(Jakarta – Notarynews) Manusia sebagai makhluk sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara membutuhkan sebuah perkumpulan untuk hidup di masyarakat berdasarkan kesamaan kepentingan maupun tujuan. Kenyataan ini, pada akhirnya mendorong manusia untuk melegalkan perkumpulannya menjadi sebuah badan hukum. Keadaan ini terjadi karena munculnya pemahaman di masyarakat bahwa ketika perkumpulan berdiri jika sebelum menjadi badan hukum maka belum sah di mata hukum.

Menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (Bidang Keperdataan), Prof. Rosa Agustina S.H., M.H, Undang Undang tentang Perkumpulan telah menjadi suatu urgensi untuk disahkan dengan beberapa alasan antara lain: Pertama, bahwa pengaturan mengenai perkumpulan saat ini masih medasarkan pada peraturan jaman hindia Belanda, dimana beberapa hal terkait lperkumpulan perlu disesuaikan dengan realitas saat ini. Khususnya untuk mewadahi keragaman perkumpulan yang ada.

Kedua, keberadaan Undang Undang Perkumpulan akan memberi jawaban atas ketidak pastian hukum yang terjadi karena keberadaan Undang Undang Ormas. Dengan adanya Undang Undang Perkumpulan, pengaturan badan hukum perkumpulan akan dikeluarkan dari Undang Undang Ormas dan pendekatan hukum akan digunakan.
“Dari dua fakta tersebut di atas terdapat dua alasan tambahan urgensinya badan hukum perkumpulan diatur dalam UU yang lebih baru dan lebih lengkap. Pertama, badan hukum perkumpulan hanya diatur dalam Staatsblad 1870:64 yang berusia lebih dari 150 (serratus lima puluh) tahun. Kedua, peraturan pelaksanakanya hanya dituangkan dalam bentuk Permenkumham,” demikian disampaikan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Rosa Agustina S.H., M.H, pada acara seminar nasional yang diselenggarakan oleh PP INI di Ruang Birawa, Hotel Bidakara, Jakarta Selatan.
Urgensi lainnya, lanjut Prof Rossa, agar segera dibuatkan UU tentang Perkumpulan Berbadan Hukum adalah banyaknya problematika hukum mengenai pendirian dan operasional badan hukum Perkumpulan di dalam prakteknya karena kurang jelas dan kurang lengkapnya pengaturan. Misalnya : apakah pengertian “orang” yang menjadi pendiri dan atau anggota dari suatu Perkumpulan, hanya menunjuk pada natuurlijke persoon bukan rechtspersoon.
Lalu, apabila “orang” dari suatu Perkumpulan dapat juga termasuk rechtspersoon, apakah pendiri dan anggota Perkumpulan dapat terdiri dari natuurlijke persoon dan rechtspersoon.
Ditegaskan Prof Rossa, berdasarkan keadaan tersebut maka negara harus memberikan pengaturan secara jelas dan tegas bahwa perkumpulan yang berbadan hukum maupun yang tidak tetap sah di mata hukum. Meskipun tidak berbadan hukum sebuah perkumpulan tetap sah karena kebebasan berserikat dan berkumpul diatur oleh konstitusi.
Dengan begitu, menutut Prof Rossa, dengan melihat analisis-analisis diatas, maka RUU Perkumpulan memiliki sebuah urgensi untuk segera disahkan untuk memperbaiki dan membenahi tata kelola perkumpulan. Pengaturan mengenai perkumpulan menurut peninggalan hukum Belanda telah terlalu usang dan ketinggalan sehingga perlu diperlukan pembaharuan dan pengaturan mengenai perkumpulan dalam UU Ormas tidak tepat dilihat dari karakteristiknya.
“Pengaturan mengenai perkumpulan seharusnya terpisah dari UU Ormas karena memiliki karakteristik yang berbeda, perkumpulan tidak cukup hanya didaftarkan saja namun perlu mendapatkan pengesahan oleh negara untuk menjadi subjek hukum mandiri,” terang Prof Rossa.
Hanya saja, lanjut Prof Rossa, UU Ormas seolah-olah menempatkan bentuk Ormas sebagai payung hukum dari seluruh bentuk organisasi sosial, termasuk Yayasan dan Perkumpulan. Kondisi ini menjadikan pengaturan organisasi sosial menggunakan pendekatan politik dan keamanan dengan menjadi Ormas yang berada di bawah pembinaan Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri (Kesbangpol).
Intinya, RUU Perkumpulan memiliki sebuah urgensi yang mendesak dan mutlak. Kesimpulannya, menurut Prof Rossa, diperlukan sebuah perubahan yang fundamental terhadap paradigma perkumpulan itu sendiri. Dalam UU Ormas, sangat terlihat bahwa perkumpulan didekati melalui pendekatan sosial politik. Sebuah pendekatan yang menurut Gutu Besar FH UI ini tidak dapat dibenarkan. (Pramono)