(Pemalang – Notarynews) Terjadinya permasalahan tanah di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang terjadi di Indonesia dikarenakan adanya kekosongan hukum terhadap pengakuan masyarakat hukum adat dan terjadinya tumpang tindih aturan serta lemahnya koordinasi antara lembaga terkait permasalahan dalam pemanfaatan sempadan pantai.
Demikian disampaikan oleh Dr I Made Pria Dharsana, SH, M. Hum pada webinar nasional yang diadakan Pengurus Daerah Kabupaten Pemalang, Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Jumat, (14/2) yang mengangkat tema besar “Sertifikasi Tanah Pesisir & Pulau Kecil: Peran PPAT dalam Tata Kelola Wilayah Perairan”.

Menurut Made Pria, hal lain yang juga harus menjadi perhatian pemerintah adalah adanya pencemaran wilayah pesisir dan laut yaitu penangkapan ikan secara berlebihan sehingga kerusakan ekosistem terumbu karang serta terjadi degradasi hutan mangrove, abrasi pantai pendangalan alih fungsi lahan.
Untuk mengatasi permasalahan hukum tanah pesisir, menurut Made Pria, pemerintah dapat melakukan evaluasi terhadap sistem hukum yang berlaku.
“Evaluasi tersebut dapat dilakukan dengan mempertimbangkan struktur, substansi dan budaya hukum yaitu dengan memperhatikan berbagai aspek penting yang meliputi dasar pengelolaan tanah ulayat wilayah pesisir, pengakuan masyarakat hukum adat, eksistensi wilayah ulayat, pemangku kepentingan,” terang Dosen Magister Kenotariatan Universitas Indonesia ini.
Keempat faktor tersebut diatas menurut Made Pria merupakan alternative penyelesaian berbagai macam permasalahan hukum menyangkut wilayah pesisir.
Ditegaskan Made Pria penyelesaian terkait dengan masalah kewenangan pengelolaan wilayah pesisir berbasis ulayat tentunya dapat digunakan dengan memaksimalkan pola teori sistem Hukum yang terdiri atas tiga komponen, yaitu : struktur hukum (Legal Structure), Substansi Hukum (Legal Substance) dan Budaya Hukum (Legal Culture).
Selanjutnya, pembenahan atas ketiga unsur-unsur Ini, akan bermuara pada semakin kecilnya tumpang tindih dan meminimalisir problematika yang ada berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir.
Hal tersebut menurut Dosen Notariat Universitas Warmadewa Bali ini juga nerupakan alternative dalam permasalahan antara kepentingan masyarakat hukum adat dengan kepentingan para pihak terhadap hak ulayat dalam wilayah pesisir tersebut.
Berbicara soal hak atas tanah wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sejatinya menurut Made Pria bisa diberikan, hal tersebut berdasarkan ketentuan dalam Permen 17/2016, bahwa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat diberikan hak atas tanah. Hak Atas Tanah yang dapat diberikan adalah hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), adalah hak milik, hak guna usaha. Sedangkan pada kawasan perairan pesisir, hak atas tanah hanya dapat diberikan atas bangunan untuk program-program strategis negara, kepentingan umum, permukiman di atas air bagi masyarakat hukum adat; dan atau pariwisata.
Akan tetapi, hak atas tanah tidak dapat diberikan pada pantai dan atau perairan pesisir yang merupakan bangunan yang terletak di luar batas wilayah laut provinsi, instalasi eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi, gas, pertambangan, dan panas bumi serta instalasi kabel bawah laut, jaringan pipa, dan jaringan transmisi lainnya dan atau bangunan yang terapung.
Made Pria dalam paparannya mengingatkan pemanfaatan tanah wilayah pesisir juga harus sesuai dengan rencana tata ruang wilayah provinsi, kabupaten, kota atau rencana zonasi wilayah pesisir, dan seluruh ketentuan perizinan yang ditetapkan oleh instansi terkait serta calon pemilik hak atas tanah yang memperoleh rekomendasi dari pemerintah daerah yang bersangkutan dalam hal peruntukan tanah dan kesesuaiannya dengan rencana tata ruang.
Terkait dengan keberadaan pagar laut di wilayah pesisir kabupaten Tangerang yang bikin heboh, Made Pria menangapi bahwa penerbitan sertifikat hak atas tanah yang ada di wilayah perairan Tangerang telah melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dalam ketentuan itu, disampaikan Made Pria bahwa pemerintah dilarang memberikan hak pengusahaan atau konsesi agraria di perairan pesisir bagi para pengusaha.

Sebelumnya, Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Prof. Dr. Nurhasan Ismail, SH, MSi menerangkan Pasal 1 ayat 4 UU PA menyatakan, terkait pengertian tanah termasuk daratan yang posisiya ada di bawah kolom air. Artinya apa, baik perairan pesisir maupun yang danau atau sungai, masuk definisi tanah atau lahan.
Ditegaskan Prof Nurhasan, khusus tanah di bawah kolom air, tak bisa melepaskan diri dari peraturan perundang-undangan bidang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dalam artian, jika yang ingin dimanfaatkan adalah kolom airnya, maka masuk pernah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk tingkat pusat. Jika lokasinya di daerah menjadi wewenang kepala daerah atau dinas terkait.
Menanggapi kegaduhan soal pagar laut yang telah mengantongi HGB di Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Sidoarjo, Prof Nurhasan menyebutnya sebagai bentuk kelatahan dari aturan hukumnya yang memungkinkan adanya SHGB tersebut.
“Misalnya di Sidoarjo, kalau HGB-nya mau diperpanjang, berati sudah 25 tahun yang lalu diberikan. Tapi kenapa dipermasalahkan sekarang? Itu kelatahan politis dari DPR,” ujar Prof Nurhasan.
Diungkapakan Prof Nurhasan bahwa sudah sejak lama di sepanjang Pantai Utara Pulau Jawa hingga Pantai Selatan Madura, masyarakat memanfaatkan pesisir untuk menopang kehidupannya dan perlahan tapi pasti mereka pun kemudian melakukan reklamasi dan rujukan yang digunakan cukup dengan hukum adat.
Mengapa itu terjadi, menurut Prof Nurhasan yaa dikarenakan tidak ada tanah lagi, dan negara juga tidak mampu menyediakan tanah untuk mereka. Pada akhirnya, merekapun membentuk sendiri tanah itu.
Ketua Pengurus Daerah Kabupaten Pemalang Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Ramzi Baraba, S.H., M.Kn. selaku moderator dalam kesimpulannya, menegaskan dapatkah HAT di wilayah perairan pesisir itu diberikan dalam bentuk sertipikat HAT?

“Tentu saja dapat diberikan, sepanjang semua prosedur dan syarat itu harus dipenuhi agar HAT itu sah. Jika tidak dipenuhi, maka tidak sah dengan konsekuensi, pertama dapat dibatalkan jika bersifat administratif. Kedua, proses pidana jika mengandung tindak pidana,” terang Ramzi.
“Jangan karena Kasus Pagar Laut di Tangerang yang tidak memenuhi prosedur dan syarat dalam peraturan perundang-undangan kemudian dijadikan sebagai “Nila setitik merusak susu sebelanga” karena HAT di wilayah perairan pesisir dapat diberikan sepanjang memenuhi prosedur dan syarat berdasarkan ketentuan yang berlaku,” ujar
Ramzi Baraba menutup webinar tersebut. (SuSanti)
No comment yet, add your voice below!