(Bandung – Notarynews) Perkembangan teknologi dewasa ini begitu cepat dan mempengaruhi kehidupan dari berbagai aspek. Permasalahan dan perkembangan mengenai pemahaman yang lebih baik tentang konsep Notaris di era digital dan juga bagaimana penerapan teknologi informasi dapat mempercepat dan meningkatkan efisiensi proses Notarisasi.
Semua Notaris termasuk Indonesia saat ini memiliki problematika yang sama, utamanya dalam memperjuangkan masa depan Notaris hukum perdata dan memastikan ekonomi digital yang inklusif dan aman.
Dengan perkembangan teknologi yang ada dewasa ini tentunya akan menuntut Notaris untuk beradaptasi dengan teknologi. Dan salah satu bentuk adaptasi terhadap perkembangan teknologi adalah transformasi Cyber Notary, yakni memanfaatkan kemajuan teknologi informasi untuk mempermudah menjalankan tugas dan kewenangan. Sekaligus memudahkan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan dari Notaris.
Konsep Cyber Notary merupakan suatu konsep mengenai pelaksanaan kewenangan Notaris berbasis teknologi informasi. Berikut pandangan Dr. Ranti Fauza Mayana, SH terkait “Konsep Cyber Notary Dalam Pelaksanaan Jabatan Notaris di Indonesia” kepada Notarynews (15/9) via seluler Jumat, pagi pukul 09.00 pagi Wib.

Ranti yang merupakan pengajar pada Program S1 Fakultas Hukum, Program Magister dan Program Magister Kenotariatan UNPAD mengkaji mengenai pentingnya memaknai secara tepat dan mengimplementasikan dengan proporsional Cyber Notary di Indonesia
Ranti memaparkan bahwa secara umum cyber notary dapat dimaknai sebagai Notaris yang menjalankan tugas atau kewenangan jabatannya dengan berbasis teknologi informasi, yang berkaitan dengan tugas dan fungsi notaris, khususnya dalam pembuatan akta. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (perubahan UUJN) mengatur konsep Cyber Notary dalam ketentuan Penjelasan Pasal 15 ayat 3, yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan”, antara lain, kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary)
Konsep Cyber Notary merupakan ekses dari globalisasi dalam hal transaksi yang kian hari kian tak berbatas ruang dan waktu didukung oleh perkembangan teknologi informasi yang berimbas pada banyaknya konsep perbuatan hukum melalui media elektronik diantaranya ketentuan Pasal 77 ayat (1) Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) dimana RUPS dapat juga dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat.
Dalam tataran yang lebih luas informasi elektronik dan atau dokumen elektronik telah diakui sebagai alat bukti yang sah dengan diundangkannya Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dimana dalam Pasal 5 ayat (1) UU ITE, disebutkan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, lebih lanjut menurut ketentuan Pasal 5 ayat (2) UU ITE Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya diakui sebagai perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia dan dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU ITE.
Lebih lanjut, Ranti memaparkan bahwa menanggapi maraknya perbuatan hukum melalui media cyber, sebagai Notaris – PPAT sangat perlu untuk dapat membedakan secara cermat antara perbuatan hukum yang dapat dilakukan melalui media cyber dengan cyber notary itu sendiri dan perlu diingat bahwa salah satu kewenangan Notaris adalah pembuatan Akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna mengenai suatu perbuatan hukum atau hubungan hukum antara para pihak sesuai dengan Pasal 1868 KUHPerdata menyatakan bahwa “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya”
Banyak kalangan, terutama kalangan awam yang beranggapan bahwa mengacu pada penjelasan pasal 15 ayat (3) Perubahan UUJN dan UU ITE setiap produk dari Notaris sebagai pejabat yang berwenang dapat dibuat secara elektronik dan semua tindakan terkait pembuatan akta otentik tersebut dapat dilaksanakan secara virtual, misalnya tindakan penghadapan kepada Notaris dan proses penandatanganan akta melalui digital signature, maka sebagai Notaris yang proaktif, progresif dan profesional perlu memberikan edukasi yang proporsional agar tidak terjadi kesalapahaman di masyarakat pengguna jasa Notaris dalam menafsirkan frasa “di hadapan” sesuai Pasal 1868 KUH Perdata yang dikaitkan dengan cyber notary. Pasal 1868 menyatakan bahwa : Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.
Berkaca pada hal tersebut, Ranti menekankan, perlu dipahami bahwa konsep cyber notary dan implementasi atau penerapannya di Indonesia perlu dimaknai dan diimplementasikan secara tepat. Dalam hal ini perlu kita ingat kewenangan notaris dalam ranah cyber notary terbatas pada ketentuan sebagaimana dimuat dalam penjelasan Pasal 15 ayat (3) UUJN yaitu “kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan”, antara lain, kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary). Penerapan yang benar dari konsep tersebut bukanlah serta merta membuat seluruh akta yang berbentuk elektronik dengan tindakan penghadapan virtual, namun yang dapat menjadi contoh implementasi yang benar misalnya konsep cyber notary yang telah diakomodir adalah dalam hal kewenangan dalam mencetak dan melegalisir surat dan/ atau mencetak sertifikat yang dicetak melalui sistem Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum secara online (Ditjen AHU online) Notaris memberikan keterangan (sertifikasi / jaminan) bahwa Dokumen tersebut merupakan dokumen yang dicetak dari sistem elektronik SABH (Sistem Administrasi Badan Hukum).
Ranti menambahkan bahwa Implementasi konsep cyber notary juga harus memperhatikan pembatasan – pembatasan yang ditentukan oleh Undang – Undang, antara lain UU ITE dalam Pasal 5 ayat (4) yang menyatakan bahwa ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti yang sah dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia, namun tidak berlaku untuk surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis dan surat beserta dokumennya yang menurut Undang- Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh PPAT
Pada akhirnya, Ranti menyimpulkan bahwa penerapan cyber notary sebagai suatu konsep yang progresif harus benar – benar dipahami secara cermat dan diimplementasikan secara tepat dengan memperhatikan ketentuan perundang – undangan terkait secara integratif untuk mencegah timbulnya kerugian berupa tidak terpenuhinya otentisitas akta sebagai suatu produk notaris yang dapat membawa kerugian bagi para pihak sendiri yaitu konsekuensi hukum berupa terdegradasinya kekuatan pembuktian akta otentik menjadi akta di bawah tangan.*****