Konflik Norma Di Sektor Kenotariatan
dan Ke PPAT-an
Oleh :
Dr. Pieter Latumeten, SH, SpN, MH
Langkah Normalisasi Melalui Uji Materiil dan Atau Pembaharuan Perubahan Hukum
Konflik norma dalam sektor kenotariatan dan ke PPATan merupakan masalah serius yang perlu segera diatasi. Dengan adanya harmonisasi peraturan, penyempurnaan UUJN, dan peningkatan kualitas pendidikan, diharapkan konflik norma ini dapat diminimalisir sehingga tercipta kepastian hukum dan pelaksanaan tugas dan fungsi Notaris dan PPAT yang lebih baik.

Demikian disampaikan oleh Dr. Pieter Latumeten, SH, SpN, MH (Dosen Program Magister Kenotariatan Universitas Indonesia saat memberikan materi kuliah umum (kuliah pakar) di Prodi MKn Fakultas Hukum Unissula pada Kamis, 26 Juni 2025, pukul 13.00 hingga pukul 15.00 sore yang dipandu oleh Dosen Notariat Universitas Islam Sultan Agung Semarang, Dr. Taufan Fajar Riyanto, SH, MKn.

Pendapat Paul Scholten yang terkenal adalah bahwa “hukum itu ada, tetapi harus ditemukan” (het recht is in de wet moet nog gevonden worden). Ini berarti bahwa meskipun hukum telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, tugas hakim adalah menemukan dan menerapkan hukum tersebut pada kasus konkret yang dihadapi.
Bicara soal konflik Norma Pieter Latumeten mengaku dia terinspirasi dengan pendapat Scholten yang menekankan bahwa hukum tidak hanya sekadar kumpulan aturan tertulis, tetapi juga memerlukan penafsiran dan penerapan oleh hakim untuk menjadi nyata dalam kehidupan.
Proses penemuan hukum ini melibatkan berbagai metode seperti interpretasi, analogi, dan pertimbangan nilai-nilai sosial untuk mencapai keadilan. Pendapat Scholten ini juga menurut Pieter merupakan kritik terhadap aliran legisme, yang menganggap hukum hanya sebagai kumpulan aturan tertulis yang harus diterapkan secara kaku. Artinya apa, Scholten melihat sistem hukum sebagai sistem yang terbuka, yang tidak hanya berpegang pada aturan yang sudah ada, tetapi juga mempertimbangkan perkembangan masyarakat dan nilai-nilai yang berlaku pada masa sekarang.

Dengan demikian, pendapat Scholten ini menekankan pentingnya peran hakim dalam menemukan hukum yang adil dan relevan dalam setiap kasus konkret, serta pentingnya pemahaman terhadap sistem hukum yang terbuka dan dinamis.
Dalam situasi seperti sekarang tak hanya para penegak hukum mungkin Notaris PPAT juga perlu juga melakukan penemuan hukum untuk menemukan solusi yang adil dan sesuai dengan konteks hukum yang ada dalam praktik kenotariatan dan ke PPAT-an.
Menginjak pada materi kuliah pakar yang disampaikan oleh Dosen Notariat Universitas Indonesia ini terkait soal kesimpangsiuran peraturan perundang-undangan di sektor kenotariatan dan ke PPAT-AN dimana ada beberapa hal penting yang disampaikan antara lain : UUPA versus Buku III BW.

Ditegaskan Pieter bahwa UUPA telah mencabut Buku II BW terkait bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan tidak mencabut Buku III tentang perikatan yang terkait dengan hak atas tanah dan bangunan.
“Perbedaan utama antara UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) dan Buku III BW (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) terletak pada cakupan dan fokus pengaturan. UUPA mengatur tentang agraria, khususnya hak atas tanah, yang bersifat umum dan berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia,” terang Pieter.
Sementara itu, lanjut Dosen Notariat UI ini, Buku III BW mengatur tentang perikatan, yang merupakan bagian dari hukum perdata dan berlaku untuk semua jenis perikatan, termasuk yang berkaitan dengan tanah, namun dalam konteks hubungan perdata, bukan penguasaan dan pengaturan tanah secara umum.
