(Bandung – Notarynews) Program Magister Kenotariatan Universitas Padjadjaran (Unpad) bersama Ikatan Alumni Notaris (IKANO) Unpad, Ikatan Mahasiswa Notariat (IMNO) Unpad, dan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Jawa Barat menggelar Studium Generale bertema “Akselerasi Ekonomi Kreatif: Peran Notaris dalam Skema Pembiayaan dan Komersialisasi Kekayaan Intelektual”, Senin (6/10), di Auditorium Mochtar Kusumaatmadja, Fakultas Hukum Unpad, Bandung.
Acara yang dihadiri ratusan peserta dari kalangan akademisi, Notaris, dan praktisi hukum serta kalangan perbankan ini menghadirkan Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, Ir. Razilu, M.Si., CGCAE, sebagai pembicara utama.

Dalam paparannya, Razilu menegaskan bahwa dasar hukum mengenai Kekayaan Intelektual (KI) sebagai objek jaminan fidusia sebenarnya telah lama diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta. Namun implementasinya tersendat karena tidak adanya aturan pelaksana yang bersifat teknis.
“Norma mengenai hak cipta sebagai objek jaminan fidusia sesungguhnya telah tercantum dalam undang-undang. Kendalanya adalah kekosongan peraturan yang bersifat implementatif,” ujar Razilu.
Menurutnya, kekosongan hukum tersebut kini terjawab dengan diterbitkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 19 Tahun 2025, yang menjadi payung hukum definitif bagi pengakuan kekayaan intelektual sebagai agunan oleh lembaga keuangan. Bank-bank milik negara yang tergabung dalam Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) bahkan tengah menyiapkan pedoman teknis operasional untuk merealisasikan skema pembiayaan inovatif ini.
Lembaga Valuasi di Bawah Kemenparekraf
Menariknya, dalam perkembangan terkini, bahwa salah satu aspek krusial dalam mekanisme ini adalah proses valuasi atau penentuan nilai ekonomis dari aset tak berwujud. Razilu menjelaskan bahwa kewenangan untuk melakukan penilaian terhadap kekayaan intelektual kini berada di bawah Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).
“Lembaga penilai yang akan melakukan valuasi berada di bawah kewenangan Kemenparekraf. Ini diperkuat dengan terbitnya Peraturan Menteri Ekonomi Kreatif Nomor 6 Tahun 2025 yang secara spesifik mengatur tentang penilaian kekayaan intelektual,” jelasnya
Ia menambahkan, Kemenparekraf dalam waktu dekat akan melantik para profesional penilai yang telah tersertifikasi melalui pelatihan khusus yang didukung oleh World Intellectual Property Organization (WIPO). Kehadiran para penilai ini diharapkan menjamin standar valuasi yang kredibel dan selaras dengan praktik internasional.

Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Unpad, Dr. Anita Afriana, S.H., M.H., dalam wawancaranya dengan Notarynews turut menegaskan akan pentingnya keberadaan lembaga penilai profesional dalam mewujudkan sistem pembiayaan yang sehat.
“Kunci utama dari optimalisasi skema ini terletak pada lembaga valuator yang profesional dan kompeten. Kendala utama selama ini adalah bagaimana menentukan nilai ekonomis HAKI yang dapat diterima oleh bank. Kehadiran lembaga valuator yang diisi oleh para ahli sesuai bidang KI yang dinilai menjadi jawaban untuk memberikan keyakinan kepada sektor perbankan,” pungkas Anita.
Peran Sentral Notaris
Pada kesempatan pemaparan materi stadium generale Dirjen KI mengatakan bahwa dalam ekosistem pembiayaan berbasis KI, peran Notaris menjadi krusial. Sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta autentik, notaris hadir di setiap tahapan, mulai dari persiapan, realisasi, hingga pasca-realisasi pembiayaan.
Pada tahap persiapan, lanjut Dirjen KI, Notaris bertindak sebagai verifikator awal untuk memastikan keabsahan objek jaminan. Ia melakukan penelusuran terhadap sertifikat KI-baik merek, paten, maupun desain—dan memastikan bahwa KI yang akan dijaminkan benar-benar dimiliki oleh debitur serta tidak sedang terikat hak pihak lain.

