Optimalisasi Perindungan Profesi Notaris – PPAT dan Penerapan Restorative Justice

(Notarynews – Karawang) Perlindungan Hukum akan menjadi hak bagi warga negara, namun di sisi lain perlindungan hukum menjadi kewajiban bagi negara. Dan negara wajib memberikan perlindungan hukum bagi warga negaranya, sebagaimana di Indonesia yang mengukuhkan dirinya sebagai negara hukum yang tercantum diamantkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Indonesia adalah negara hukum”.

Perlindungan hukum merupakan suatu perlindungan yang diberikan terhadap subjek hukum (dari tindakan sewenang-wenang seseorang) dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Perlindungan hukum merupakan suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu bahwa hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.

Lantas, mengapa Notaris perlu di lindungi dan mendapatkan perlindungan hukum? Satu pertanyaan yang mengelitik,”Sudah berjalankah perlindungan Notaris di Negeri ini? Pertanyaan senada lainnya laik untuk mendapatkan Jawaban,” sudahkah regulasi yang ada sepenuhnya  benar-benar telah ditaati oleh para aparat penegak hukum dengan baik?”.

Juniety Dame Purba, SH. MH bakal calon Ketua Pengwil IPPAT Jawa Barat menutup rangkaian kegiatannya mengadakan acara “Bincang Santai” dengan menyapa kembali “Sahabat Etty” di Resinda Hotel Karawang (22/12) dengan menghadirkan Dr. Widhi Handoko, SH, SpN sebagai pembicara yang mengangkat tema besar “Perlindungan Tugas Jabatan Notaris – PPAT dan Penerapan Restorative Justice Perkappolri No 6 Tahun 2019”. Hadir pada kesempatan kali ini para ‘Sahabat Etty’ dari Kabupaten dan Kota Bekasi, Purwakarta, Bandung, Garut dan juga Tasikmalaya.

Dr. Widhi Handoko. SH. SpN

Dr. Widhi Handoko. SH. SpN

Mengawali paparannya, Widhi Handoko mengatakan bahwa perlindungan Notaris adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, baik dari sisi hukum perdata, hukum adminitrasi dan hukum pidana.

Dan menurut Dosen Notariat Fakultas Hukum Unissula ini, para pihak adalah setiap orang (subyek hukum) yang berkedudukan sebagai pihak dalam akta Partij atau akta pihak, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun badan (badan usaha atau badan hukum), yang menentukan isi dan bentuk dari perjanjian yang hendak mereka buat (kehendak yang diterangkan kepada Notaris).

Selanjutnya, ditegaskan Ketua pengwil INI –IPPAT Jawa Tengah ini pada akta Notariil posisi Notaris bukanlah merupakan pihak dalam akta, melainkan posisi Notaris dalam hal ini sebagai pejabat yang menjalankan perintah  Undang-undang, untuk membuat akta otentik dari kehendak para pihak dalam akta. Artinya posisi Notaris dalam akta otentik memiliki kedudukan paling atas (sebagai pejabat yang memiliki kedudukan untuk mengesahkan kehendak para pihak dalam akta otentik).

“Dan sesuai Pasal 51 KUHP terlindungi jabatannya secara hukum dan dilarang untuk dijadikan sebagai tersangka. Nataris PPAT merupakan ambtelijk bevel (penguasa atau pejabat). Pasal 51 ayat (1) KUHP, yang memberikan penjelasan bahwa, “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana,” ujar Widhi.

Selebihnya yang menjadi pokok permasalahan sejauh ini Organisasi dan para anggotanya memahami peraturan perundang undangan terkait perlindungan hukum Notaris khususnya irisan hukum perdata, pidana dan administrasi tidak?

Dr. Widhi Handoko. SH. SpN

Bicara perlindungan tentunya, lanjut Dosen Notariat Undip ini, perlu kita lihat seperti apa dasar  Hukum Perlindungan Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, yang pada hakekatnya, terdapat tiga instrumen hukum penting yang menjadi landasan kebijakan perlindungan  tersebut, yakni: Pertama, Undang-Undang Dasar 1945. Indonesia merupakan negara berdasarkan hukum (rechstaat).  Kedua, Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 perubahan dari UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) dan ketiga, Peraturan Undang-Undang lainnya yang terkait (KUHP & KUHAP, PERKAP, KUH Perdata dan UU Administrasi Negara atau Pemerintahan, dan Surat Edaran Mahkamah Agung/SEMA atau Peraturan Mahkamah Agung/PERMA).

Menurut Widhi, ketentuan Undang-undang sangat jelas dan tegas memberikan perlindungan  bagi jabatan Notaris sekaligus memberi perlindungan bagi para pihak dalam akta atau masyarakat Indonesia secara umum.  UU menjamin adanya kepastian hukum bagi tugas jabatan Notaris sekaligus perlindungan bagi para pihak atau masyarakat umum.

