(Bali – Notarynews) Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya sebagai pejabat umum sangat penting untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam proses pembuatan akta autentik. Selain itu, Notaris juga harus memahami akibat hukum terhadap akta Notaris yang dibuat berdasarkan surat palsu dan keterangan palsu. mengingat seringnya terjadi permasalahan hukum terhadap akta autentik yang dibuat Notaris karena terdapat pihak-pihak yang beretikad tidak baik untuk melakukan kejahatan seperti memberikan surat palsu dan keterangan palsu kedalam akta yang dibuat Notaris.
Bagi seorang Notaris dalam menjalankan jabatannya ia harus Amanah, Jujur, Saksama, Mandiri dan tidak berpihak, serta menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum, hal ini dipertegas dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a Undang Undang Jabatan Notaris (UUJN). Hal ini menandakan begitu pentingnya hal tersebut bagi Notaris. Sebagai seorang Notaris, merupakan jabatan yang luhur dan bermartabat, maka seorang Notaris dalam menjalankan jabatannya berkewajiban untuk selalu menjaga sikap, tingkah laku serta dalam menjalankan jabatan sesuai Kode Etik profesi, kehormatan, martabat dan tanggung jawabnya sebagai Notaris. Berbagai masalah yang terjadi di masyarakat yang berkaitan atau berkenaan dengan pelanggaran jabatan Notaris sesungguhnya terjadi karena Notaris dalam menjalankan jabatan dan berperilaku tidak memperhatikan ketentuan peraturan dan perundang-undangan dan Kode Etik Jabatan Notaris atau kurang kehati-hatian serta keharusan-keharusan jabatan antara lain tindakan penghadapan yang dilakukan oleh Notaris tidak sesuai dan atau menyimpang dari ketentuan yang ada.
Untuk itu kita perlu mengingat dan kembali pada pemahaman siapa itu Notaris dan mengenali jati diri Notaris. Penulis yang juga praktisi Notaris PPAT di Kabupaten Badung, Bali, berharap dengan mengenali Notaris dan jati diri Notaris permasalahan-permasalahan yang terjadi di masyarakat dapat hilang atau berkurang. Notaris mempunyai kewenangan untuk membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan Perundang-Undangan dan atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik, menjamin tanggal kepastian pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. (Pasal 15 ayat 1).
Dari pengertian pasal 1 ayat 1 dan pasal 15 ayat 1 tersebut dapat kita fahami bahwa Notaris sebagai Pejabat Umum merupakan pejabat yang dipercaya oleh Negara dan masyarakat untuk membuat alat bukti yang dapat memberikan kepastian hukum melalui akta yang dibuatnya.
Berbicara tentang akta Notaris sebagai alat bukti otentik, sebelumnya marilah kita lihat pada Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) : “Suatu akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.” Akta otentik harus memenuhi apa yang dipersyaratkan dalam Pasal 1868 KUHPerdata, sifatnya kumulatif atau harus meliputi semuanya. Akta-akta yang dibuat, walaupun ditandatangani oleh para pihak, namun tidak memenuhi persyaratan Pasal 1868 KUHPerdata, tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, hanya mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan (Pasal 1869 KUHPerdata).
Ketentuan mengenai kewenangan Notaris untuk membuat akta otentik diatur dalam Undang-Undang No 30 Tahun 2004 tentang jabatan Notaris sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 2 Tahun 2014 (“UUJN”). Dalam Pasal 1 angka 1 UUJN, disebutkan bahwa Notaris merupakan pejabat umum, yang berwenang untuk membuat akta otentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UU ini atau berdasarkan UU lainnya. Frasa “di tempat dimana akta dibuat” dalam Pasal 1868 KUHPerdata, berhubungan dengan tempat kedudukan Notaris, bahwa Notaris mempunyai tempat kedudukan di wilayah kabupaten atau kota (Pasal 18 ayat (1) UUJN). Wilayah jabatan Notaris meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat kedudukannya (Pasal 18 ayat (2) UUJN).
Mengenai kewenangan Notaris, Pasal 15 ayat (1) UUJN memberikan jabarannya, bahwa Notaris, dalam jabatannya, berwenang membuat Akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta Otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
Adapun akta Notaris atau Notariil Akta, dalam Pasal 1 angka 7 UUJN, dimaknai sebagai akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris, menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UU ini. Secara gramatikal, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, akta dimaknai sebagai surat tanda bukti berisi pernyataan (keterangan, pengakuan, keputusan, dsb) tentang peristiwa hukum yang dibuat menurut peraturan yang berlaku, disaksikan dan disahkan oleh pejabat resmi.
