(Surakarta – Notarynews) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU -XIII/2015 memberikan politik hukum baru, di mana perjanjian perkawinan yang semula hanya dapat dibuat oleh calon suami dan calon istri sebelum perkawinan (prenuptial agreement), sekarang dapat dibuat oleh suami istri sebelum atau pada saat dan selama perkawinan berlangsung, dan terdapat beberapa format dari model perjanjian kawin yang dapat menjadi panduan bagi para Notaris yang akan membuat akta perjanjian kawin.
Demikian disampaikan oleh Dr. MJ. Widijatmoko, SH, SpN pada seminar nasional yang diselengarakan oleh Pengurus Daerah Surakarta Ikatan Notaris Indonesia (Pengda Surakarta INI) pada Rabu, (21/8) yang mengangkat tema besar “Memahami Perjanjian Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015”.
“Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 yang mengharuskan sebuah perjanjian perkawinan dibuat dihadapan Notaris menjadikan akta tersebut mempunyai kekuatan hukum dan mengikat pihak-pihak yang berkaitan,” ujar Widijatmoko dalam paparannya dihadapan 120 peserta semnas tersebut yang berlangsung di Sunan Hotel, Solo.
Perjanjian Kawin Tidak Harus Dengan Akta Notaris
Menurut Widijatmoko, perjanjian kawin bisa dibuat dalam bentuk tertulis dari perjanjian perkawinan dapat dikemukakan bahwa bisa dibuat dalam suatu akta dibawah tangan maupun akta otentik.
Diungkapkan Widijatmoko bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 menerangkan ketentuan: “Pada waktu sebelum dilangsung atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau Notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketika sepanjang pihak ketiga tersangkut.
Intinya, lanjut Pria yang akrab disapa Moko ini menegaskan bahwa Putusan MK 69/2015 tersebut telah memperluas makna perjanjian kawin sehingga perjanjian kawin tak lagi dimaknai hanya sebagai perjanjian yang dibuat sebelum perkawinan (prenupsial agreement), melainkan juga bisa dibuat selama ikatan perkawinan (posnuptial agreement).
Dengan putusan tersebut lanjut Moko bahwa dalam membuat suatu perjanjian tanggal mulainya perjanjian dapat dibuat backdate.
Berdasar Pasal 29 dan putusan mahkamah konstitusi pembuatan perjanjian kawin tidak harus dibuat dengan akta Notaris, seperti yang diatur dalam KUHPerdata. Akan tetapi dapat juga dibuat dengan akta dibawah ditangan.
Perjanjian Tidak Harus Di Catatkan Ke Catatan Sipil
Selanjutnya diungkapkan Moko, mengenai pencatatan perjanjian kawin dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan, dapat diketahui bahwa jika perjanjian kawin ingin mengikat atau berlaku juga bagi pihak ketiga, maka harus disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan (Kantor Catatan Sipil/KUA) atau Notaris. Sehingga apabila perjanjian kawin dibuat dengan akta Notaris maka berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tidak perlu didaftarkan ke catatan Sipil / KUA, karena dengan dibuat dalam akta Notaris berarti telah memenuhi ketentuan dalam tanda kutip disahkan Notaris.
Apabila perjanjian kawin dibuat dengan akta dibawah tangan menurut Widijatmoko maka pemenuhan ketentuan “disahkan” dalam putusan Mahkamah Konstitusi dapat dilakukan dengan cara pertama, didaftarkan kepada Catatan Sipil (KUA). Kedua, dibuatkan akta Notaris nya dalam bentuk akta depot (penyimpanan) atau dilegalisasi atau diwarmeking oleh Notaris.
Namun demikian lanjut Widijatmoko tidak perlu didaftarkan lagi kecatatan Sipil (KUA). Dengan demikian telah terjadi perubahan hukum yaitu, pengesahan oleh Notaris berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi sudahemenuhi asas publisitas, dan mengikat pihak ketiga.
Akad Nikah Merupakan Tanggal Dimulai nya Tanggal Kawin, Kecuali Ditentukan Lain Dalam Perjanjian Kawin.
Apabila dalam perjanjian kawin tidak menetapkan mulainya tanggal perjanjian putusan Mahkamah Konstitusi menetapkan tanggal akad nilai merupakan mulainya tanggal perjanjian kawin. Akan tetapi, dalam perjanjian kawin dapat ditetapkan tanggal lainnya, yaitu; pertama, tanggal yang berada diantara periode tanggal akad dan tanggal pembuatan akta.
Kedua, tanggal pembuatan akta. Ketiga, tanggal setelah tanggal pembuatan akta. Apabila demikian menurut Widijatmoko dalam perkawinan tersebut, mengenai harta akan ada dua periode yang berbeda, yaitu periode gono gini dan periode pisah harta (perjanjian kawin) yang berlaku bersama-sama.
Isi Perjanjian Kawin Menurut Putusan MK
Perjanjian kawin itu, dapat memuat dan memgatur tentang harta dalam perkawinan atau hal-hal lain yang bukan harta (non harta), dan perjanjian kawin itu dengan kesepakatan Suami istri dapat diubah sewaktu-waktu, bahkan dapat dicabut atau ditiadakan dengan syarat tidak merugikan pihak ketiga.
Menurut Widijatmoko, agar perjanjian kawin tidak merugikan pihak ketiga dalam hal-hal tertentu dalam pembuatannya harus memperhatikan SPT laporan pajak tahunan, bila diperlukan rencana pembuatan perjanjian kawin dan draf aktanya diumumkan dalam surat kabar (koran dan online), bahkan bila diperlukan dimohonkan penetapan pengadilan, baik pengadilan negeri maupun pengadilan agama.
Menurut Widijatmoko, putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menguatkan dan mempertegas kembali ketentuan yang sebenarnya dalam KUHPerdata tapi tidak diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. (Pramono)
No comment yet, add your voice below!