Merawat Etika  Dalam Negara Hukum Pancasila

(Yogyakarta – Notarynews) Pancasila sangat diperlukan sebagai sistem etika untuk memberikan pedoman dan arahan agar setiap tindakan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia berpedoman pada sikap moral yang berlandaskan Pancasila. Setiap tindakan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia sebagai cerminan dari pelaksanaan Pancasila.

Demikian pokok-pokok pikiran yang disampaikan oleh Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Prof Dr : Sudjito Atmoredjo,SH, MSi dalam sarasehan nasional dalam rangkaian acara “Satu Dasawarsa Kanogama pada Sabtu, (22/2) di Univercity Club Hotel and Convention UGM. Jalan Pancasila No.2, Sendowo, Sinduadi, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta

Peserta sarasehan nasional
Peserta sarasehan nasional

Kanogama merawat etika adalah acara yang diselenggarakan oleh alumni Magister Kenotariatan UGM yang membahas pentingnya etika dalam profesi dengan tujuan mempelajari dampak hukum dari pelanggaran etika.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Prof Dr : Sudjito Atmoredjo,SH, MSi
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Prof Dr Sudjito Atmoredjo,SH, MSi saat menyampaikan paparannya yang mengangkat tema “Merawat Etika  Dalam Negara Hukum Pancasila”

Menurut Prof Sudjito negara memiliki otoritas untuk menentukan sistem hukumnya, sesuai dengan keunikan kosmologi, struktur masyarakat, dan budayanya. Namun menurut Prof Sudjito

Ditegaskan Prof Sudjito, bahwa Indonesia bukan Rechtsstaat, Machtsstaat,  Nachtwakersstaat, dan bukan negara per-UU-an, melainkan Negara Hukum Pancasila. Dari segi aspek konstitusional, Pancasila merupakan rohjiwa Pembukaan UUD 1945.

“Sedang aspek legalnya adalah TAP MPRS No.XX/1966 hingga TAP MPR No.111/2000 UU No.12/2011 Jo. UU No.15 2019. Artinya apa, Pancasila itu merupakan sumber segala sumber hukum negara,” tegas Prof Sudjito.

Bicara soal etika dalam ranah ilmu dan profesi, lanjut Prof Sudjito berhubungan dengan eika (ethic)  moralitas, integritas, etiket, adab, sopan-santun, unggah-ungguh, dan meluas berkaitan dengan akhlak.

Etika sebagai bagian ilmu filafat ilmu mempelajari nilai, ukuran baik atau buruk, perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari, terhadap diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, negara, alam-lingkungan dan Tuhannya. Sedangkan, etika bersama logika dan estitika, difungsikan secara terpadu sebagai pedoman berperilaku. Etika sebagai Kode Etik, difungsikan sebagai pedoman bekerja profesional, dalam bingkai organisasi. Misalnya: Kode Etik Notaris, Kode Etik PPAT, Kode Etik Advokat, Kode Etik Hakim, dll.

Karananya, lanjut Prof Sudjito adalah kewajiban bagi setiap warga negara untuk saling mengingatkan akan kebenaran, jalan lurus, dan wawasan kebangsaan, dalam rangka menggapai kehidupan bernegara yang diridhai Allah Swt. Pemikiran, sikap, dan perilaku seluruh warga-negara dan penyelenggara-negara, wajib diselaraskan dengan Nilai-nilai Pancasila. “Tiadalah keadilan kecuali “Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tiadalah pengelolaan sumberdaya alam, kecuali “Untuk sebesar-besar kemakmuran seluruh rakyat Indonesia”. Tiadalah suatu permasalahan, kecuali diselesaikan dengan “musyawarah dan mufakat”, imbuh Guru Besar FH UGM ini.

Lebih jauh Guru Besar FH UGM ini menegaskan bahwa kode Etik adalah seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh perkumpulan berdasarkan keputusan Kongres dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh anggota perkumpulan IPPAT dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai PPAT, termasuk di dalamnya para PPAT Pengganti. Kode Etik Berlaku dalam  rangka melaksanakan tugas jabatan (khusus bagi yang melaksanakan tugas jabatan PPAT) ataupun dalam kehidupan sehari-hari.

