Menggagas Kepemimpinan Kolektif Koligial ke Tubuh INI

(Semarang -Notarynews) Beberapa kesan yang kurang tepat telah timbul dengan kritikan dari salah seorang anggota kepada Ikatan Notaris Indonesia. Adalah Prof (HC) Dr Widhi Handoko, SH, SpN dimana publisitas yang menyangkut dirinya memang gencar. Kalau kita hanya membaca pemberitaan mengenai pria kelahiran Wonogiri ini yang memang suka melontarkan kritikan pedas, maka tanpa mengetahui permasalahan dan latar belakangnya, tentunya kita bisa dapat kesan yang keliru.

Prof Widhi menilai dalam setiap keputusan yang diambil sebuah organisasi jika tanpa adanya transparansi tentunya dapat menimbulkan ketidakpercayaan dan spekulasi di antara anggota. Dan hal ini dapat membuat anggota merasa tidak dihargai dan diabaikan.

Prof (HC) Dr. Widhi Handoko, SH, SpN
Prof (HC) Dr. Widhi Handoko, SH, SpN

“Ketidakmampuan untuk mengelola konflik dengan efektif sering kali memperburuk situasi. Dan jika konflik dibiarkan berlarut-larut tanpa penyelesaian yang adil dapat menyebabkan friksi dan perpecahan dalam organisasi,” tegas Prof Widhi kepada Notarynews usai menghadiri acara Konferwil Pengwil Jateng INI di Ruang Merapi, Hotel Grasia, Kota Semarang, Jawa Tengah, pada Sabtu (3/7).

Prof Widhi mengutarakan kembali gagasan yang telah dilontarkannya pada tiga periode kepengurusan PP INI sebelumnya itu kepada Ikatan Notaris Indonesia seraya menawarkan bahwa ini merupakan pilihan terbaik bagi kemajuan Ikatan Notaris Indonesia di masa depan.

Kondisi organisasi Ikatan Notaris Indonesia saat ini memang sedang tidak baik-baik saja, sebutlah, misalnya: banyaknya kegiatan di Ikatan Notaris Indonesia yang menurut dia terlalu banyak kegiatan Ikatan Notaris Indonesia yang justru dianggapnya memberatkan Anggota Luar Biasa (ALB) dan juga anggota biasa (Notaris) dengan iuran dan juga seabrek kegiatan-kegiatan yang harus diikuti anggota hampir semuanya berbayar mahal.

Disisi lain, realitas kondisi organisasi menurut pendapat Prof Widhi masih jauh dari cita-cita dan harapan anggota. Tetapi ditegaskan Pria kelahiran Wonogiri ini bahwa tak ada niat  sama sekali dirinya untuk mencari-cari kesalahan jajaran Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia dengan berbagai kritikan pedasnya.

“Saya ini orangnya memang kritis tapi sifatnya membangun. Dan Saya tidak pernah tunduk kepada orang perorang, tapi Saya tunduknya kepada aturan yaitu AD ART Perkumpulan,” tegas Prof Widhi.

“Kenapa kemudian Saya tak ingin lagi duduk dipengurusan organisasi Ikatan Notaris Indonesia karena Saya merasa tidak bebas dimana Saya punya visi misi kritis tapi tidak bebas di dalam. Dan Saya merasa lebih bebas di luar, apakah nanti Saya akan menulis atau menempuh dengan jalur hukum itu lain soal dan tentu saja Saya lebih bebas di luar,” ujarnya.

“Kalau memang kemudian PP INI kedepannya tidak mengadopsi seperti yang Saya ungkapkan tadi tentunya, bisa saja Saya nanti akan bergabung dengan orang-orang yang punya kepentingan lebih luas terhadap anggota dan masyarakat. Dan tentu saja ini bukanlah sebuah ancaman. Bagi Saya, situasi saat ini Saya anggap menganggu karena sebagai akademisi dan juga dosen, mahasiswa-mahasiswa Saya jadi terganggu dengan kondisi organisasi saat ini. Dan Saya punya kepentingan terhadap alumni Saya agar tidak menjadi obyek organisasi semata.,” imbuh Prof Widhi.