Dan salah satu contoh yang sering terjadi dalam pelaksanaan tugas jabatan Notaris yaitu tuduhan Pasal-pasal Pidana (KUHP) khususnya pasal 263 dan 264, (memasukan keterangan palsu) dan Pasal 266 ayat (1) yaitu menyuruh memasukkan keterangan palsu dan Pasal 55 ayat (1) yaitu turut serta atau penyertaan dalam kejahatan (persekongkolan), serta 372, 374 dan 378, yang terkait dengan penipuan penggelapan. Adapun penerapan Pasal 1872 KUHPerdata mengacu pada Pasal 138 HIR, khususnya angka 7 dan 8 yang memungkinkan adanya proses pidana terhadap alat bukti yang diduga palsu serta penangguhan proses pemeriksaan perkara perdatanya hingga adanya putusan pidana terhadap pemalsuan tersebut. Yang demikian itu awalnya dari permasalahan perdata atau admininistrasi bergeser ke permasalahan pidana.

Ketua pengwil INI – IPPAT Jawa Tengah ini mengingatkan agar organisasi dan juga anggotanya  untuk memamahi letak irisan dan pergeseran tindakan yang dituduhkan pidana dalam perbuatan hukum perdata. Secara hukum acara perdata bahwa kekuatan pembuktian akta Notaris absolud (tidak terbantahkan), artinya tidak dapat terbantahkan dan bersifat mutlak dan memiliki kekuatan memaksa (hakim harus tunduk dan mengikuti bukti tersebut alias tidak boleh mengabaikannya).

“Namun dalam hukum acara pidana bukti akta otentik disebut dengan istilah vridje bewijs, artinya merupakan alat bukti bebas, akta notaris tidak bersifat menentukan (beslissende bewijs kracht), untuk itu tidak memiliki kekuatan bukti yang bersifat memaksa (dwingende bewijs kracht), disinilah letak masalahnya, sehingga akta otentik dalam hukum acara pidana masih dapat disangkal dengan alat-alat bukti lawan (tegenbewijs) seperti bukti surat atau bukti otentisitas lain, keterangan saksi (saksi fakta atau saksi ahli/keterangan ahli), namun beban pembuktian tersebut sesungguhnya ada pada korban dan bukan pada Notaris,” terangnya.

Selanjutnya, korban kemudian untuk membuktikannya, dapat melaporkan melalui penyidik laporan hukum (penyidik polri) karena adanya pengaduan masyarakat (dumas). Sebagai contoh pengaduan tentang tindak pidana pemalsuan. Maka jika hal tersebut terdapat tuduhan tidak pernah menandatangani minuta akta di hadapan Notaris. Sesuai Peraturan Hukum maka kewajiban tersebut dibebankan dan/atau ditugaskan kepada penyidik, untuk membuktikan kehadiran atau ketidakhadirannya para pihak dihadapan Notaris.

Lantas mengapa penyidik memiliki beban membuktikannya? Sebab dengan menggunakan alat-alat bukti dokumen seperti surat dan keterangan saksi, hal yang demikian itu, belum tentu meyakinkan hakim. Hal inilah, mengapa kemudian penyidik polri memanggil Notaris untuk dimintai keterangan sebagai saksi kejadian perkara. Tugas tersebut sesungguhnya dalam rangka melengkapi dua alat bukti.

Menurut Widhi, masalah muncul ketika pemanggilan terhadap Notaris sering mendapat hambatan, karena prosedur yang harus ditempuh tidak mudah jika dalam penyidikan melibatkan pejabat publik atau pejabat negara. Pada akhirnya penyidik merasa kesulitan dalam penyelidikan karena si penyidik tidak memiliki upaya paksa.

Widhi menilai sesungguhnya menemukan dua alat bukti sah tersebut merupakan kewajiban dari penyidik Polri yang kita kenal dengan istilah penyelidikan. Hal mana bukan tugas Notaris. Oleh karena itu penyidik tidak memiliki upaya paksa dalam menjalankan tugas penyelidikan

Akan halnya, adanya laporan atau dumas (pengaduan masyarakat) memunculkan adanya beban tugas kewajiban kepada penyidik Polri. Di mana penyidik Polri dengan dumas tersebut sesungguhnya hanya menjalankan tugas penyidikan yang diperintah peraturan perundang undangan.  Didahului dengan melalui pelaporan (korban).

Disinilah yang menurut Pria Kelahiran Wonogiri ini sebagai pintu masuk laporan permasalahan hukum pidana mengalir seakan tak terbendung dan mengabaikan prinsip hukum “ultimum remidium” upaya pidana sebagai upaya terakhir. Sebenarnya Polri dalam persoalan tersebut cukup tanggap dengan menerbitkan Perkap No 14 th 2012 yang dicabut berdasarkan Perkap No. 6 Tahun 2019. Pada Perkap tersebut tidak dikenal lagi model penyidikan A, B dan C (terlapor, pelapor dan saksi) sebagaimana diatur dalam Perkap No.2 Tahun 1984.