Adapun fokus utama UUPA adalah mengatur tentang hak atas tanah, termasuk penguasaan, penggunaan, pemanfaatan, dan ketentuan terkait tanah secara umum. Sedangkan subjeknya, berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia dan mengatur hubungan antara negara, masyarakat, dan tanah.
Sedangkan sifatnya, bersifat umum dan komprehensif dalam mengatur masalah pertanahan. UUPA dalam hal bertujuan menata, mengatur, dan menyelenggarakan pengelolaan sumber daya agraria secara adil dan merata untuk kemakmuran rakyat
Terkait dengan keberadaan Buku III BW (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dalam hal ini fokusnya mengatur tentang perikatan, yaitu hubungan hukum antara dua orang atau lebih berdasarkan perjanjian atau undang-undang. Sedangkan subjeknya, berlaku untuk semua orang yang terlibat dalam suatu perikatan, baik perorangan maupun badan hukum, dan mengatur hak dan kewajiban dalam perikatan tersebut.
Adapun terkait sifat buku III BW menurut Pieter bersifat khusus dan berlaku pada hubungan perdata tertentu dengan tujuan, mengatur hak dan kewajiban dalam perikatan, termasuk perjanjian, jual beli, sewa menyewa, dan lain-lain.
Bicara soal perbedaan Utama kedua hal tersebut diatas, menurut Pieter pertama terkait dengan cakupan, dimana UUPA mengatur seluruh aspek pertanahan secara luas, sedangkan Buku III BW mengatur perikatan dalam konteks hukum perdata.
Kedua, Objek. UUPA berfokus pada tanah sebagai objek utama, sementara Buku III BW berfokus pada perikatan sebagai objek hukum. Ketiga, subjek. UUPA berlaku untuk seluruh warga negara, sementara Buku III BW berlaku untuk pihak-pihak yang terikat dalam suatu perikatan.
Intinya, menurut Pieter Latumeten, bahwa meskipun UUPA dan Buku III BW memiliki fokus yang berbeda, keduanya saling berkaitan. Misalnya, dalam perjanjian jual beli tanah, UUPA mengatur tentang hak atas tanah, sedangkan Buku III BW mengatur tentang perikatan jual beli itu sendiri. Dalam hal ini, UUPA menjadi dasar hukum yang lebih luas, sedangkan Buku III BW mengatur aspek perdata dari transaksi tersebut.
Selanjutnya Dosen Notariat yang juga mengajar di Universitas Pelita Harapan Tangerang ini juga menyampaikan soal Perikatan terkait hak atas tanah dan bangunan. Ditegaskan Pieter bahwa perikatan terkait hak atas tanah dan bangunan di Indonesia diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, terutama Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan peraturan pelaksanaannya. Perikatan ini mencakup berbagai aspek, mulai dari perolehan hak atas tanah, peralihan hak, pembebanan hak, hingga perlindungan hak.
Menyinggung soal peran PPJB dalam Jual Beli Tanah, Pieter menegaskan bahwa meskipun PPJB bukan merupakan peralihan hak secara langsung, namun PPJB memiliki kekuatan hukum yang mengikat para pihak. Dalam beberapa kasus, jika pembeli telah melunasi pembayaran dan menguasai tanah dengan itikad baik, PPJB dapat dianggap sebagai peralihan hak.
“Terkait dengan Hak Atas Tanah untuk Orang Asing. Orang asing dapat memiliki hak atas tanah di Indonesia, seperti hak pakai, hak sewa, dan hak milik atas satuan rumah susun (Sarusun). Namun, ada persyaratan dan ketentuan khusus yang berlaku bagi orang asing dalam hal kepemilikan hak atas tanah,” ujar Pieter.
Hubungan PPJB dan Rahasia Jabatan
Pelaporan PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli) dan rahasia jabatan adalah dua hal yang berbeda, namun keduanya berkaitan dengan aspek hukum dan etika dalam transaksi properti dan profesi notaris. PPJB adalah perjanjian awal sebelum pembuatan Akta Jual Beli (AJB), sementara rahasia jabatan berkaitan dengan kewajiban notaris untuk menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh dari klien.
Notaris yang membuat PPJB juga terikat dengan kewajiban menjaga kerahasiaan informasi terkait transaksi.
Informasi yang terdapat dalam PPJB, termasuk data para pihak dan detail transaksi, harus dijaga kerahasiaannya oleh notaris. Notaris tidak boleh mengungkapkan informasi tersebut kepada pihak lain tanpa izin dari para pihak yang terkait.
