(Karawang – Notarynews) Bertempat di Hotel Brits Karawang Jalan Tarumanegara Kav 8 Jalan Akses Tol Karawang Barat No.I, Aukamakmur, Telukjambe Timur, Karawang, pada Kamis (20/10) Pengurus Daerah Kabupaten Karawang Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT) dan Ikatan Notaris Indonesia (INI) menyelenggarakan diskusi hukum dengan mengangkat tema besar “Problematika Hukum PPJB Dalam Pelaksanaan Tugas Jabatan Notaris”. Dihadirkan sebagai Keynote Speaker Dr. Martha Parulina Berliana S.H., M.H, Kepala Kejaksaan Negeri Karawang. Diskusi hukum kali ini hanya menghadirkan pembicara tunggal Dr. I. Made Pria Dharsana, SH, M. Hum yang dimoderarori oleh Risha Sophy Pattinama, SH, MKn, LLm.
Hadir pada acara kali ini Ketua Pengda Karawang INI Juniety Dame M. Purba. SH, SpN, MH, Ketua Pengda Karawang IPPAT, Fadli Ichsanul Husein, SH, Dr. Martha Parulina Berliana S.H., M.H, Kepala Kejaksaan Negeri Karawang serta beberapa tamu undangan lainnya.

Ketua Pengda Karawang INI Juniety Dame M. Purba. SH, SpN, MH dalam sambutannya menyampaikan apresiasi yang besar terhadap seluruh panitia gabungan dari Pengurus Daerah INI – IPPAT Karawang yang sudah bekerja keras dengan dedikasi tinggi memberikan waktu dan kesempatan sehingga terselenggaranya acara diskusi hukum kali ini.
Sebagai informasi, disampaikan Juniety Purba bahwa Pengda Karawang INI – IPPAT disisa waktu 72 hari kedepan pada tahun 2022 masih memiliki 9 kegiatan lagi. “Dan dalam waktu dekat kita akan mengadakan tour ke Jogja, ” ujar Juniety singkat.

Dr. Martha Parulina Berliana S.H., M.H, Kepala Kejaksaan Negeri Karawang selaku keynote speaker dalam sambutannya mengingatkan agar rekan-rekan Notaris selalu menjaga etika profesinya.
“Ketika etika profesi sudah keluar dari domainnya, maka tugas pengawas dan juga dewan kehormatan menyikapinya,” ujar Martha Parulina singkat.

Dr. I. Made Pria Dharsana, SH, M. Hum dalam paparannya mengatakan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dibuat dihadapan Notaris merupakan akta otentik. Dalam kaitannya dengan akta otentik tersebut, Pasal 1870 KUH Perdata telah memberikan penegasan bahwa akta yang dibuat dihadapan notaris memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna.
Adapun, kutipannya sebagai berikut : “Suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli waris-ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya.”

Menurut Made Pria Dharsana, biasanya PPJB akan dibuat para pihak karena adanya syarat-syarat atau keadaan-keadaan yang harus dilaksanakan terlebih dahulu oleh para pihak sebelum melakukan AJB di hadapan NOTARIS. Dengan demikian PPJB tidak dapat disamakan dengan AJB yang merupakan bukti pengalihan hak atas tanah/bangunan dari penjual kepada pembeli.

