(Bekasi – Notarynews) Kebijakan pengampunan pajak dipandang pemerintah sebagai cara yang paling cepat untuk memperoleh dana dalam rangka memulihkan persoalan melemahnya perekonomian di Indonesia. Pengampunan pajak dalam jangka panjang juga diharapkan dapat sebagai titik pijak untuk meningkatkan penerimaan negara melalui kegiatan investasi yang ditanamkan, sehingga secara tidak langsung akan meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak maupun peningkatan pertumbuhan ekonomi makro.
Pertanyaannya, apakah Tax Amnesty jilid II atau lebih tepatnya kebijakan terkait “Program Pengungkapan sukarela (PPS)”merupakan upaya yang terakhir bagi wajib pajak? Seminar bertajuk “Investasi, Industri dan Tax Amsesty yang diselenggarakan oleh Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas hukum Universitas Pelita Harapan, pada Rabu (26/1) di District One Gate Meikarta, Northview, Jalan Orange Country Bouleward, Cibatu Cikarang Selatan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat mencoba menggali sejauhmana kebijakan tax amnesty jilid 2 tahun 2022 memberikan dampak bagi perekonmian Indonesia. Dihdirkan sebagai pembicara mantan Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Dr. Drs. Hadi Poernomo. AK, CA, MBA dan Konsultan dan Audit Pajak, Dr. Edy Gunawan, SE, SH, M. AK., CA, BKP, CLA dengan moderator Ketua Prodi Magister dan Doktor Ilmu Hukum Universitas Pelita Harapan, Assoc. Prof. Dr. Henry Soelistyo. SH. LLm.

Menurut mantan Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Dr. Drs. Hadi Poernomo. AK, CA, MBA menilai bahwa program Pengungkapan Pajak Sukarela (PPS) merupakan pemberian kesempatan kepada wajib pajak untuk melaporkan atau mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela melalui PPh berdasarkan pengungkapan harta.
“Pada kondisi kondisi pertama, Saya masih mengamati terdapat peserta pengampunan pajak yang belum mendeklarasikan seluruh asset pada saaat pengampunan pajak. Sedangkan pada kondisi kedua, masih terdapat wajib pajak yang belum mengungkapkan seluruh penghasilan dalam SPT Tahunan 2016 sampai dengan 2020,” ujar mantan Dirjen Pajak ini.

Hadi Poernomo menegaskan, bahwa peserta tak amnesty (Orang Pribadi atau badan) yang belum melaporkan seluruh harta dalam Surat Penyertaan Harta (SPH), dan bila ditemukan oleh DJP akan dianggap penghasilan dan dikenai PPh final sebesar 25% (badan), 30% 9OP) 12, 5% (Wajib Pajak Tertentu) dari harta bersih tambahan (PP 36/2017)ditambah sanksi 200 %. Sementara bagi wajib pajak perorangan yang belum melaporkan penghasilan pajak 2016 – 2020 sesuai ketentuan akan dikenakan PPh sesuai tariff yang berlaku ditambah sanksi adminsitrasi.
Hadi Poernomo menilai Program Pengungkapan Sukarela (PPS) yang saat ini tengah berlangsung merupakan kesempatan langka bagi wajib pajak, jadi sayang kalau dilewatkan. Di karenakan, menurut Hadi Poernomo, celah untuk menyembunyikan harta akan makin sempit.
“Kita sudah punya datanya, daripada ketahuan menyembunyikan harta agar tidak bayar pajak, kan beresiko terkena denda besar atau bahkan pidana, dan ikuti PPS. Reformasi perpajakan mejadi syarat bila pemerintah hendak mencapai target rasio pajak (tax ratio) di atas 10% pada 2025,” ujarnya.