Pelaporan PPJB berkaitan dengan proses pembuatan dan pendaftaran perjanjian jual beli, sementara rahasia jabatan notaris berkaitan dengan kewajiban menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh dalam menjalankan jabatannya. Keduanya memiliki peran penting dalam menjaga kepastian hukum dan etika dalam transaksi properti serta profesi Notaris.
Kewenangan untuk membuat Surat Keterangan Waris (SKW)
Kewenangan untuk membuat Surat Keterangan Waris (SKW) dipegang oleh beberapa pihak, yaitu Balai Harta Peninggalan (BHP), Notaris, dan pejabat pemerintah setempat (Lurah/Camat), tergantung pada jenis dan status ahli waris.
Perumusan hukum SKW (Surat Keterangan Waris) di Indonesia melibatkan beberapa tahapan dan dasar hukum yang perlu dipahami Notaris. SKW adalah surat yang menyatakan seseorang sebagai ahli waris dari pewaris yang telah meninggal dunia.
Bicara soal kewenangan Notaris dalam hal SKW dimaksud Notaris berwenang membuat surat keterangan waris untuk masyarakat yang masuk dalam golongan Timur Asing. Namun surat keterangan waris belum diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, maka perlu adanya unifikasi hukum yang mengatur tentang bentuk format surat keterangan waris oleh Notaris.
“Notaris dapat menerbitkan Akta Pernyataan Waris atau Akta Keterangan Hak Waris yang memuat informasi tentang pewaris, ahli waris, dan harta warisan. Sedangkan, SKW yang dibuat oleh ahli waris dan disahkan oleh pejabat setempat (Lurah/Camat) dianggap sebagai akta di bawah tangan,” imbuh Pieter dalam paparannya.
“Dalam pembuatan Surat Keterangan Waris sampai sekarang harus berdasarkan pada pembagian golongan penduduk berdasarkan pada ketentuan Pasal 131 dan 161 I.S (Indesche Staats Regeling) dan Pasal 111,” terang Pieter.
Pieter memandang bahwa perumusan hukum Surat Keterangan Waris (SKW) oleh Notaris di Indonesia tidak memiliki dasar hukum yang kuat dalam Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN), namun bagitu praktik dilapangan masih didasarkan pada kebiasaan dan Surat Edaran terkait. Notaris dapat membuat SKW untuk golongan keturunan Timur Asing, tetapi untuk golongan lainnya, SKW dibuat oleh ahli waris sendiri dengan bantuan pejabat setempat atau Balai Harta Peninggalan (BHP).
Lebih jauh Pieter menegaskan meskipun tidak secara eksplisit diatur dalam UUJN, Notaris memiliki peran dalam pembuatan Surat Keterangan Waris, terutama untuk golongan Timur Asing dan keturunan Tionghoa. Namun, untuk golongan lain, prosesnya melibatkan pejabat setempat atau BHP. Penting untuk memahami dasar hukum dan prosedur yang berlaku untuk menghindari masalah di kemudian hari.
“Dikarenakan belum ada aturan yang jelas mengenai format dan prosedur pembuatan SKW oleh Notaris, untuk itu diperlukan unifikasi hukum untuk memberikan kepastian hukum,” ujarnya.
Menutup paparannya, Dosen Notariat Universitas Indonesia ini mengharapkan kedepan tercipta kepastian hukum. Karena menurut Pieter, dengan meniadakan konflik norma, tercipta kepastian hukum yang lebih baik bagi Notaris, PPAT, dan masyarakat secara umum.
Selain itu, akan pula meningkatkan kualitas layanan birokrasi pemerintah. Dengan normalisasi tentunya, lanjut Pieter, akan membantu meningkatkan kualitas layanan kenotariatan dan PPATan, serta mengurangi potensi kesalahan atau penyalahgunaan wewenang.
Namun yang tak kalah penting lanjut Pieter adalah nencegah sengketa dibelakang hari.”Dengan adanya aturan yang jelas dan terkoordinasi, potensi sengketa yang timbul akibat konflik norma dapat dicegah. Normalisasi ini juga berkontribusi pada pembangunan hukum yang lebih baik, adil, dan berkeadilan,” ujar Pieter. (Pramono)