Skip to content

Bincang Santai ‘Problematika PT dan Akibat Hukum Dari Covernote’

Siti Hasanah, SH, SP1 saat mandu acara

(Notarynews – Tasikmalaya) Bincang santai Tri Firdaus Law Center (TFLC) tentang “Problematika Perseroan Terbatas dan Akibat Hukum Dari Covernote” yang menghadirkan tiga pembicara Dr. Anne Gunadi Widjojo, SH, SpN, MKn, Dr. I. Made Pria Dharsana, SH,M.Hum, dan Dr. Pieter Latumeten, SH, MH (14/3) di Grand Ballroom Hotel Santika Kota Tasikmalaya itu berlangsung gayeng. Acara yang dipandu oleh dua moderator Siti Nurhasanah, SH, Sp1 dan AR. Wiratmoko, SH.

Dr. Anne Gunadi M. SH, SpN. MKn
Dr. Anne Gunadi M. SH, SpN. MKn

Pada kesempatan pertama, Dr. Anne Gunadi Martonowidjojo, SH, SpN, MKn yang mengangkat tema “Perseroan Perserorangan” menerangkan bahwa Pendirian badan usaha berbentuk perseroan terbatas (PT) dapat dilakukan oleh satu orang. Ketentuan ini merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja untuk mendukung kemudahan berusaha. Aturan pelaksana pendirian PT perorangan tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP No 8. Tahun 2021 tentang Modal Dasar Perseroan Serta Pendaftaran Pendirian, Perubahan, dan Pembubaran Perseroan yang Memenuhi Kriteria Untuk Usaha Mikro dan Kecil.

Pada ketentuan lama, lanjut Anne Gunadi, pendirian PT minimal dua orang dan terdapat batasan modal dasar minimal yang dianggap menjadi salah satu hambatan bagi pelaku usaha. Namun, pendirian PT perorangan tersebut terdapat prosedur dan persyaratan yang harus dipenuhi pelaku usaha. PT perseorangan hanya dapat didirikan untuk kriteria usaha mikro dan kecil. Kriteria usaha mikro ditentukan berdasarkan modal usaha maksimal Rp 1 miliar tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau hasil penjualan tahunan maksimal Rp 2 miliar. Dengan kata lain, untuk saat ini pengurusan PT Perorangan bisa dilakukan dan didirikan oleh 1 (satu) orang saja sebagai Pemegang saham sekaligus Direktur.

Siti Hasanah, SH, SP1 saat mandu acara

Menurut Notaris – PPAT Kota Cimahi ini, kriteria usaha mikro ditentukan berdasarkan modal usaha maksimal Rp 1 miliar tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau hasil penjualan tahunan maksimal Rp 2 miliar. Sementara usaha kecil ditentukan berdasarkan kepemilikan modal usaha lebih dari Rp1 miliar-Rp 5 miliar tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2 miliar-Rp15 miliar

Selanjutnya, Pasal 14 ayat (1) PP No. 8 Tahun 2021 mengamanatkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendirian, perubahan dan pembubaran Perseroan perorangan diatur dengan Peraturan Menteri. Permenkumham ini merupakan aturan implementasi yang menyesuaikan aturan dari UU Cipta Kerja dan PP tersebut.

“Perseroan perorangan yang telah memperoleh status badan hukum akan diumumkan dalam laman resmi Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) Kementerian Hukum dan HAM. Sebagai bentuk penyederhanaan birokrasi, pelaku usaha juga dibebaskan dari kewajiban untuk mengumumkan pendirian PT nya dalam Tambahan Berita Negara. Namun perlu diingat bahwa ketentuan diatas hanya berlaku untuk PT dengan kriteria UMKM atau perusahaan perseorangan,” terang Kabid Hubungan Luar Negeri PP INI. .

“Ketika perusahaan perseorangan mengalami perubahan dalam hal pemegang saham menjadi lebih dari satu orang dan atau tidak lagi memenuhi kriteria sebagai UMKM, maka perseroan perorangan tersebut harus mengubah status badan hukumnya menjadi perseroan, hal ini diatur dalam Pasal 9 PP No. 8 Tahun 2021. Selain itu, perubahan status ke perseroan harus dilakukan dengan akta notaris dan didaftarkan secara elektronik kepada Menteri Hukum dan HAM melalui Ditjen AHU, “ imbuh Anne Gunadi.