Dr Zainal Arifin, SH, LLm saat menyampaikan materi paparannya
Dr Zainal Arifin Mochtar SH, LLm saat menyampaikan materi paparannya

Selanjutnya, Pakar Hukum Tata Negara Dr Zainal Arifin Mochtar, SH, LLm selaku Ketua Departemen HTN FH UGM Yogyakarta dalam paparannya yang mengangkat tema besar “Etika Dalam Hukum Pemerintahan” menegaskan bahwa perbincangan etika dan penegakan seharusnya diskursus yang tidak mati. Karena sebagai diskursus maka menurut Zainal Arifin ada ruang yang harus direbut dalam proses partisipasi dan aspirasi serta pada saat yang sama ada yang harus terus diperjuangkan sehingga kesepakatan bisa tercipta dan terbangun

Zainal Arifin menegaskan bahwa organisasi Notaris PPAT juga memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, diantaranya untuk mendorong perkembangan diskursus intelektual dan merespon berbagai perkembangan dan tantangan dalam pelaksanaan konstitusi dan demokrasi di Indonesia. Terlebih jika menilik iklim hukum yang belakangan terjadi di negara ini yang saat ini tengah mengalami kecenderungan dalam kemerosotan dalam hal pelaksanaan demokrasi, hukum, dan hak asasi manusia.

Oleh karena itu, lanjut Zainal Arifin Notaris PPAT juga merasa perlu untuk mengorganisir diri untuk memberikan pemikiran kritis berkontribusi untuk menjaga dan mempertahankan negara hukum dan demokrasi bisa berjalan lebih baik.

Etika dan penegakan belakangan semestinya lanjut Zainal Arifin sebagai konsepsi penguatan atas etika maka banyak upaya untuk menguatkannya menjadi pengadilan etika (court of ethics) bagi pejabat negara yang melakukan pelanggaran etika. Apakah ini akan menjawab persoalan?

Menurutnya, ilmuwan-ilmuwan harus tetap berpegang dan jangan sampai keluar dari pada nilai-nilai keilmuan, nilai-nilai kemanusiaan, dan nilai keluhuran serta martabat dan etika hukum.

Ditegaskan Zainal Arifin, soal bagaimana membangun kesepakatan kolektif mengenai sesuatu hal yang baik dan pas bagi pemerintahan ditengah-tengah kondisinya yang memang makin menunjukkan pentingnya penguatan etika.

Zainal Arifin menilai memang ada kemustahilan mencantumkan semua hal di dalam UU sebagai hal yang mendasari tindakan aparatur pemerintah. Namun demikian, memang bicara soal etika tentunya tidak sederhana. Ada beberapa hal yang kemudian menjadi faktor terjadinya penyebab korupsi antara lain; faktor individu,  faktor organisasi, faktor masyarakat dan juga aktor peraturan serta faktor internal diri. Karenanya, korupsi bisa terbagi menjadi corruption by needs and corruption by greeds. Atau korupsi karena kebutuhan dan keserakahan. – Faktor lainnya adalah gaya hidup maupun karena faktor ketidakpedulian. Faktor lainnya adalah cara pandang yang keliru, baik dari segi keagamaan maupun pandangan dunia lainnya.

Zainal menilai ketiadaan keteladanan atau malah kepemimpinan yang juga koruptif dimana sistem-sistem internal yang tidak memadai semisal akuntabilitas, kelemahan pengendalian manajerial, lingkungan masyarakat yang sangat permisif dan meminta lebih, kurangnya kesadaran dan kepedualian masyarakat tentang bahaya korupsi sebagai akar dari semua masalah.  Parahnya lagi lanjut Zainal Arifin, ada pandangan pragmatisme dan anggapan rame-rame sudah melakukan maka kami juga harus melakukan. “Permisif akibat anggapan bahwa itu sudah merupakan bagian dari budaya,” ujar Zainal Arifin mengakhiri paparannya. (Pramono)

 

Releated Posts

Follow Us Social Media

ADVERTISMENT

Are You Ready to Explore the Renewed JupiterX with Advanced User Experience?

Trending Posts

Recent Posts

ADVERTISMENT