Menurut Prof Widhi, mengambil sampel kepemimpinan seperti partai politik misalnya yang banyak melakukan monopoli dalam perjalanannya, ternyata sangat rentan akan perpecahan dan itu benar-benar sudah terjadi di Indonesia. Makanya, Saya mengusulkan kepada Ikatan Notaris Indonesia untuk  mengusung sistem kolektif Koligial ini bisa diadopsi dalam menentukan pemimpinnya.

“Menurut Saya, sistem kolektif kolegial ini menggambarkan proses yang dilakukan orang-orang di jajaran kepengurusan untuk bersatu dalam mencapai perubahan,” terang Prof Widhi.

Iya berangkat dari pemikiran bahwa pada kenyataan harus diakui bahwa Ikatan Notaris Indonesia beberapa kali mengalami guncangan kepemimpinan dikarenakan sistem kepemimpinannya yang tunggal. Bahkan hingga hari ini masih berseteru, maka hanya dengan sistem kolektif Koligial inilah yang kemudian menurut Dosen Notariat Fakultas Hukum Unissula Semarang Jawa Tengah ini bukan hanya sekadar untuk mengatasi masalah yang ada saat ini, tapi seterusnya bisa diterapkan.

Diakui Notaris – PPAT Kota Semarang ini, dirinya mengadopsi sistem kolektif Koligial ini dari beberapa organisasi besar, salah satunya dari Muhammadiyah yang bersifat legal rasional  dimana para pemimpinnya diangkat tidak semata-mata karena faktor kedekatan atau berdasarkan kewibawaan, akan tetapi lebih kepada keahlian yang mereka miliki.

Diungkapkan Prof Widhi bahwa pemimpin di Muhammadiyah dari pusat sampai ranting terstruktur dalam sistem organisasi, termasuk praktik kepemimpinan kolektif. Konsep kepemimpinan kolektif kolegial itu menurut Prof Widhi sejatinya lebih merupakan spirit atau jiwa kebersamaan, sedangkan roda kepemimpinannya yang berlaku secara resmi adalah kepemimpinan  berbasis sistem organisasi yang di dalamnya terdapat otoritas berjenjang berikut dengan pembagian kerjanya.

Bila ada orang yang mengatakan, “organisasi kok banyak memberatkan anggota”, hal tersebut tentu tidak sejalan dengan asas organisasi. Karena organisasi itu melekat dengan tatanan yang didalamnya terdapat suatu aturan dan keteraturan dalam suatu sistem dalam berorganisasi, sehingga pengurus atau Ketua sekalipun tidak boleh berbuat dan melangkah sekehendaknya dengan mengabaikan koridor organisasi.

Intinya, lanjut Prof Widhi, bahwa konsep kepemimpinan yang selama ini menjadi monopoli Ketua Umum, kedepan dengan sistem kolektif Koligial haruslah berada dalam sistem, dan bukan kepemimpinan yang terlepas apalagi hanya mengikuti kehendak dan pandangan perorangan.

Setidaknya, harapan Prof Widhi dalam situasi organisasi yang sedang tidak baik-baik saja sampai saat ini, semua pihak diminta untuk legowo dan menanggalkan egoisme masing-masing, dan kembali bersatu membentuk kolektif kolegial demi kebaikan dan perubahan Ikatan Notaris Indonesia dan juga bagi kepentingan anggota.

“Saya rasa kalau kedua belah pihak punya kecintaan terhadap organisasi. Pastinya, dengan kondisi seperti sekarang ini malu. Untuk itu, mereka harus punya jiwa besar. Dan Saya rasa mudah saja bagi keduanya bisa bertemu, asal keduanya punya niat. Kuncinya ada pada Tri Firdaus Akbarsyah dan Irfan Ardiansyah, jika diperlukan bisa menghubungi siapapun yang bisa menyatukan keduanya,” ujar Prof Widhi.

