(Jakarta – Notarynews) Bertempat di Ruang Rapat Komisi III, pada Kamis, 7 April 2022, pukul 14.00 sampai selesai. Kali ini, Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (PP INI) memenuhi undangan dari DPR RI rangka untuk mengikuti “Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU)” mengenai substansi RUU tentang Hukum Acara Perdata (RUU HAPER) dan diterima oleh Komisi III DPR RI di Ruang Rapat Komisi III.
Hadir dalam RDPU tersebut Yualita Widyadhari, SH, MKn (Ketua Umum INI), Tri Firdaus Akbarsyah, SH, MH (Sekretaris Umum INI), Wirastuti P (Bendahara Umum INI), Agung Iriantoro (Kabid Perlindungan Anggota), Taufik, SH (Kabid Organisasi), Sri Widyawati, SH, MKn (Kabid Hub. Antar Lembaga), Herna Gunawan, SH (Sekretaris), Simon Yos Sudarso, SH (anggota Bidang Pendidikan & Pelatihan) PP INI serta Dr. Habib Adjie, SH. M. Hum dan Dr. I Made Pria Dharsana selaku Tim Pakar PP INI.
Pada kesempatan tersebut, PP INI memberi masukan atas draft RUU HAPER, antara lain mengenai definisi Pejabat Umum, Akta Otentik, dan hal-hal lain yang terkait langsung dengan pelaksanaan Jabatan Notaris.
Yualita Widyadhari, SH, MKn, Ketua Umum PP INI
Ketua Umum PP INI dalam RDPU tersebut mengungkapkan kepada Komisi III bahwa usulan materi mengenai RUU HAPER yang disampaikan oleh PP INI dalam RDPU tersebut merupakan tindak lanjut dari hasil kegiatan Pembekalan dan Penyegaran Pengetahuan yang dilaksanakan saat RP3YD di Batu, Malang, Jawa Timur pada Bulan November 2021 dengan mengundang narasumber dari Adhaper, BPHN, Ditjen PP dll.
Selain itu, dalam rentang draf RUU HAP sudah di bahas dalam RP3YD Batu, Malang.. materi RUU HAP ini kemudian oleh PP INI juga dibahas bersama dengan dewan pakar baik di laksanakan di sekretariat PP INI jalan Minangkabau maupun melalui zoom meating. Pembahasan dimaksud dalam rangka mematangkan kembali point-poin usulan, sebelum diserahkan kemarin dalam RDP dg komisi III DPR RI.
Yualita berharap rangkuman tersebut menjadi masukan-masukan penting bagi Komisi III DPR RI terutama terkait dengan tugas dan wewenang jabatan Notaris sebagi pejabat umum yang membuat akta otentik sebagai akt bukti yag dibutuhkan masyarakat.
Adapun usulan dan masukan sebanyak 20 point disampaikan langsung oleh Ketua Bidang Organisasi, Taufik, SH. Dan salah satu hal penting yang dipaparkan Kabid Organisasi tersebut adalah terkait soal definisi pejabat umum.

Disebutkan Taufik, dalam draff diaebutkan bahwa pejabat umum adalah pejabat yang diberikan kewenangan khusus tapi dalam kesempatan kali ini PP INI mengusulkan adanya perubahan mengenai istilah pejabat umum. Karena menurut Taufik dalam paparannya, tidak ditemukan istilah pejabat umum ini dalam undang-undang mana pun.
“Dulu istilah pejabat umum ini pernah bisa kita temukan pada Peraturan Jabatan Notaris (PJN). Istilah Pejabat Umum merupakan terjemahan dari istilah Openbare Amtbtenaren yang terdapat dalam Pasal 1 PJN dan Pasal 1868 Burgerlijk Wetboek (BW). Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris menyebutkan bahwa : “Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya yang berwenang membuat akta otentik, sepanjang pembuatan akta-akta tersebut tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. terang Taufik.
“Kembali kepada dengan yang ada dalam draff RUU HAPER dimana disebutkan yang dimaksud pejabat umum adalah pejabat yang diberikan kewenangan khusus, tentunya ini akan menjadi rancu dengan kewenangan Notaris,’ ujar Taufik.
Karena yang dimaksud dengan Openbare Ambtenaren sebagaimana dipaparkan Taufik, yang diterjemahkan sebagai Pejabat Umum diartikan sebagai pejabat yang diserahi tugas untuk membuat akta otentik yang melayani kepentingan publik, dan kualifikasi seperti itu diberikan kepada Notaris.
Kewenangan dimaksud Kabid Organisasi PP INI adalah terkait membuat akta otentik, sepanjang pembuatan akta-akta tersebut tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.
Karena menurut Taufik, aturan hukum sebagaimana tersebut di atas yang mengatur keberadaan Notaris tidak memberikan batasan atau definisi mengenai Pejabat Umum, karena sekarang ini yang diberi kualifikasi sebagai Pejabat Umum bukan hanya Notaris saja, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) juga diberi kualifikasi sebagai Pejabat Umum, Pejabat Lelang. Pemberian kualifikasi sebagai Pejabat Umum kepada pejabat lain istilah Openbare diterjemahkan sebagai Umum.
Untuk itulah lanjut Taufik PP INI ingin mengembalikan istilah pejabat umum ini untuk membedakan dengan pejabat khusus lainnya. Dalam kesempatan ini, PP INI ingin mengembalikan posisi pejabat umum sebagai satu-satunya yang berwenang membuat akta otentik, sepanjang pembuatan akta-akta tersebut tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain sesuai dengan undang-undang.

Anggota Komisi III DPR RI, Arsul Sani dalam pandangannya mengatakan bahwa RUU HAP menjadi kebutuhan masyarakat pencari keadilan, khususnya bagi mereka yang bersengketa secara perdata melalui jalur peradilan. Namun demikian, ada sejumlah hal harus menjadi perhatian bagi DPR ataupun pemerintah selaku pembuat UU.
“Kalo melihat RUU HAP ini kan inisiatif pemerintah, maka naskah akademi itu dari pemerintah. Kalau kami baca RUU ini bersifat kondifikasi tetapi terbuka salah satunya ialah membiarkan UU di luar UU jaman Belanda yang memuat hukum acara itu tetap berlaku kecuali apa yang ada didalam ketentuan penutup dari RUU ini,” ujar Asrul Sani dalam paparannya.
Pada rapat tersebut, Komisi III DPR RI mendengar pandangan para ahli yang terdiri dari Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) dan Ikatan Notaris Indonseia (INI). “Kami meminta masukan nanti juga kami undang pakar dan ahli. Sebab aspirasi dari berbagai pihak dan memperkaya perspektif diskursus RUU HAP,” ujar politisi fraksi PPP ini.

Arsul menegaskan, pembentukan dan perumusan UU tetap mengedepankan asas kehati-hatian dan ketelitian dalam merumuskan setiap norma dalam RUU HAP. Sebab, materi RUU HAP penting memperlihatkan kebutuhan hukum kelompok marginal. Seperti masyarakat adat, kelompok penyandang disabilitas, dan lainnya agar memberi kepastian hukum dan keadilan bagi semua kalangan. (Pramono)