Sampai pada titik ini, sudah jelas kiranya mengenai posisi, fungsi, tugas dan wewenang Notaris. Bahwa dalam jabatannya, Notaris berwenang membuat akta otentik.
Dari kewenangan dan kewajiban-kewajibannya seharusnya kepada Notaris diberikan perlindungan sekurang-kurangnya : Pertama, tetap menjaga keluhuran harkat dan martabat jabatannya, termasuk ketika memberikan kesaksian dan berproses dalam pemeriksaan maupun dalam proses pemeriksaan. Kedua, selalu menjaga kerahasiaan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuata akta sesuai dengan kewajiban Notaris baik sesuai dengan Undang Undang maupun sumpah jabatannya, kecuali Undang Undang menentukan lain. Ketiga, menjaga minuta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris. Keempat, bekerja dengan tenang, tanpa takut atas tekanan atau kekhawatiran lain agar Notaris dapat membuat akta demi tercapainya kepastian hukum. Dan kelima, Notaris bukan pihak dalam akta otentik, akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris.
Kelima hal inilah sekurang-kurangnya dikehendaki ataupun dimaksudkan sebagai perlindungan oleh UUJN kepada Notaris dan sudah sepatutnya atau seharusnya hal ini ditaati atau dipatuhi oleh siapapun baik Penyidik atau Penuntut Umum. Menyadari tentang pentingnya Notaris merasa aman dan nyaman dalam menjalankan jabatannya tersebut, Negara memberikan perlindungan dan jaminan kepada Notaris, mengapa ini dilakukan agar Notaris dapat menjalankan fungsinya memberikan kepastian hukum.
Kesimpulan:
Dari uraian diatas dapat kita pahami bahwa Notaris sesuai ketentuan pasal 1 ayat 1 Undang Undang Jabatan Notaris (UUJN) adalah Pejabat Umum, yang menjalankan sebagian kekuasaan negara dibidang Hukum Privat untuk membuat akta Otentik (alat bukti) yang mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat dan sempurna. Sebagai Pejabat Umum, maka seharusnya semua pihak mendudukkannya tidak sebagai Profesi apalagi Pengusaha. Notaris adalah Pejabat Umum, Pembuat Akta Otentik yang hanya mengkonstatir pernyataan atau kehendak dari penghadap dan atau membuat pernyataan kesaksian atas permintaan para penghadap. Dan Akta Notaris adalah alat bukti otentik yang tidak memerlukan tambahan bukti, termasuk dari Notaris pembuat alat bukti. Akta otentik dapat membuktikan sendiri tentang kebenaran keterangan dan kebenaran penghadapan dari para penghadap.
Jadi kepada rekan-rekan Notaris tidak perlu ada yang ditakutkan atau dikhawatirkan apabila kita bekerja dengan berhati – hati dan teliti (saksama) dan memenuhi mekanisme dan prosedur pembuatan akta yang ditentukan dalan Undang Undang Jabatan Notaris (UUJN) dan mematuhi perundan-undangan (Hukum Positif). Semoga semua pihak memahami dan mendudukkan Notaris pada kedudukan sebagai Pejabat Umum, agar masyarakat dapat memperoleh kepastian hukum lewat Akta Otentik yang dibuat oleh Notaris. Namun begtiu prinsip kehati-hatian (prudential principle) seharusnya dilakukan Notaris dalam proses pembuatan akta yaitu, melakukan pengenalan terhadap identitas penghadap, memverifikasi secara cermat data subyek dan obyek penghadap, memberi tenggang waktu dalam pengerjaan akta, bertindak hati-hati, cermat dan teliti dalam proses pengerjaan akta, memenuhi segala teknik syarat pembuatan akta. Prinsip kehati-hatian seperti ini wajib dilaksanakan Notaris agar nantinya Notaris dapat mencegah timbulnya permasalahan hukum terhadap akta autentik yang dibuatnya dikemudian hari.
Dr. I Made Pria Dharsana, SH, M. Hum, penulis adalah Praktisi dan Dosen Prodi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat dan Universitas Warmadewa, Denpasar, Bali