Dewasa ini tanah telah dipandang sebagai komoditas strategis dalam upaya menarik modal asing. Dan mengingat akan pentingnya fungsi tanah, pembentuk Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) berharap dapat mewujudkan apa yang digariskan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yaitu kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan menggariskan pentingnya pengaturan pemilikan dan pemanfaatan tanah (Pasal 2 ayat (2) UUPA. (I Gusti Ngurah Tara Wiguna, Hak-Hak Atas Tanah Pada Masa Bali Kuna Abad X – XI Masehi, 2009). Bicara soal arti dan fungsi tanah adat dipandang dari perspektif social tidak jauh berbeda dengan bunyi pasal 6 UUPA. UUPA menegaskan bahwa semua hak atas tanah mempunyai funggsi social. Hal itu berarti hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang atau badan hukum tidaklah dibenarkan tanahnya itu dimanfaatkan (tidak dimanfaatkan) semata-mata untuk kepentingan pribadi (pribadi bagi hukum desa adat). Apalagi hal itu dapat menimbulkan kerugian bagi masyarkat luas.
Secara de facto fungsi social atas tanah adat di Bali, dan penyediaan tanah milik desa umumnya untuk kepentingan; Pura, Bale Banjar, Balai Desa, Sekolah, Lapangan, Kuburan, jalan-jalan desa, serta sarana dan prasarana umum lainnya. Berkaitan dengan hal itu, sudah sewajarnyalah tanah dipelihara dan dijaga sebaik-baiknya agar sesuai dengan fungsinya. Oleh karenya, setiap orang, badan hukum, instansi, persekutuan hukum yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah adat wajib memeliharanya. Penggunaan tanah adat haruslah disesuaikan dengan situasi dan sifat dari haknya, sehingga dapat memberikan arti, manfaat, serta fungsi optimal bagi masyarakat dan Negara.
Penulis menilai sejak 10 tahun lalu mulai ada gejala perubahan orientasi terhadap arti dan pemanfaatan fungsi tanah adat. Hal itu tampak semenjak masuknya program Prona yang memberikan kemudahan pembuatan sertifikat tanah. Implikasi dari program ini dapat memicu terjadinya perubahan orientasi yang dulunya bersifat kumunal menuju kea rah individual yang cenderung bersifat fragmatis-ekonomis. Penguasaan hak atas tanah adat di Bali beberapa tahun belakangan seringkali menimbulkan sengketa, konflik bahkan berujung perkara hingga keranah peradilan. Dan permsaalahan tersebut terjadi baik secara vertikal maupun horisontal. Konflik dimaksud sebagai akibat adanya beberapa faktor antara lain dikarena adanya perubahan pola pikir pemindahan hak atas tanah dapat terjadi masyarakat dari komunal menuju terhadap tanah-tanah yang awalnya individualistik, dari komunal religious dikuasai menurut hukum adat dan menuju sekuler individual, yang kemudian dikonversi menurut UUPA.
Selain itu, dewasa ini telah terjadi perubahan pemaknaan konsep penguasaan tanah-tanah adat di Bali yang kini dikenal menuju pemilikan, serta adanya kekeliruan pemahaman tanah adat dalam berbagai jenisnya. Selain itu, sengketa konflik dan perkara tanah di Bali terjadi diakibatkan karena ada perubahan nilai ekonomi tanah itu sendiri yang kian tinggi.
Dan meningkatnya nilai ekonomi tanah yang sangat tinggi ada di Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Tabanan dan Kabupaten Gianyar dimana terjadi peningkatan jumlah penduduk yang berdampak pada meningkatnya kebutuhan akan tanah terutama untuk pembangunan kawasan perumahan dan kawasan bisnis. Dipandang dari perspektif Sosial, perubahan orientasi akibat terjadinya penjualan tanah-tanah adat memberikan implikasi yang cukup mengkhawatirkan. Adapun pemicu utama terjadinya penjualan tanah-tanah adat tersebut adalah pensertifikatan tanah-tanah adat lewat Prona yang sekarang beralih ke PTSL.
Konsekuensi logis dari Prona yang kini berubah menjadi PTSL tersebut adalah munculnya dua kelompok yang mempunyai visi dan persepsi yang berbeda terhadap tanah adat. Disatu sisi, munculnya kelompok yang penulis sebut kelompok konservatf. Kelompok ini mempunyai visi dan persepsi ingin tetap mempertahankan tanah wilayah desa dikuasai oleh desa adat. Argumentasinya adalah, tanah-tanah adat yang dikuasai oleh warga komunitas adat merupakan kompensasi sekaligus jaminan atas kewajibannya terhadap desa adat. Karena itu, dapat dipahami bahwa kelompok ini menolak mempronakan atau mem-PTSL kan tanah adat atas nama personal.