“Jangan kemudian kritis Saya ini dianggap ada ketidaksukaan ataupun ancaman, karena yang Saya kritisi itu sejatinya kepatuhan terhadap AD ART Perkumpulan. Intinya, organisasinya yang Saya kritisi. Jadi salah kalau itu dianggapnya karena ada sentimen pribadi tentu saja itu salah,” tegas Prof Widhi.

“Tapi jika saya dianggap salah yaa Saya siap minta maaf. Sekalipun Saya benar juga, dan Saya tetap dianggap salah! Maka demi kepentingan anggota dan orang banyak Saya siap minta maaf,” ujar Prof Widhi mengakhiri wawancaranya.

Kolektif Koligial Bukan Sekadar Membuka Tangan Selesai

Disinggung soal kondisi Organisasi di Jawa Tengah menurut Hari Bagyo,  sejauh ini tidak ada perkembangan signifikan yang membaik di Jawa Tengah.  Justru dalam organisasi Ikatan Notaris Indonesia dalam perkembangannya sekarang ini, dari kedua kubu yang berseteru belum juga mau menyatu, bahkan terkesan tambah panjang.

Hari Bagyo, SH, M. Hum
Hari Bagyo, SH, M. Hum

“Disana ada Konferwil, disini juga ada Konferwil. Disisi lain Pengda-Pengda ada yang meminta kepada anggotanya untuk tertib AD ART, dan dikubu yang lain juga demikian. Yang mengkhwatirkan justru ujung-ujung anggota malah menjadi pasif,” ujar Hari Bagyo.

Diungkapkan Hari Bagyo, di Jawa Tengah bahkan ada juga Pengda yang menyatakan netral.  “Lho ini organisasi, kok bisa-bisanya Ketua Pengda netral. Karena dalam organisasi itu ada aturan mainnya yaitu AD ART sebagai bahan acuan, dan itulah yang harus kita pakai. Jadi katakanlah yang benar walau itu pahit, agama Islam mengajarkan seperti itu. Lha ini kok nggak dipake,” imbuh Hari Bagyo.

Lebih jauh Hari Bagyo menegaskan jika seseorang ingin berorganisasi, dia sudah harus siap manakala mau terjun diorganisasi. Yang tentu saja juga harus siap mau melayani anggotanya  dengan semangat berkorban.

Menangapi soal gagasan yang dilontarkan oleh Prof Widhi, Hari Bagyo menegaskan bahwa tidak serta merta gagasan itu bisa diterapkan seketika atau seperti membalik telapak tangan.

“Tentunya ada beberapa tahapan yang harus dilalui sebagaimana pengaturannya dalam AD – ART Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia, apakah memungkinkan tidak gagasan tersebut bisa diterapkan dan bukan sekadar buka tangan selesai,” terang Hari Bagyo.

Diakhir wawancaranya Hari Bagyo menegaskan bahwa apa yang menjadi gagasan rekan kita Prof Widhi, kalau memang itu bisa dilakukan kenapa tidak?

“Hanya saja, menurut Saya sebagaimana telah Saya sampaikan diawal tadi, tentu saja harus dirubah dulu AD ART Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia. Dan tentu saja harus ada kajian-kajian sistem yang sudah diadopsi banyak lembaga itu bisa diterapkan pada organiassi Ikatan Notaris Indonesia. Kalau itu baik kenapa tidak, toh pada gilirannya bisa bermanfaat bagi anggota. Karena harus diakui, sejauh ini setiap perhelatan Kongres INI dan IPPAT selepasnya menimbulkan permusuhan-permusuhan, inilah yang tentunya harus dihindarkan,” ujar Hari Bagyo. (PRAMONO)

Releated Posts

Follow Us Social Media

ADVERTISMENT

Are You Ready to Explore the Renewed JupiterX with Advanced User Experience?

Trending Posts

Recent Posts

ADVERTISMENT