“Yang semestinya dipahami penyidik saat ini semua dumas (pengaduan masyarakat), dibatasi dengan dua model A dan B yaitu (1) pelapor dan (2) terlapor. Tidak diperbolehkan saksi kemudian dikembangkan menjadi tersangka. Jika saksi ternyata terlibat pada tuduhan Pasal 266 dan Pasal 55 ayat (1) maka harus dilaporkan tersendiri. Supaya dapat ditetapkan menjadi tersangka maka harus dibuktikan terlebih dahulu dua (2) alat bukti sah sesuai petunjuk jaksa (P19 lengkap dan dinaikan pada P21). Baca UU No. 16 Tahun 2004, tentang Penuntutan Umum,” ujar Widhi.

Selebihnya, lanjut Widhi, pada Perkap No. 6 Tahun 2019, Pasal 1 ketentuan Umum tugas penyidik lebih terbatas dan lebih efektif efisien (lebih sederhana). Bahkan Kapolri memberi dan mengembalikan semangat ultimum remidium dengan model restorative justicie (mengedepankan penyelesaian masalah lebih diutamakan dengan musyawarah atau lebih mengedepankan upaya penyelesaian secara perdata).

“Keadilan restoratif adalah sebuah pendekatan yang ingin mengurangi kejahatan dengan menggelar pertemuan antara korban dan terdakwa, dan kadang-kadang juga melibatkan para perwakilan masyarakat secara umum. Dahulu kita mengenal sebagai Alternatif Dispute Resolutions atau ADR (penyelesaian masalah secara musyawarah), yang dalam ranah birokrasi kita mengenal dengan istilah Mediasi Penal (penyelesaian masalah di luar pengadilan),” terang  Widhi.

Widhi menilai, hal demikian ditugaskan panyidik dengan tujuan untuk mengambil keputusan diskresi (mengabaikan porsedur formail penyidikan), dengan menempuh the non enforcement of law artinya menyelesaikan masalah dengan mengabaikan unsur formal hukum (hal mana dapat kita tempuh manakala terjadi kebuntuan formal atau kebuntuan Per uu an). Pada persoalan inilah pemahaman tersebut diadopsi ke dalam Perkap 14 th 2012 dan Perkap 6 th 2019, dengan semangat penerapan “ultimum remidium”. Namun persoalan justru muncul secara internal petugas penegak hukum dalam penyidikan (penyidik) belum dapat memehami filosofi ultimum remidium yang diterjemahkan dalam restoratif justice sesuai Pasal 1 butir 27 Ketentuan Umum Perkap tsb. Penyidik belum memahami secara utuh tugas restotarif justice.

Diakhir paparanya, Widhi menyimpulkan bahwa secara umum tujuan dari Perlindungan  tidak sekedar bagi Notaris sebagai pejabatnya akan tetapi perlindungan hukum dalam pembuatan “akta otentik” juga tertuju pada para pihak dan masyarakat, dengan harapan pertama meningkatkan kesadaran, para pihak dan kemandirian masyarakat secara hukum untuk melindungi diri dari permasalahan hukum dikemudian hari.

Kedua, mengangkat harkat dan martabat para pihak dan masyarkaat akan kebutuhan hukum dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif  penyimpangan hukum dalam perjanjian (misal kejahatan mafia tanah, penipuan, penggelapan dll). Ketiga, meningkatkan  kesadaran para pihak dan masyarakat dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai warga negara yang membutuhkan perlindungan dan kepastian hukum dalam konstalasi publik terhadap penggunaan alat bukti akta otentik. Keempat, menciptakan sistem perlindungan bagi para pihak dan masyarakat yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi dalam bidang hukum (misal informasi perijinan dan informasi pertanahan dll)

Kelima, menumbuhkan kesadaran pelaku usaha (para pihak dan masyarakat) mengenai pentingnya perlindungan akta otentik sebagai alat butki sempurna (absolud) sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha. Dan keenam, bagi Notaris jaminan perlindungan jabatan akan meningkatkan kualitas akta otentik, yang pad akhirnya akta otentik tsb, mampu menjamin nilai-nilai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, khususnya dalam membantu bidang usaha atau perdagangan, jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan yang dibutuhkan oleh para pihak dan atau masyarakat

Widhi menambahkan perlindungan hukum yang bersifat preventif dibutuhkan bagi Notaris dengan tujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah untuk bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan kewenangan. Intinya lanjut Widhi Handoko, penegakan hukum yang semata-mata menegakkan aturan formal tanpa mengaitkannya secara langsung dengan semangat yang terkandung dalam aturan akan berlangsung dengan cara yang sangat mekanistik. Dan secara khusus lanjut Ketua Pengwil Jateng INI – IPPAT INI, bahwa penegakan hukum dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan di dalam sistem peradilan (pidana) yang bersifat preventif, represif, dan edukatif.

Widhi mengharapkan “Ultimum Remedium” Hukum Pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam penegakan hukum, karena pada faktanya justru pengaduan pidana digunakan untuk manekan dan  selalu dikedepankan.

Releated Posts

Follow Us Social Media

ADVERTISMENT

Are You Ready to Explore the Renewed JupiterX with Advanced User Experience?

Trending Posts

Recent Posts

ADVERTISMENT