Kelebihan lain perseroan perseorangan lanjut Anne Gunadi, adalah tidak adanya ketentuan mengenai besaran minimal modal dalam UU Cipta Kerja juga memudahkan pelaku usaha. Pada Pasal 32 UUPT disebutkan bahwa minimal dari modal dasar sebesar Rp. 50 Juta, kini dengan disahkannya RUU Cipta Kerja, besaran modal dasar perseroan ditentukan berdasarkan keputusan pendiri perseroan, sebelumnya hal ini juga terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2016 tentang Perubahan Modal Dasar Perseroan Terbatas.

Dalam penjelasan umum, lanjut Anne Gunadi selain untuk mendorong pertumbuhan UMK, kebijakan pemerintah dalam memberikan kebebasan kepada para pendiri Perseroan Terbatas untuk menentukan besaran modal dasar dimaksudkan sebagai upaya pemerintah untuk menghormati asas kebebasan berkontrak yang memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian dalam mendirikan Perseroan Terbatas berdasarkan ketentuan dalam hukum perdata.

Dr. I Made Pria Dharsana. SH, M Hum
Dr. I Made Pria Dharsana. SH, M Hum

Pada kesempatan selanjutnya, Dr. I. Made Pria Dharsana, SH,M.Hum dalam paparannya yang mengangkat tema “Problematika Badan Hukum Perseroan Terbats (PT) Dalam Praktek” menyampaikan penyederhanaan prosedur dan syarat pendirian PT kembali dilakukan, dan kali ini payungnya adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”). Melalui aturan ini, terdapat beberapa perubahan yang berhubungan dengan prosedur dan syarat pendirian PT yang terbaru.

Sebelum disahkannya UU Cipta Kerja, lanjut Made Pria, PT mendapatkan status badan hukum pada tanggal terbitnya Keputusan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) mengenai pengesahan badan hukum PT. Maka setelah adanya UU Cipta Kerja, PT memperoleh status badan hukum setelah didaftarkan kepada Menkumham dan mendapatkan bukti pendaftaran (baik untuk PT sesuai pasal 7 ayat 4 UU Cipta Kerja maupun PT UMK sesuai dengan Pasal 7 ayat 4) Pasal 153 B ayat (2) UU Cipta Kerja).

R. Wirarmoko, SH saat memandu acara
R. Wirarmoko, SH saat memandu acara

“Sehubungan dengan siapa yang bertanggung atas perbuatan hukum yang telah dilakukan sebelum PT memperoleh badan hukum. selama PT belum memperoleh status badan hukum, maka para pendiri, semua anggota direksi dan semua anggota dewan komisaris bertanggung secara tanggung renteng ats perbuatan hukum yang dilakukan mereka sehingga harus diperhatikan apakah mereka (para pendiri, anggota direksi dan anggota dewan komisaris) telah menikah dan pisah harta,” terang Made Pria.

Dosen Notariat Universitas Indonesia ini menegaskan bahwa manakaal PT telah memperoleh status badan hukum, maka, segala tindakan hukum yang dilakukan akan diterima, diambil alih atau dikukuhkan oleh PT agar tanggungjawabnya beralih pada perseroan. Hal tersebut ditegaskan di dalam Pasal 14 ayat (3) yang menyembutkan bahwa perbuatan hukum dimaksud pada ayat (1) karena hukum menjadi tanggungan PT setelah PT menjadi badan hukum

Bincang santai terkait problematika badan hukum perseroan terbatas kali ini, Made Pria Dharsana, juga menyinggung soal penyelenggaraan RUPS PT.

Menurut Made Pria, penyelenggaraan RUPS diadakan di tempat kedudukan Perseroan atau di tempat Perseroan melakukan kegiatan usahanya berdasarkan anggaran dasar. Bagi RUPS Perseroan Terbuka dapat diadakan di tempat kedudukan bursa di mana saham Perseroan dicatatkan. Tempat dilaksanakannya RUPS harus terletak di wilayah negara Republik Indonesia.

Selain itu, lanjut Made Pria, RUPS dapat juga diselenggarakan melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat. Setiap penyelenggaraan RUPS yang dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya harus dibuatkan risalah rapat yang disetujui dan ditandatangani oleh semua peserta RUPS.

“RUPS terdiri atas RUPS tahunan dan RUPS lainnya. RUPS tahunan wajib diadakan dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku berakhir. Dalam RUPS tahunan, harus diajukan semua dokumen dari laporan tahunan Perseroan. Sedangkan RUPS lainnya dapat diadakan setiap waktu berdasarkan kebutuhan dan/atau kepentingan Perseroan,” ujar Made Pria.

