(Bali – Notarynews) Sebagai sebuah fenomena, sengketa tanah bukan sesuatu yang ada begitu saja, jatuh dari langit (taken for granted), akan tetapi itu merupakan suatu proses yang dalam perjalanan waktu menimbulkan sengketa, konflik dan juga perkara.
“Beberapa kasus hukum yang berkaitan adanya benturan antara hak adat dengan hukum nasional, menggambarkan adanya inkonsistensi penegakan hukum hak atas tanah berdasarkan hukum adat dengan pengakuan hak atas tanah menurut hukum nasional. Penegakan hukum yang legalistik cenderung mengabaikan dan mengingkari hak atas tanah adat yang hidup dalam masyarakat.”

Demikian disampaikan oleh Dr. H. Pri Pambudi Teguh, SH, MH, selaku Hakim Agung, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Selasa (22/3) pada acara kuliah umum pada Program Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Warmadewa (Unwar) Bali di ‘Ruang Jaya Singha Mandapa Lantai 4 Gedung Unwar, yang mengangkat tema besar “Kompleksitas Penyelesaian Sengketa Tanah Dalam Persepektif Hukum Adat dan Hukum Nasional”.
Hadir pada acara tersebut Rektor Unwar, Prof. dr. Dewa Putu Widjana, DAP&E., Sp.ParK, Direktur PPs Unwar, Dr. Dra. A. A. Rai Sita Laksmi, M.Si dan juga Dekan Fakultas Hukum Unwar, Prof. Dr. I. Nyoman Putu Budiartha, SH, MH beserta civitas akademika Program doctor ilmu hukum Unwar dan ratusan mahasiswa dan praktisi hukum baik secara luring maupun daring.
Dekan Fakultas Hukum Unwar, Prof. Dr. I. Nyoman Putu Budiartha, SH, MHdalam sambutannya menyampaikan bahwa kegiatan kuliah umum kali ini diselenggarakan dalam rangka mensinergikan antara Prodi S3 Hukum PPs Unwar dengan Fakultas Hukum Unwar dengan tujuan untuk meningkatkan iklim Pendidikan di Unwar khususnya di Fakultas Hukum dan Prodi S3 Hukum terutama di sisi praktek hukum adat dan pertanahan.
Diungkapkan Prof Nyoman Putu Budiartha, bahwa di Bali kasus-kasus Hukum adat dan erat kaitan nya dengan pertanahan masih marak terjadi. Untuk itu, dengan di datangkan pakar atau praktisi hukum pertanahan kali ini diharapkan peserta mendapatkan pemahaman baru tentang materi “Kompleksitas Penyelesaian Sengketa Tanah Dalam Persepektif Hukum Adat dan Hukum Nasional”.
Menurut Prof Nyoman tentu saja kuliah umum ini akan bermanfaat bagi peserta baik S1, S2 dan S3. Dan Saya harapkan melalui kuliah umum ini peserta bisa meningkatkan kualitas dan kapabilitas dirinya.

Direktur PPs Unwar, Dr. Dra. A. A. Rai Sita Laksmi, M.Si., dalam sambutannya mengungkapkan bahwa keberadaan tanah di Bali sebagian tanah hak milik sudah memang disertifikasi. Tapi di sisi lain ada juga terdapat tanah-tanah desa (adat) yang tidak memiliki sertifikat seperti; tanah druwe desa, tanah laba pura, dan tanah ayahan desa.
Ditegaskan Rai Sita, berdasarkan UU Pokok Agraria (UUPA No. 5 Tahun 1960) setiap warga negara Indonesia yang memiliki tanah diwajibkan untuk mensertifikatkan tanahnya. Nin pada kenyataanya, keinginan mensertifikatkan tanah milik desa adat untuk disesuaikan dengan hukum nasional sering kali masih menimbulkan persengketaan dan konflik kepemilikan tanah.