Sementara itu, di sisi lain muncul kelompok yang kami sebut kelompok progresiffragmatis. Kelompok ini mempunyai visi dan persepsi yang lebih rasional sesuai dengan tuntutan jaman. Orientasinya terhadap tanah (termasuk tanah adat) setelah disertifikatkan atas nama personal, dapat dikelola dan bahkan dapat dijual asalkan kewajiban terhadap desa adat tidak diabaikan. Tampaknya kelompok ini cenderung berpikiran fragmatis, praktis, sekaligus ekonomis. Oleh karena itu, kelompok ini beranggapan bahwa tanah adalah sebuah asset yang mempunyai nilai ekonomis tinggi bahkan cenderung menganggap tanah sebagai komoditas (Suhendar dan Kasim, 1995). Kedua kelompok terurai di atas secara antagonis memunculkan perbedaan kepentingan dan orientasi terhadap tanah adat. Disatu pihak inging mempertahankan pola lama, sementara itu di pihak lain ingin mendobraknya.
Kondisi terebut diatas tentu saja mengkhawatirkan akan memicu terjadinya sikap ambiguitas komunitas adat (terutama bagi kelompok konservatif) terhadap tanah adat akibat pelaksanaan PTSL. Di atas telah disinggung bahwa di antara warga komunitas ada beberapa warga yang telah menjual tanahnya yang kini berujung perkara. Perilaku warga demikian itu dapat memicu kekhawatiran-kekhawatiran di antara warga desa adat lainnya. Di antara beberapa warga yang sempat didatangi penulis menegaskan bahwa akan terjadi petaka jika penjualan tanah-tanah adat tersebut tidak segera diambil tindakan tegas oleh pihak yang berwenang, dalam hal ini desa adat. Kekhawatiran itu memang cukup beralasan karena penguasaan tanah (PKD., AYDs.) oleh warga desa sesungguh hanyalah melekat suatu kewajiban terhadap desa adat secara terus menerus dan dari generasi ke generasi.
Di tahun 2008 telah ada penelitian yang menegaskan soal keberadaan tanah-tanah ulayat di Bali, yang dibedakan menjadi: Druwe Desa, Pelaba Pura, Pekarangan Desa, dan Ayahan. Penelitian menunjukkan pengklasifikasian tanah adat serta pola keberadaannya dilekati hak adat. Artinya apa, hasil penelitian ini menunjukkan kecenderungan munculnya konflik akibat adanya peralihan atau konversi tanah adat Bali berdasarkan UUPA. ( I. Made Suwitra, Dampak Konversi dalam UUPA Terhadap Status Tanah Adat di Bali, 2010)
Pada akhirnya eksistensi masyarakat adat selalu dihadapkan pada pilihan antara tanah dan uang. Hamparan tanah sawah yang indan dulu, kini telah beralih menjadi kawasan wisata, perkantoran dan lain-lain serta beberapa lahan yang beralih fungsi dan bisa berpotensi sengketa. Salah satu perkara yang belum lama terjadi di Bali pada tahun 2022 lalu, yaitu terjadi pada Banjar Tenten, Desa Adat Banjaranyar, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, Bali. Alhasil, kini banjar tersebut telah digusur berdasar putusan Pengadilan Negeri atau salinan risalah lelang Nomor 32/65/2022 tertanggal 12 Januari 2022, dan Prajuru atau Pengurus Desa Adat Banjaranyar akhirnya harus merelakan permohonan eksekusi yang diajukan oleh PT BPR Pande Arta Dewata.
Kenyaataan diatas pada hakekatnya sangat bertolak belakang dengan upaya Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18B ayat 2 dalam menjaga dan memajukan hak-hak masyarakat adat, Pasal ini menyebutkan bahwa, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisional sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prisip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang”. Tak hanya itu, kondisi memprihatinkan yang dialami masyarakat adat juga tidak sejalan dengan Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 – 2024, di mana arah kebijakan memuat anjuran untuk melakukan revitalisasi dan aktualisasi budaya. Artinya apa, sudah sewajarnya masyarakat adat memiliki wilayah adat mereka sendiri dan memiliki tradisi yang harus dirawat keberlanjutannya secara turun temurun. Sampai disini jelas tampak pada kekuatan produk hukum masih sangat lemah dan hanya menjadi macan kertas. Semoga saja masyarakat adat menyadari bahwa tanah adat bukan merupakan milik pribadi (perseorangan ataupun milik pengurus adat) melainkan milik adat dan tidak bisa diperjual belikan.
Oleh karena itu, untuk mencegah konflik, sengketa dan perkara pertanahan atas tanah desa adat, maka sudah seharusnya prejuru desa adat, aparatur desa dinas, perbekel, Camat dan Kantor Pertanahan Nasional (BPN) harus teliti dan hati-hati dalam menerima permohonan hak atas tanah desa apalagi sampai menerbitkan berkas penguasaan kemudian menerbitan sertipikat yang diajukan orang orang perorangan untuk yang didasarkan pada SPPT saja, tanpa kejelasan riwayat tanah nya.
Penulis adalah Dr. I Made Pria Dharsana, SH, M. Hum, Dosen Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Warmadewa, Bali yang juga Notaris PPAT di Kabupaten Badung, Bali.
No comment yet, add your voice below!