“PPJB dapat dibuat di hadapan Notaris ataupun dibuat oleh para pihak tanpa dibuatkan dalam bentuk akta dan keduanya tetap mengikat para pihak secara sah selama PPJB dibuat dengan memenuhi syarat sah perjanjian yang dimaksud pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). PPJB adalah perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan dan bentuknya bebas. Sebagai perjanjian bantuan, maka perjanjian tersebut dapat berupa perjanjian pendahuluan (Pactum de contrahendo), yaitu perjanjian di mana para pihak saling mengikatkan diri untuk terjadinya perjanjian pokok yang menjadi tujuan mereka, yakni perjanjian kebendaan, ” terang Made.
Notaris PPAT Kabupaten Badung, Bali ini mengingatkan soal adanya larangan pengunaan kuasa mutlak dalam PPJB berdasarkan instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak atas Tanah. Selain itu, dia juga menegaskan soal sangat berisikonya PPJB dijadikan sebagai jaminan utang, apabila PPJB dijadikan sebagai jaminan utang, menruut Made Pria, dapat beresiko terhadap kreditur yang dalam hal ini bank, karena obyek yang dijadikan sebagai jaminan masih bersifat menggantung, dalam artian belum pasti kepemilikannya sebelum diterbitkannya AJB. Resiko terhadap kreditur yang dapat dimungkinkan terjadi, yaitu kreditur hanya berstatus sebagai kreditur konkuren.
Kedudukan kreditur konkuren dimaksud Made Pria, dalam hal terjadinya kepailitan merupakan kreditur yang tidak memiliki kedudukan utama dalam pembayaran utang oleh debitor karena kreditur konkuren tidak memegang hak jaminan atau obyek kebandaan sehingga haknya untuk mendapatkan pelunasan utang adalah paling terakhir setelah pelunasan terhadap kreditur-kreditur utama lainnya (kreditur separatis dan kreditur preferen).
Lalu bagaimana dengan ketentuan terkait jaminan PPJB pada KPR? Dijelaskan Made Pria bahwa beberapa bank memiliki ketentuan internal tersendiri mengenai penjaminan dengan dasar PPJB atas KPR. Tetapi berdasarkan best practice, apabila PPJB tersebut ingin dijadikan jaminan atas KPR, maka bank memperbolehkan hal tersebut dengan syarat bahwa KPR tersebut untuk memfasilitasi pembelian rumah baru (KPR Primary) serta khusus untuk pembelian melalui developer rekanan dari Bank tersebut. Dengan pertimbangan bahwa proses jual beli rumah baru akan memerlukan proses yang tidak singkat sampai dengan terbitnya sertifikat atas rumah tersebut.
Dari segi aspek developer rekanan, lanjut Made Pria dikarenakan apabila terjadi resiko hukum pada Bank terkait dengan jaminan yang masih berupa PPJB tersebut, Bank dapat melakukan gugatan dan atau tuntutan hukum kepada developer berdasarkan perjanjian kerja sama rekanan antara Bank dan developer. Untuk pembelian bukan rumah baru (KPR Secondary), maka saran kami agunan yang dijaminkan tetap berupa bangunan yang telah selesai proses Akta Jual Beli-nya dan telah diterbitkan sertifikat atas tanah tersebut.
Pertanyaaan lain muncul, dalm kesempatan diskusi, apakah PPJB bisa dibatalkan sepihak? Menurut Made Pria, ketika terjadi kesepakatan antara penjual dan pembeli, sebaiknya lakukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) di hadapan Notaris. Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) tanah mengandung hak dan kewajiban yang telah disepakati dari para pihak yang membuatnya. Atas dasar itulah, apabila hal-hal yang telah disepakati dalam PJBB dilanggar atau tidak dipenuhi oleh para pihak yang membuatnya maka hal tersebut dapat dikatakan telah terjadi wanprestasi.
Namun lanjut Notaris – PPAT Kabuapten Badung, Bali ini bahwa tak selalu akibat pembatalan jual beli rumah sepihak oleh pembeli, pembatalan PPJB juga dapat dibatalkan atas kesepakatan kedua belah pihak. Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) tanah tersebut dapat pula dibatalkan oleh suatu keputusan pengadilan. Tentunya akibat dari pembatalan PPJB oleh mengandung konsekuensi hukum. Terutama terkait dengan penggantian uang muka yang telah dibayarkan.
Pembatalan PPJB dan konsekuensinya, ditegaskan Made Pria berdasarkan Pasal 1451 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), pembatalan perjanjian atas dasar ketidakcakapan salah satu pihak membawa akibat, bahwa para pihak dipulihkan ke dalam keadaan seperti sebelum perjanjian ditutup. Konsekuensi dari pembatalan perjanjian tersebut adalah bahwa prestasi yang telah diserahkan, timbal balik harus dikembalikan.
“Jika para pihak sepakat untuk membatalkan perjanjian maka, dengan demikian para pihak menutup suatu perjanjian baru, yang isinya membatalkan perjanjian yang lama. Artinya, perikatan yang ada yang lahir dari perjanjian yang dibuat sebelumnya dihapus dengan perjanjian yang baru (perjanjian yang menghapuskan perikatan),” terang Made Pria.
“Adapun akibat hukum pembatalan PPJB adalah pabila PPJB dibatalkan, tentunya akan ada akibat hukum PPJB. Selain itu, yang perlu diketahui adalah bagaimana perlindungan hukum apabila pihak pembeli yang membatalkan PPJB begitupun sebaliknya. Seperti sanksi administrasi. Terkait dengan pihak yang dinyatakan harus membayar denda akibat batalnya PPJB tersebut, maka seharusnya dibuktikan dulu.,” imbuh Made Pria.
Oleh karenanya, lanjut MadePria dalam suatu PPJB harus disebutkan dengan jelas mengenai sanksi yang diberikan jika salah satu pihak dinyatakan wanprestasi. Hal ini sebagai pencegahan apabila dikemudian hari terdapat sengketa di antara para pihak. Maka, akibat yang ditimbulkan akibat batalnya PPJB yang dibuat dihadapan notaris karena wanprestasi adalah: pertama, adanya denda yang harus dibayarkan oleh pihak yang melakukan tindakan wanprestasi. Kedua, Akta yang dibuat dihadapan Notaris yaitu akta PPJB menjadi dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi unsur subyektif atau batal demi hukum apabila tidak memenuhi unsur objektif. Ketiga, membayar biaya perkara apabila pembatalan PPJB tersebut dilakukan dimuka pengadilan.
Untuk diakhir paparannya, Made Pria kembali mengingatkan agar Notaris sebagai Pejabat Umum, harus lebih menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menangani para penghadap atau para pihak yang hendak dimintakan membuat akta.
Posisi sebagai Notaris juga seharusnya lebih dapat bersikap tegas dan saksama untuk dapat memillah dan menolak membuat akta apabila akta tersebut berindikasi perbuatan melawan hukum atau melanggar ketentuan Undang-undang yang dapat merugikan para pihak, dan Notaris itu sendiri.