Kebijakan PPS lanjut Hadi Pornomo mengambarkan manfaat sebagaimana di tuangkan dalam pasal 6 Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang di dalamnya ada ketentuan Program Pengungkapan sukarela (PPS). Pasal dimaksud menegaskan , tidak dikenai –nya tambahan sanksi administrasi sebesar 200% jika Direktorat jenderal pajak menemukan data atau informasi yang belum diungkap dalam Tax amnestyA (berdasarkan pasal 18 ayat (3) UU Tax Amnesty.
Sedangkan untuk perlindungan data atau informasi yang bersumber dari SPPH dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kemenkeu atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan UU HPP tidak dapat dijadikan sebagai dasar peneyelidikan, penyidikan dan atau pentutan pidana terhadap wajib pajak.
Lebih lanjut Hadi Poernomo mengatakan terkait kebijakan kedua yang dimuat dalam Pasal UU HPP, perlu dicatat bahwa tidak diterbitkannnya ketetapan untuk kewajiban 2016 sampai 2020 kecuali ditemukan harta kurang diungkap (PPh )P, PPh Potongan atau punggutan dan PPN , kecuali pajak yang telah dipotong atau dipunggut tetapi tidak disetorkan.
“Dan untuk perlindungan datanya, yang bersumber dari SPPH dan lampirannya yang diadministrasikan oleh kemnkeu atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan UU HPP tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan dan atau penuntutan terhadap wajib pajak,” terang mantan Dirjen Keuangan Kementerian Keuangan ini.
“Jadi memang terlalu banyak manfaat dan fasilitas yang diberikan kepada pengusaha jadi saying kalau diambil kebijakan PPS atau tax amanesty jilid dua ini,” tegas Hadi Poernomo.

Konsultan dan Audit Pajak, Dr. Edy Gunawan, SE, SH, M. AK., CA, BKP, CLA pada kesempatan yang sama juga menegaskan bahwa kebijakan Amnesti Pajak semestinya diikuti dengan kebijakan lain seperti penegakan hukum yang lebih tegas dan penyempurnaan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan, Undang-Undang tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta kebijakan strategis lain di bidang perpajakan dan perbankan. Dengan demikian, Amnesti Pajak bisa jadi adalah upaya yang terakhir dan tidak akan terjadi lagi di kemudian hari.
Senada dengan mantan Hadi Pornomo, Edy Gunawan mengatakan bahwa dilaksanakannya tax amnesty jilid dua menurutnya, yang kini bernama PPS wajib pajak, memberikan kesempatan peserta tax amnesty jilid satu yang belum melaporkan harta kekayaannya sebelum 31 Desember 2015, untuk mendapatkan keringanan pajak. Dan ini menurut dia, sebagai kesempatan sebelum langkah-langkah law enforcement dilakukan sesuai yang diatur dalam UU HPP.
Diungkapkan Edy Gunawan bahwa dalam rangaka mendorong penerimaan negara pemerintah mengusulkan kebijakan tax amnesty.pada tahun 2022 yang mana pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan terkait tax amnesty, kali ini adalah ‘Tax Amnesty Jilid II’ atau lebih tepatnya kebijakan terkait “Program Pengungkapan sukarela (PPS)” sebagai upaya terakhir untuk patuh pada ketentuan perpajakan.
Edy Gunawan menegaskan bahwa perbedaan tax amnesty jilid satu dengan tax amnesty jilid dua atau PPS tentunya berbeda dengan dua kebijakan yang berbeda pula. Hanya saja, keduanya merupakan memliki persamaan sebatas cara sukarela dalam hal deklarasi pajak.
Bedanya, menurut Edy Gunawan, ada pada pada kondisi akses pajak yang bisa menindaklanjuti dengan mudah, maka dulu dilakukan rekonsilasi. Sekarang bedanya Ditjen pajak sudah punya akses informasi.
Selanjutnya, klsifikasi keringanan pada amnesty pajak pertama dan kedua juga akan berbeda. Pada amnesty pertama, tariff lebih muarah diberikan kepadaa wajib pajak yang ingin menempatkan investasinya di luar negeri atau kedalam negeri dengan berbagai instrument. Pemerintah juga hanya memberikan batasan penempatan instrument selama tiga tahun
“Saatnya kita sekarang ikut patuh dan jujur karena cepat atau lambat akan dilaporkan dan diuji validitasnya. Maka dipastikan yang ikut yang mau patuh atau wajib pajak yang taat,” tegas Edy Gunawan.