Selanjutnya, penyelenggaraan RUPS dapat dilakukan atas permintaan 1 (satu) orang atau lebih pemegang saham yang bersama-sama mewakili 1/10 (satu persepuluh) atau lebih dari jumlah seluruh saham dengan hak suara kepada Direksi dengan Surat Tercatat disertai alasannya dan tembusannya disampaikan kepada Dewan Komisaris.

Lalu kapan RUPS pertama kali diadakan? Menurut Made Pria, Rapat Umum Pemegng Saham (RUPS) pertama kali diselenggarakan maka paling lambat 60 hari setelah PT memperoleh status badan hukum, semua pemegang saham yang hadir harus menyetujui tindakan hukum tersebut (Pasal 14 ayat (5) UUPT).

“Direksi wajib melakukan pemanggilan RUPS dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan penyelenggaraan RUPS diterima. Dalam hal Direksi tidak melakukan pemanggilan RUPS, maka pemegang saham mengajukan kembali permintaan penyelenggaraan RUPS kepada Dewan Komisaris. Dewan Komisaris wajib melakukan pemanggilan RUPS dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan penyelenggaraan RUPS diterima,” tegas

Dosen Notariat Universitas Indonesia ini.
Sementara itu, lanjut Made Pria, jika dalam hal Direksi atau Dewan Komisaris ternyata tidak melakukan pemanggilan penyelenggaraan RUPS, maka pemegang saham dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan untuk menetapkan pemberian izin kepada pemohon (pemegang saham) melakukan sendiri pemanggilan RUPS tersebut.

“Pemanggilan RUPS dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum tanggal RUPS diadakan, dengan tidak memperhitungkan tanggal pemanggilan dan tanggal RUPS. Pemanggilan RUPS dilakukan dengan surat tercatat dan/atau dengan iklan dalam surat kabar. Dalam panggilan RUPS dicantumkan tanggal, waktu, tempat, dan mata acara rapat disertai pemberitahuan bahwa bahan yang akan dibicarakan dalam RUPS tersedia di kantor Perseroan sejak tanggal dilakukan pemanggilan RUPS sampai dengan tanggal penyelenggaraan RUPS,” terang Made pria.

Notaris – PPAT Kbuapten Badung ini juga mengingatkan kepada rekan-rekan Notaris agar dalam pembuatan akta risalah rapat suatu PT harus diteliti terlebih dulu, apakah telah dipenuhi syarat formil untuk pelaksanaan rapat tersebut, dan bagaimana dengn susunan direksi, dewan komisaris yang berwenang, diantaranya, apakah prosedur pemanggilan rapat telah memenuhi persyaratan Pasal 82 UUPT, tempat diadakannya rapat (pasal 76 ayat (1) dan (3) UUPT) bagaimana dengan quorum untuk sahnya rapat dan keputusan rapat.
Notaris harus memeriksa riwayat PT sejak pendirian PT hingga saat dibuat nya akta risalah rapat (RR). Jangan hanya melihat anggaran dasar yang terakhir saja, tetapi perubahan apapun yang menyangkut PT harus diperiksa,” ujarnya.

“Perhatikan juga soal akta perubahan Anggaran dasar PT, yang harus dimuat atau dinyatakan dalam akta Notaris dalam bahasa Indonesia (Pasal 21 ayat 4 UU PT). apabila perubahan Anggaran Dasar tidak dimuat dalam akta berita acara yang dibuat oleh Notaris harus dinyatakan dalam akta Notaris paling lambat 30 hari terhitung sejak tanggal keputusan RUPS (Pasal 21 ayat 5). Artinya, perubahan ini diajukan kepada Menteri 30 hari sejak tanggal akta Notaris dibuat. Dan seandainya sudah lewat 30 hari, maka tidak boleh dinayatakan dalam akta Notaris. Karena begitu lewat 30 hari, maka tidak dapat diajukan permohonan persetujuan atau pemberitahuan menteri,” imbuh Made Pria

Dan yang tak kalah penting lanjut Made Pria adalah terkait risalah dari penyelenggaraan e-RUPS yang dibuat dalam bentuk akta notariil dan disusun oleh notaris. Notaris yang berhak melakukan penyusunan risalah ini adalah Notaris yang sudah terdaftar di dalam OJK. Penyedia e-RUPS juga memiliki kewajiban untuk menyerahkan salinan cetakan dari penyelenggaraan e-RUPS tersebut.

“Meskipun Rapat Umum Pemegang Saham dilakukan secara online dengan sistem yang sudah dimiliki oleh perusahaan. Namun dalam penyelenggaraannya tetap tidak bisa asal-asalan. Sebab sudah diterbitkan aturan mengenai tata cara pelaksanaan dari RUPS digital ersebut,” tegas Made Pria mengakhiri paparannya.