Selanjutnya, Notaris menyusun Akta Perjanjian Kredit atau Perjanjian Pembiayaan antara pelaku ekonomi kreatif dengan lembaga keuangan. Akta ini mencakup klausul yang tegas mengenai pengikatan KI sebagai jaminan.
Pada tahap realisasi, pengikatan dilakukan melalui jaminan fidusia, karena KI termasuk aset tak berwujud. Notaris menyusun Akta Jaminan Fidusia dengan uraian yang jelas mengenai KI yang dijaminkan, sesuai dengan Pasal 6 Undang-Undang Jaminan Fidusia. Dalam hal ini, notaris memastikan seluruh unsur sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata terpenuhi, mulai dari kecakapan para pihak hingga kejelasan objek yang diperjanjikan.
Tahap selanjutnya adalah pasca-realisasi. Setelah akta ditandatangani, notaris wajib mendaftarkan jaminan fidusia tersebut ke Kementerian Hukum dan HAM melalui Kantor Pendaftaran Fidusia. “Langkah ini penting karena memberikan hak preferen bagi kreditur dan menjadikan jaminan tersebut mengikat pihak ketiga, sekaligus memberikan kepastian hukum dan kekuatan eksekutorial,” terang Razilu.
Dari Pembiayaan ke Komersialisasi
Selain menjadi garda terdepan dalam pembiayaan, ditegaskan Razilu bahwa notaris juga berperan penting dalam komersialisasi kekayaan intelektual, yang merupakan motor utama ekonomi kreatif. Berbagai bentuk perjanjian hukum lahir dari tangan notaris, mulai dari perjanjian lisensi, pengalihan hak, hingga waralaba.
Dalam praktiknya, akta lisensi yang dibuat notaris mengatur penyerahan hak ekonomi untuk memanfaatkan KI—seperti merek, teknologi, atau karya digital—dari pemilik kepada pihak lain dengan imbalan royalti. Sedangkan akta waralaba merumuskan hubungan hukum antara pemberi dan penerima waralaba yang mencakup penggunaan merek serta sistem bisnis yang juga merupakan bagian dari KI.
Tak kalah penting, lanjut Razilu, Notaris juga memfasilitasi transaksi pengalihan hak atau jual beli KI melalui akta autentik, yang memberikan kepastian hukum dan bukti kuat atas perpindahan kepemilikan.
Diungkap Dirjen KI, berdasarkan data Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual mencatat, dalam sepuluh tahun terakhir terdapat 1.738.573 permohonan KI, dengan pertumbuhan rata-rata mencapai 18,5 persen per tahun. Angka ini menjadi indikasi betapa besar potensi aset tak berwujud di Indonesia untuk dimanfaatkan dalam skema pembiayaan produktif.
Tantangan dan Peluang
Meskipun prospeknya besar, Razilu mengingatkan masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Tidak semua Notaris memiliki pemahaman mendalam mengenai hukum kekayaan intelektual yang kompleks dan dinamis. Selain itu, penentuan nilai ekonomi KI masih menjadi hal baru dan memerlukan kolaborasi erat dengan lembaga penilai independen. Integrasi sistem antara pendaftaran KI, fidusia, dan perbankan juga perlu diperkuat agar proses menjadi lebih efisien.
Namun di balik tantangan tersebut, terdapat peluang besar bagi profesi notaris. Dengan memperdalam kompetensi di bidang hukum kekayaan intelektual dan memahami skema pembiayaan berbasis aset tidak berwujud, notaris dapat memperluas perannya dari sekadar pembuat akta menjadi fasilitator strategis dalam ekosistem ekonomi kreatif.
Kolaborasi Lintas Sektor
Dalam kesempatan lain usai acara stadium generale, Ketua Umum IKANO Unpad, Dr. Ranti Fauza Mayana, S.H. kepada Notarynews menegaskan bahwa kegiatan ini sebagai langkah penting untuk mempersiapkan profesi Notaris menghadapi transformasi hukum ekonomi kreatif. Menurutnya, pemerintah telah membuka jalan bagi para kreator untuk menggunakan KI sebagai objek jaminan sebuah terobosan penting, khususnya bagi pelaku usaha kecil dan menengah.

“Tanpa keterlibatan Notaris yang kompeten dalam bidang HKI, lembaga keuangan akan ragu menyalurkan kredit karena tidak ada kepastian hukum yang mengikat jaminan tersebut. Kepercayaan lembaga keuangan lahir dari kekuatan akta yang dibuat oleh notaris,” ujar Ranti kepada Notarynews.

Sementara itu, Regional CEO Bank Mandiri Kanwil VI Jawa Barat, Nila Mayta Dwi Rihandjani, menegaskan memberikan dukungan penuh terhadap langkah pemerintah dalam mengimplementasikan pembiayaan berbasis KI. Ia menegaskan pentingnya peran OJK sebagai regulator dalam menentukan standar valuasi nasional yang seragam.
“Kami mendorong adanya pembekalan pengetahuan yang seragam bagi para penilai di KJPP mengenai valuasi HAKI. Nilai sebuah merek atau hak cipta harus memiliki dasar penilaian yang konsisten di seluruh Indonesia,” tegas Nila.
Revitalisasi Profesi Kenotariatan
Studium generale ini sepertinya menjadi momentum penting untuk merevitalisasi peran kenotariatan agar dapat tampil sebagai kekuatan hukum baru dalam mendukung sektor ekonomi kreatif. Ranti menegaskan, profesi Notaris kini tidak lagi hanya berurusan dengan akta konvensional, tetapi juga menjadi jembatan antara ide, hukum, dan modal.
Dengan memastikan keabsahan, kepastian hukum, dan kekuatan pembuktian terhadap akta jaminan fidusia serta perjanjian komersial KI lainnya, notaris berperan strategis dalam membuka akses pembiayaan bagi pelaku ekonomi kreatif. “Melalui kompetensi notaris, aset tak berwujud memperoleh bentuk, nilai, dan legitimasi hukum,” ujarnya.
Acara ini menandai kolaborasi erat antara pemerintah, akademisi, notaris, dan pelaku ekonomi kreatif. Semua sepakat: percepatan ekonomi kreatif nasional hanya akan terwujud jika ide-ide brilian para kreator mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum dan di titik itu, Notaris berdiri di garda depan. (Pramono)