(Jakarta-Notarynews) Dosen Notariat Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Dr. Pieter Latumeten, SH, MH mengatakan bahwa Cyber notary adalah konsep penggunaan teknologi informasi dan komunikasi oleh Notaris untuk mempermudah mereka dalam menjalankan tugasnya. Hal ini termasuk mensertifikasi transaksi bisnis yang dilakukan secara digital, mengikuti Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) secara online dan lain sebagainya. Selain cyber notary, istilah lain yang biasa digunakan untuk hal ini adalah e-notary.
Konsep ini menurut Pieter Latumeten memunculkan berbagai pendapat, ada yang mendukung dan ada pula yang menolak. Problematika utama yang timbul adalah perdebatan terkait keabsahan akta yang dibuat dalam sistem kerja cyber notary. Ada juga yang berpendapat bahwa cyber notary bertentangan dengan asas yang selama ini dipegang yaitu asas tabellionis officium fideliter exercebo, yang artinya bahwa seorang Notaris harus bekerja secara tradisional.
Demikian disampaikan Anggota Dewan Pakar Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (PP INI), Dr. Pieter Latumeten, SH, MH, pada seminar internasiona yang diselenggarakan oleh PP INI bekerjasama dengan Universitas Yarsi di Ballroom Al Rahman, Lantai 12 Universitas Yarsi di Jakarta pada Sabtu, (30/4) yang mengangkat tema besar “Peran Ikatan Notaris Indonesia Yang Visioner Menyiapkan Notaris Menghadapi Era Sociaty 5.0 Serta Memperkuat Keberadaan Notaris Civil Law”.
Hanya saja, menurut Pieter Latumeten, untuk masuk pada cyber Notary saat ini masih terbentur pada ketentuan Pasal 1 angka 7, pasal 16 ayat 1 huruf m juncto Pasal 16 ayat 9. Sebab dalam kemajuan teknologi masih terdapat banyak hal yang tidak dapat diketahui secara harfiah kebenarannya. Dan sejatinya, cyber notary ditujukan untuk mempermudah transaksi antara para pihak yang tinggalnya berjauhan sehingga jarak bukan jadi masalah lagi (dalam hal hukum perusahan). Dalam Pasal 15 ayat 3 kewenangan Notaris yang diatur dalam peraturan perundang-undangan salah satunya adalah kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik.
“Harus diakui, bahwa perkembangan teknologi informasi jelas membawa pengaruh bagi Notaris, dimana pada awalnya Notaris dalam menjalankan jabatannya dengan menggunakan medium atau instrumen konvensional, yaitu akta Notaris ditulis dengan pena atau mesin tik dengan medium kertas dalam penyusunan aktanya tanpa ada peraturan yang mengaturnya,” ujar Pieter.
‘Perkembangan teknoligi informasi membawa perubahan kearah penggunaan instrumen elektronik melalui perangkat elektronik berupa teknologi komputer disertai program aplikasi yang terkoneksi dengan jaringan internet, yaitu akta notaris dengan tanda tangan elektronik dan bentuk aktanya berupa dokumen digital,” imbuh Pieter.
Catatan hukum singkat ini, lanjut Pieter dalam paparannya tentu akan memberikan rekomendasi dan juga sekaligus alternatif dalam penerapan sistem elektronik yang dalam sistem hukum civil law dikenal dengan e notary dan dalam sistem hukum common law dikenal dengan cyber notary atau dikenal juga istilah remote notary dalam pelaksanaan jabatan notaris atau terkait dengan bidang kenotariatan.
Adapun beberapa alternatif kedepan bisa diterapkan oleh Notaris, yaitu: Alternatif Pertama: penerapan cyber notary, e notary, dan remote notary diterapkan secara konvesnional, dimana para pihak hadir secara fisik kehadapan Notaris, yang kemudian Notaris membacakan aktanya yang drafnya sudah tersimpan atau berada di Komputer masing masing penghadap, saksi dan Notaris, kemudian para penghadap, para saksi akta dan Notaris menandatangani akta tersebut dengan tanda tangan elektronik dengan sertifikat elektronik.
