKN erat kaitanya dengan pengadaan tanah sebagai salah prasyarat menuju pembangunan infrastruktur negara.

Dalam pembangunan IKN mencuat isu penting yang harus yang harus dikaji lebih dalam mengenai apakah, pengadaan tanah IKN ini dilaksanakan guna kepentingan umum atau swasta, karena sejauh ini melihat pembanguan IKN ternyata tidak saja mengunakan dana APBN, tapi disinyalir lebih banyak mengandalkan investasi dari pihak swasta.
“Secara hukum, persoalan pemindahan ibu kota negara (IKN) baru telah dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 21 Republik Indonesia Tahun 2023 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibukota Negara (UU IKN). Dalam UU IKN yang mengatur ketentuan khusus mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam pembangunan ibu kota baru yang bernama Nusantara. Dalam UU tersebut, pemerintah menetapkan IKN berlokasi di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim). Cakupan wilayah IKN mencapai 256.142 hektare di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Kaltim. Sedangkan kawasan inti di Kecamatan Sepaku seluas 6.671 hektare. Pembiayaan pembangunanIibukota Nusantara ditaksir Rp 467 triliun”.
Winda Tania saat menyampaikan paparannya
Demkian disampaikan oleh Winda Tania, Partners dari Hanafiah Pongawa and Patners (“Dentons HPRP”), pada Seminar Nasional bertajuk “Pengadaan Tanah Ibu Kota Nusantara, Untuk Masyaralat atau Swasta?” yang diselenggarakan oleh Ikatan Mahasiswa Magister Kenotariatan (IMMK) dan Ikatan Mahasiswa Magister Hukum (IMMH) Universitas Indonesia, Jumat (23/2) dalam rangka Dies Natalis Universitas Indonesia yang ke 100. Partners Dentons HPRP ini mengangkat soal “Aspek Hukum Penyelenggaraan Pertanahan Di Ibu Kota Nusantara”.
Menurut Winda Tania, UU IKN terbaru memuat pasal baru tentang pertanahan sebagaimana tertuang dalam Pasal 15A. Ketentuan itu mengatur tanah di IKN terdiri dari Barang Milik Negara (BMN), barang milik OIKN, tanah milik masyarakat, dan tanah negara. Tanah BMN terkait dengan penyelenggaraan urusan pemerintah pusat dan diberi hak pakai.
“Tanah OIKN merupakan tanah yang tidak terkait penyelenggaraan urusan pemerintah pusat dan diberikan hak pengelolaan kepada OIKN. Hak atas tanah (HAT) dapat diberikan di atas tanah hak pengelolaan OIKN. OIKN diberi kewenangan untuk melepaskan hak pengelolaan tanah pada tanah yang statusnya barang milik OIKN,” ujar Winda.
“UU tentang IKN itu dibuat antara lain memperluas kewenangan OIK agar menjadi lebih lincah. Khususnya dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah (Pemda) khusus IKN. Berbagai materi mengatur berbagai ketentuan yang tujuannnya agar menarik investor. Misalnya, Pasal 15A mengatur tanah di IKN terdiri dari Barang Milik Negara (BMN), barang milik OIKN, tanah milik masyarakat, dan tanah negara. Tanah yang ditetapkan sebagai barang milik OIKN merupakan tanah yang tidak terkait dengan penyelenggaraan urusan pemerintah pusat dan diberikan hak pengelolaan kepada OIKN. Diatas tanah hak pengelolaan OIKN itu dapat diberikan hak atas tanah (HAT),” terang Winda.
Dalam hal penggunaan tanah di Ibu Kota Negara, lanjut Winda, kali ini pemerintah dengan mempertimbangkan status tanah dan kewenangan OIKN terkait pertanahan atas tanah di IKN, maka pelaku usaha dalam memperoleh hak untuk memanfaatkan tanah dalam kegiatan usaha dapat menggunakan skema sebagai berikut: Pertama, pemanfaatan BMN atau Barang Milik Otorita atau Aset dalam Penguasaan. Dalam hal pelaku usaha melakukan kegiatan usaha dengan bekerja sama dengan Lembaga Pemerintahan (Pemerintah Pusat untuk BMN atau OIKN untuk Barang Miilik Otorita), sebagai contoh kegiatan usaha melalui skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU), maka pelaku usaha dapat memperoleh hak pengelolaan atas lahan melalui pemanfaatan atas BMN atau Barang Milik Otorita.
“Terhadap pemanfaatan BMN di IKN, Pasal 21 ayat (1) PMK 53/2023 mengatur bahwa terdapat beberapa jenis pemanfaatan BMN yaitu: sewa, pinjam pakai, kerja sama, pemanfaatan bangun guna serah/bangun serah guna, Kerja sama Penyediaan Infrastruktur, dan Kerja sama terbatas untuk pembiayaan infrastruktur. Atas pemanfaatan BMN tersebut, diperlukan persetujuan dari OIKN dan/atau Kementerian Keuangan selaku Pengelola BMN dengan tunduk kepada jenis dari pemanfaatan tersebut,” ungkap Winda Tania.
Kedua, dalam hal perolehan hak atas tanah oleh pelaku usaha. Dalam hal ini, pelaku usaha memperoleh hak atas tanah melalui sebuah transaksi dengan masyarakat umum selaku pemilik tanah, maka hal tersebut dilakukan dengan tunduk kepada mekanisme perolehan persetujuan OIKN, dalam hal lahan yang ditransaksikan berada di KSN IKN atau melakukan penawaran terlebih dahulu kepada OIKN sebelum pelaksanaan transaksi. Berdasarkan hal tersebut di atas, setiap perolehan atas tanah di IKN untuk kegiatan usaha akan membutuhkan mekanisme persetujuan OIKN dan/atau instansi pemerintah lainnya (sebagai contoh Kementerian Keuangan selaku pengelola BMN) selaku perwakilan pemerintah.
Lebih jauh, dalam paparannya Winda Tania mengungkapkan soal staus hak atas tanah di Ibu Kota Nusantara yang meliputi : Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai. “Untuk status hak atas tanah ‘HGU yaitu Hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan. Pasal 16A ayat (1) UU IKN mengatur bahwa HGU diberikan jangka waktu paling lama 95 tahun melalui 1 siklus pertama dan dapat dilakukan pemberian kembali untuk 1 siklus kedua dengan jangka waktu paling lama 95 tahun. Setiap siklus tersebut terdiri dari (i) pemberian hak paling lama 35 tahun; (ii) perpanjangan hak paling lama 25 tahun; dan (iii) pembaruan hak paling lama 35 tahun,” ungkap Winda..
Adapun HGB, lanjut Winda merupakan hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri. Hal ini sebagaimana termuat pada Pasal 16A ayat (2) (untuk HGB) dan ayat (3) (untuk HP) UU IKN mengatur bahwa HGB/HP diberikan jangka waktu paling lama 80 tahun melalui 1 siklus pertama dan dapat dilakukan pemberian kembali untuk 1 siklus kedua dengan jangka waktu paling lama 80 tahun. Setiap siklus tersebut terdiri dari (i) pemberian hak paling lama 30 tahun; (ii) perpanjangan hak paling lama 20 Hak tahun; dan (iii) pembaruan hak paling lama 30 tahun.
‘Selain hak sebagaimana dimaksud di atas, UU IKN juga mengakui bahwa terdapat hak milik atas tanah eksisting milik masyarakat yang dapat dilakukan kegiatan jual beli sesama masyarakat. Namun demikian, pelaksanaan ini tunduk kepada Hak Untuk Diutamakan dan Kewajiban Persetujuan OIKN atas pengalihan HAT Melalui Jual-beli sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang meliputi hak untuk diutamakan dan kewajiban persetujuan OIKN atas pengalihan HAT Melalui Jual beli,’’ ujar Winda.
Winda menegaskan dalam hal terdapat tanah milik masyarakat yang akan dijual oleh pemilik tanah, Pasal 17 UU IKN jo. Pasal 18 Perpres 65/2022 jo. Pasal 34 Perka OIKN 12/2023 memberikan hak bagi OIKN untuk diutamakan dengan kewajiban bagi pemilik tanah untuk menawarkan terlebih dahulu tanah tersebut kepada OIKN. Sedangkan, dalam hal OIKN memutuskan untuk tidak membeli tanah yang akan dijual, pemilik tanah dapat menawarkan tanah tersebut kepada pihak lainnya.
Lebih lanjut, Pasal 16 ayat (12) UU IKN jo. Pasal 19 Perpres 65/2022 jo. Pasal 35 Perka OIKN 12/2023 memberikan kewajiban bagi setiap pejabat pembuat akta tanah, notaris, camat, lurah/kepala desa atau yang disebut dengan nama lain, atau pejabat yang berwenang termasuk setiap pihak penjual untuk memperoleh persetujuan OIKN atas pengalihan Hak atas Tanah melalui mekanisme jual beli atas tanah di wilayah KSN IKN.

Selanjutnya, menurut Winda, untuk kepentingan pengadaan tanah IKN untuk wilayah public dan privat, meliputi empat hal : Pertama, alam rangka menunjang kepastian berusaha, kejelasan terkait hak-hak atas tanah merupakan salah satu aspek yang menjadi perhatian para pelaku usaha. Kedua, dalam rangka memastikan bahwa pengadaan tanah, termasuk pemanfaatan tanah dan peralihan hak atas tanah oleh pelaku usaha dilakukan dengan berlandaskan pada tata kelola pemerintahan yang baik, Pemerintah telah menerbitkan peraturan perundang-undangan terkait pengadaan tanah untuk kepentingan umum, peralihan hak atas tanah kepada pelaku usaha, serta pemanfaatan BMN/Barang Milik Otorita.
Ketiga, Regulasi pertanahan sebagaimana dimaksud di atas, dapat diartikan sebagai upaya Pemerintah untuk memastikan bahwa penggunaan tanah di IKN sesuai dengan rencana peruntukan sebagaimana diatur dalam Rencana Induk IKN & Rincian Rencana Induk IKN. Dan keempat, untuk memastikan hal ini, OIKN telah diberikan kewenangan-kewenangan terkait dengan tanah secara khusus atas pengadaan tanah untuk pembangunan IKN, pemberian persetujuan atas transaksi jual-beli tanah pada KSN IKN oleh privat, hingga hak untuk didahulukan dalam transaksi jual-beli tanah di IKN.
“Pembangunan IKN adalah mimpi besar negara kita yang perlu dikawal bersama, untuk itu dibutuhkan peran serta seluruh stakeholders, baik dari pelaku usaha, pemerintah, masyarakat untuk turut melakukan pengawasan bahwa penyelenggaraan pertanahan di IKN dilakukan sesuai dengan aturan yang telah diundangkan,” imbuh Winda mengakhiri paparannya. (Pramono)
No comment yet, add your voice below!