Rektor Unwar, Prof. dr. Dewa Putu Widjana, DAP&E., Sp.ParK., menilai saat ini problem pertanahan sangat luar biasa kompleksnya, dan dia berharap melalui kuliah umum kali ini yang menghadirkan hakim agung yang memiliki banyak pengalaman dalam menyelesaikan masalah pertanahan dapat memberikan wawasan baru bagi seluruh stakeholder yang ada terutama bagi yang mengikuti kuliah umum ini sekaligus untuk menambah wawasan dan kompetensi di dalam problematika masalah pertanahan.
“Itulah sebabnya saya harap kepada para peserta agar benar-benar intens dalam mengikuti kuliah umum ini sehingga mereka bisa menarik keuntungan sebanyak-banyaknya dari oleh-oleh yang dibawakan oleh bapak hakim agung ini”, katanya.
Hakim Agung, Pri Pambudi Teguh dalam paparannya menegaskan bahwa konflik pertanahan seringkali muncul karena adanya benturan hak atas tanah yang dipertahankan secara adat, sedangkan tanah tersebut secara nyata telah dimiliki oleh perorangan atau badan hukum, dengan hak yang diberikan berdasarkan UUPA. Atau, bidang tanah tersebut telah dibebaskan oleh instansi pemerintah, badan hukum atau perorangan, berdasarkan peraturan yang yang berlaku.
Untuk pengakuan hak atas tanah menurut hukum adat, lanjut Hakim Agung ini, dapat berpedoman pada Peraturan Menteri Negara Agraria – Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Hanya, kasus-kasus pertanahan tersebut terkait hak adat, termasuk hak ulayat, yang terjadi di daerah atau skala nasional, harus diselesaikan dengan tolok ukur penentu keberadaan hak ulayat ( Maria SW Soemardjono, “Hak Ulayat dan Pengakuannya Oleh UUPA”, Kompas, 13 Mei 1993).
Di muka secara sepintas telah dikemukan bagaimana kompleksitas kasus hukum yang berkaitan adanya benturan antara hak adat dengan hukum nasional, yang kemudian menjelma menjadi inkonsistensi penegakan hukum hak atas tanah berdasarkan hukum adat dengan pengakuan hak atas tanah menurut hukum nasional. Dan pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan masing-masing daerahnya.
Dalam deskripsi Pri Pambudi, kebijakan pertanahan harus didasarkan pada prinsip bahwa “negara menguasai” ditegakkan dalam pengertian bahwa “negara mengatur dan mengeluarkan aturan”, yang ditaati oleh warga negara dan negara sebagai pengguna bumi, air dan ruang angkasa. Istilah ini adalah pemberian UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria dimana “bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan kekayaan nasional (Pasal 1 ayat (2) ). Adapun, hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara ( Pasal 5).
Selanjutnya, begitu membincang eksistensi hak ulayat dalam hukum nasional Indonesia, Pri Bambudi menyebutkan tiga hal pokok sebagai kriteria penentu eksistensi hak ulayat. Mengutip pendapat Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Prof. Dr. Maria SW Soemardjono, SH, MH soal kriteria penentu eksistensi hak ulayat yaitu, pertama, bahwa subyek hak ulayat, adalah masyarakat hukum adat. Kedua, obyek hak ulayat adalah tanah yang merupakan wilayah masyarakat adat dengan batas yang jelas, dan menjadi ladang kehidupannya (lebensraum). Dan ketiga, adanya tatanan hukum dan kewenangan dari masyarakat hukum adat untuk mengelola tanahnya, termasuk mengatur peruntukan, pemanfaatan, pelestarian dan hubungan hukum masyarakat dengan tanahnya.
Berkaitan dengan pemanfaatan tanah untuk kemakmuran rakyat, Pri Pambudi menegaskan bahwa hal tersebut harus diselaraskan dengan kearifan lokal. Dikarenakan, pemanfaatan tanah untuk investasi selalu berpotensi memunculkan konflik pertanahan. Sementara itu, pengakuan hak adat atas tanah sepenuhnya diakui sepanjang kenyataannya masih ada, dimanfaatkan dan dipertahankan oleh masyarakatnya.
Berhubungan dengan hal itu, maka Pri Pambudi menilai bahwa kebijakan pertanahan yang mengutamakan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, bisa berdampak pada terdesaknya lahan pertanian dan kehidupan petani. Untuk itu, kebijakan landreform merupakan alternatif yang dipilih untuk redistribusi lahan, termasuk tanah-tanah yang melibihi batas kepemilikan, tanah absentee, tanah negara, tanh partikelir dan lainya.
Selanjutnya dalam hal menghadapi kasus-kasus mafia tanah, Pri Pambudi mengingat kepada para hakim di seluruh Indonesia, untuk mengambil sikap alternatif dan member peluang seluas-luasnya mencapai keadilan.
“Terutama, terkait kasus pertanahan yang benar-benar menjadi sengketa di peradilan. Dalam hal kasus tanah adat, umumnya masyarakat termasuk dipihak yang lemah,” tegasnya.
Ditegaskan Pri Pambudi, seorang hakim memerlukan kreasi dalam mengambil suatu keputusan. “Majelis itu dinamis menerima pendapat hakim lain atau menolak pendapat hakim lain. Dan Saya berharap hakim yang mengambil keputusan alternatif, dapat menghasilkan keadilan bagi pihak yang benar-benar berhak. Walaupun secara hukum para pemilik tanah adat tidak memiliki sertifikat tanah dan ada pemilik lain yang punya sertifikat, maka saran Saya hakim perlu jeli untuk mengkaji lebih jauh adanya kejanggalan-kejanggalan yang dimungkinkan bisa dijadikan pertimbangan hukum,” terang Pri Pambudi.
Lebih jauh Hakim Agung ini mengingatkan kepada masyarakat adat untuk melakukan penguatan hak-hak atas tanah adanya agar dikemdian hari tidak mengalamai sengketa pertanahan. Dan kepada pemerintah daerah Pri Pambudi juga berharap agar redistribusi tanah bisa terwujud melalui komitmen bersama dengan para pemangku kepentingan.
Untuk itu, kebijakan landreform merupakan alternatif yang dipilih untuk redistribusi lahan, termasuk tanah-tanah adat. (PM)