Harus dipahami bahwa kekuatan pembuktian yang sedemikian kuat ini muncul dari kenyataan bahwa Notaris di negara civil law memiliki sebuah kewajiban formil yang lahir dari pelaksanaan asas tabellionis officium fideliter exercebo.
Dan kewajiban itu berupa kewajiban bahwa Notaris itu sendiri harus datang, melihat dan mendengar dalam setiap pembuatan akta dan ditanda-tangan oleh Notaris itu sendiri dan para penghadap masing-masing langsung di tempat dibacakannya akta itu oleh Notaris.
Selanjutnya, tanda tangan yang ditorehkan, harus tanda tangan asli dari Notaris dan para penghadap bukanlah tanda tangan elektronik yang bisa ditorehkan di dalam akta tersebut.
Kewajiban formil ini, menurut hemat Dosen Notariat Universitas Indonesia ini memiliki arti dan manfaat yang sangat dalam, yaitu dalam memastikan bahwa pihak yang mengadakan perjanjian tersebut adalah benar-benar pihak yang namanya tertuang dalam komparisi, bahwa ia tidak berada di bawah paksaan, tipuan atau kekhilafan, serta perjanjian tersebut telah sesuai dengan kehendak para pihak. Kewajiban tersebut membawa notaris tidak hanya bertanggung jawab terhadap tanda tangannya saja sebagaimana public notary melainkan juga pada isi dari akta otentik yang dibuat olehnya.
Pendapat tersebut menurut Pieter sejalan dengan pengaturan akta otentik berdasarkan Pasal 1867 KUHPerdata merupakan alat bukti yang sempurna apabila memenuhi syarat berupa keharusan pembuatannya dihadapan atau oleh pejabat umum.
Selanjutnya, dalam hal memperluas pengertian akta otentik dengan memasukkan akta dalam bentuk elektronik sebagai hasil praktek cyber notary menurut Pieter justru akan menimbulkan pertentangan baru yang mungkin akan menurunkan kekuatan pembuktian dari akta otentik tersebut. Hal ini, merujuk pada ketentuan Pasal 5 ayat (4) UU ITE, akta elektronik tidak memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna layaknya akta otentik. Dan rekan-rekan Notaris harus pahami, bahwa hingga saat ini akta elektronik hanya dianggap sebagai akta di bawah tangan yang disamakan dengan dokumen, surat dan setifikat elektronik
Sehingga, Dosen Notariat UI ini berpendapat bahwa konsep cyber notary yang semata-mata berasal dari Amerika hendaknya tidak diterapkan secara serta merta mengingat adanya perbedaan mengenai fungsi dan kewenangan Notaris dan public notary. Selain itu, perubahan terhadap ketentuan baik pengertian maupun syarat terkait akta otentik harus dikaji secara lebih mendalam sampai kepada alasan filosofis yang menciptakan pengertian maupun syarat tersebut yang meskipun terlihat kuno dan terkesan memaksa notaris untuk tetap bekerja secara tradisional justru memiliki pertimbangan hukum yang lebih baik dan memberikan perlindungan yang lebih kuat sehingga menjaga keutuhan kekuatan pembuktian dari akta otentik tersebut yaitu terkait tiga hal, kekuatan pembuktian formil, kekuatan pembuktian materiil, dan kekuatan pembuktian keluar.
Maka sebagai jalan keluar, Indonesia sebagai negara civil law menurut Pieter, dapat memberikan pengertian tersendiri terkait cyber notary dan menerapkan pembatasan-pembatasan penggunaan teknologi guna menjaga keabsahan dari sebuah akta otentik tersebut agar tetap sejalan dengan semangat utama adanya profesi notaris sebagai seorang pejabat umum. (Pramono)
No comment yet, add your voice below!