Dr. Pieter Latumeten SH, MH
Dr. Pieter Latumeten SH, MH

Dr. Pieter Latumeten, SH, MH sebagai pembicara terakhir dalam paparannya terkait Covernote Covernote hanyalah merupakan perbuatan administrasi biasa yang dilakukan oleh Notaris Jadi, covernote bukanlah suatu akta (baik akta autentik ataupun akta di bawah tangan) yang merupakan produk hukum Notaris dalam melaksanakan fungsinya sebagaimana diatur dalam UUJN, melainkan hanya merupakan surat keterangan sebagai pejabat publik kepada instansi atau lembaga tertentu yang isinya menerangkan pelaksanaan wewenang dan fungsinya.

Melihat penerbitan covernote oleh Notaris dapat dipandang sebagai suatu kebiasaan, maka tentunya dapat diukur keberlakukan dan daya mengikat dari covernote tersebut oleh sebab pelaksanaan penerbitan covernote oleh Notaris dapat digolongkan sebagai hukum kebiasaan.

Selanjutnya, Pieter Latumeten menyampaikan hasil kutipan dari “Keputusan Rapat Pleno PP INI Yang Diperluas di Pekan Baru” pada (12/1/20170 silam dalam remoendasi dan kesatuan sikapnya, menyatakan Undang-Undang Jabatan Notaris tidak mengatur mengenai pembuatan Surat Keterangan (covernote) oleh Notaris terhadap kegiatan atau terhadap pelaksanaan jabatan Notaris.

Ditegaskan Pieter bahwa dalam praktek kenotariatan banyak ditemukan adanya Surat Keterangan (covernote) yang dikeluarkan oleh Notaris untuk mendukung pelaksanaan jabatan Notaris. Surat Keterangan ini diperlukan dalam hal suatu akta yang merupakan hasil dari pelaksanaan jabatan Notaris tersebut belum dapat diserahkan kepada para pihak karena adanya alasan-alasan yang dapat dibenarkan secara hukum.

“Dan sebagai pengganti sementara dari salinan akta yang belum dapat dikeluarkan atau belum dapat diserahkan tersebut maka Notaris membuat suatu Surat Keterangan atau biasa juga disebut Covernote sebagai pengganti dari salinan akta dimaksud. Covernote tersebut biasanya berisi keterangan tentang apa saja yang telah para pihak lakukan dan juga dijelaskan apa saha yang telah dilaksanakan oleh Notaris dan syarat apa yang harus dipenuhi oleh para pihak sehingga salinan akta baru dapat diberikan,” terang Pieter.

Akan tetapi lanjut Pieter dalam prakteknya sekarang ini, banyak Covernote yang dikeluarkan oleh Notaris yang menerangkan hal-hal yang sebenarnya bukan termasuk dari kewenangan Notaris, tetapi lebih kepada kewenangan dari Instansi lain.

“Dengan Covernote tersebut seakan-akan Notaris “menjamin” bahwa suatu kegiatan yang dilakukan oleh Instansi lain dapat dipastikan pelaksanaannya oleh Notaris. Tentunya hal ini telah menimbulkan banyak persoalan di lapangan dimana Notaris dianggap bertanggung jawab untuk menyelesaikan kegiatan atau pekerjaan yang merupakan kewenangan dari Instansi lainnya. Hal ini timbul berdasarkan kebiasaan di kalangan Notaris, terutama dalam pembuatan akta-akta berkaitan dengan perkreditan.” terangnya.

Ditegaskan Pieter, bank seringkali berlindung di balik Covernote untuk mencairkan kredit, Covernote dianggap sebagai surat sakti dalam pencairan kredit. Notaris dapat dituntut secara perdata apabila isi Covernote tidak benar, yaitu berdasarkan alasan melakukan Perbuatan Melawan Hukum (pasal 1365 KUH Perdata) dengan ancaman membayar ganti rugi apabila akibatnya menyebabkan kerugian bagi orang lain. Selain itu dapat dituntut secara pidana apabila dapat dibuktikan Notaris yang bersangkutan secara sadar dan sengaja bersama-sama dengan pihak yang meminta dibuatkan Covernote tersebut memberikan keterangan yang tidak benardengan tujuan untuk dapat melakukan suatu perbuatan atau tindakan yang pada hakekatnya merupakan tindak pidana.(PM)

Releated Posts

No comment yet, add your voice below!


Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *