Persoalan Tanah Adat Bali, Ekploitasi atau Konservasi?

(Bali – Notarynews) Persoalan tanah adat di Bali, dalam konteks politik hukum pertanahan hingga saat ini masih menimbulkan perdebatan mengenai eksploitasi dan konservasi. Politik hukum pertanahan semestinya mengakui bahwa eksistensi tanah adat (tanah ayahan) dan desa adat sebagai pengelola, serta memperkuat peran mereka dalam pengelolaan dan penyelesaian sengketa. Hal ini penting untuk menjaga keberlanjutan tanah adat, kesejahteraan masyarakat Bali, dan harmonisasi antara kepentingan pembangunan dan adat.

Dr. I Wayan Rideng, SH, MH selaku moderator
Dr. I Wayan Rideng, SH, MH selaku moderator

Demikianlah muatan isi dalam pembahasan Forum Group Diskusi (FGD) yang di gelar Jaya Singha Mandapa Lantai IV, pada Rabu, (30/4) Fakultas Hukum Universitas Warmadewa (UNWAR) Bali yang dikemas dalam kegiatan bedah buku dengan mqengusung tema besar “Mengkritisi Persoalan Tanah Adat Di Bali, Ekploitasi atau Konservasi Dalam Persepektif Politik Hukum Pertanahan”.

Dihadirkan sebagai penulis buku atau penyaji pertama adalah Prof. Dr. I Made Suwitra, S.H., M.H dengan judul buku “Kupas Tuntas Sanksi Kesepekang Dalam Pendaftaran Tanah Adat Sebagai Ulayat Desa Adat Di Bali. Selanjutnya, penulis kedua adalah Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Bali) Prof Dr. I Wayan Wesna Astara, SH, M. Hum dengan judul bukunya “Politik Hukum Pariwisata, Ekowisata dan Persoalan Tanah Untuk Kepentingan Industri Pariwisata”. Dihadirkan sebagai tim pembedah dalam FGD kali ini antara lain: Prof. Dr Anak Agung Istri Ari Atu Dewi, S.H., М.Н, Prof. Dr. Dewa Putu Oka Prasiasa, A.Par., M.M dan Dr. I Made Pria Dharsana, S.H., M.Hum. Acara bedah buku kali ini dibuka langsung oleh Dekan Fakultas Hukum Universitas Warmadewa, Dr. Ni Made Jaya Senastri, S.H, Μ.Η.

Dekan FH Unwar, Dr. Ni Made Jaya Senastri, S.H, Μ.Η saat memberikan sambutan
Dekan FH Unwar, Dr. Ni Made Jaya Senastri, S.H, Μ.Η saat memberikan sambutan

Memasuki acara kegiatan, Prof Made Suwitra dalam paparannya menyampaikan bahwa buku yang baru diterbitkannya itu mengungkapkan soal urgensi permasalahan terkait sengketa tanah dan pemberian sanksi adat kesepekang.

Menurut Prof Made Suwitra ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh para Prajuru Desa Adat di Bali terkait dengan penanganan masalah penegakan awig-awig baru yang dilakukan apabila ada pelanggaran. Penegakan awig dilakukan melalui pemberian sanksi (pamidanda) sesuai dengan tingkat pelanggaran atau kesalahannya.

Ditegaskan Prof Made Suwitra, bahwa tujuan utama pemberian sanksi semestinya “mendidik” agar tumbuh kembali kesadarannya terhadap konsep kepatutan. Jadi disebut dengan “mengembalikan keseimbangan”, karena bersifat sekala dan niskala.

“Artinya apa, pelanggar diharapkan mampu membedakan perbuatan-perbuatan yang patut dan tidak patut. Sehingga model pemberian bentuk sanksinya pasti dilakukan secara berjenjang, yaitu dari yang paling ringan sampai yang paling berat,” Prof Made Suwitra.

“Yang ringan dapat berupa “pengaksama”, yaitu berupa permohonan maaf yang dilandasi atas kesadaran melalui paruman. Sedangkan sanksi yang paling berat dapat berupa sanksi “kasepekang” atau “kanorayang”, ujar Prof Made Suwitra.

Selanjutnya, menurut Prof Made Suwitra penegakan awig-awig melalui penerapan sanksi diharapkan lebih berorientasi pada nilai “kepatutan”, artinya bentuk sanksi apa yang tepat yang disebut dengan “patut” diterapkan dengan mereferensi asas rukun dan laras.

Sedangkan, rukun dimaknai bahwa penerapan sanksi adat harus tidak menimbulkan masalah baru tapi dapat menyelesaikan masalahnya. Selain itu sanksi yang diterapkan mampu menciptakan budaya hukum bagi krama desa, yaitu berupa anggapan “memang sudah sepatutnya” yang disebut dengan “opinion necessitatis”. 

Jadi, lanjut Prof Made Suwitra kedepan harapannya tidak ada lagi gejolak dari krama desa. Dalam penerapan sanksi adat tidak menimbulkan pelanggaran hak hidup krama desa yang dapat melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) seperti memutus sumber air, mencabut penjor sebagai sarana dalam pelaksanaan upacara keagamaan.

Lebih jauh Prof Made Suwitra menilai bahwa konsep rukun dapat dimaknai, bahwa penerapan sanksi adat tidak boleh didasarkan pada rasa “benci” atau “dendam” serta permusuhan, tapi sebaliknya atas dasar “kemanusiaan” dengan harapan mau kembali sebagai krama desa yang baik untuk patuh kepada awig-awig sebagai pedoman berperilaku.

Prof Made Suwitra juga mengamati bahwa sejauh ini penerapan sanksi “kasepekang” dilakukan secara langsung sejak tahapan awal tanpa melalui proses pengklasifikasian dalam penerapan sanksinya, tapi langsung dengan sanksi paling berat berupa “kasepekang”, sehingga orang secara apriori menjustifikasi bahwa jenis sanksi ini tidak layak lagi dijadikan sebagai salah satu jenis sanksi dalam penyuratan awig-awig karena disinyalir tidak manusiawi dan menjurus kepada pelanggaran HAM.

Prof. Dr Anak Agung Istri Ari Atu Dewi, S.H., М.Н
Prof. Dr Anak Agung Istri Ari Atu Dewi, S.H., М.Н

Guru Besar Agraria Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bali, Prof. Dr Anak Agung Istri Ari Atu Dewi, S.H., М.Н dalam bedah buku ini berpendapat bahwa buku  yang ditulis oleh Prof Made Suwitra memberikan gambaran permasalahan dan alternatif pemikiran dalam memahami kompleksitas penguatan desa adat di Bali yang berlangsung hingga kini.

Namun, Prof Ari Atu Dewi menilai bahwa Desa adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat tentunya memiliki otonomi berdasarkan hak konstitusionalnya. Namun penjabaran dalam Peraturan perundang-undangan tidak ada mengatur mengenai status desa adat sebagai subyek hukum. Ketidakjelasan status desa adat menyebabkan desa adat kurang berani melakukan tindakan terhadap tanah adat termasuk pengelolaan tanah adat.

Untuk itu, lanjut Guru besar FH Udayana ini perlu ada penguatan-penguatan secara teoritik dalam kaitannya pemberian sanksi-sanksi

Penguatan teoritis terkait pemberian sanksi dalam tanah adat dapat dilihat dari beberapa perspektif, termasuk fungsi sosial, nilai-nilai adat, dan pengakuan hukum. Sanksi adat berfungsi untuk menjaga keseimbangan sosial dan menjaga stabilitas masyarakat melalui penegakan aturan adat. Nilai-nilai adat, yang mencerminkan norma dan kepercayaan lokal, menjadi dasar bagi sanksi yang diterapkan, sehingga sanksi tersebut sesuai dengan konteks budaya dan masyarakat setempat. Pengakuan hukum, baik melalui konstitusi maupun peraturan perundang-undangan, juga memberikan landasan yuridis bagi penerapan sanksi adat. 

Dengan demikian, lanjut Prof Ari Atu Dewi kedepan, mungkin dalam edisi revisi maka perlu adanya penguatan secara teoritis terkait pemberian sanksi dalam tanah adat agar dapat dilihat dari fungsi sosialnya dalam menjaga keseimbangan dan stabilitas masyarakat serta nilai-nilai adat yang menjadi dasar sanksi, serta pengakuan hukum yang memberikan landasan yuridis bagi penerapannya.

Prof. Dr. I Made Suwitra, S.H., M.H bersama Prof Dr. I Wayan Wesna Astara, SH, M. Hum saat memberikan keterangan kepada pers
Prof. Dr. I Made Suwitra, S.H., M.H bersama  Prof Dr. I Wayan Wesna Astara, SH, M. Hum saat memberikan keterangan kepada pers

Penulis buku selanjutnya adalah Prof Dr. I Wayan Wesna Astara, SH, M. Hum yang menyoroti soal pentingnya perspektif politik hukum pertanahan agar memperhatikan perlindungan hukum sebagai jaminan kepastian hukum bagi hak-hak masyarakat adat, termasuk hak ulayat, agar tidak tergeser oleh kepentingan ekonomi atau pembangunan.

Inilah yang kemudian menurut Prof Wayan pentingnya peran pemerintah yang berperan menjembatani kepentingan pembangunan dengan kebutuhan masyarakat adat, serta memastikan bahwa regulasi pertanahan melindungi hak-hak mereka.

Sedangkan terkait dengan penyelesaian konflik pertanahan, menurut Prof Wayan  diperlukan adanya mekanisme penyelesaian sengketa tanah adat yang efektif dan adil, dengan melibatkan masyarakat adat dalam proses pengambilan keputusan.

Intinya menurut Prof Wayan, ada yang harus diperhatikan dengan seksama, bahwa pariwisata dan pembangunan yang pesat di Bali seringkali bertabrakan dengan kepentingan masyarakat adat dalam menggunakan tanah untuk kegiatan pertanian, pemukiman, dan ritual adat.

Untuk itu, penegakan hukum yang belum memadai terhadap sengketa tanah adat, terutama terkait dengan hak pakai tanah oleh warga asing, juga menjadi masalah.

Dengan begitu, menurut penilaian dia, perlu ada kebijakan yang lebih komprehensif dan berpihak pada masyarakat adat dalam mengelola tanah adat, yang dapat mengintegrasikan kepentingan pariwisata dan pembangunan dengan hak-hak adat.

Dr I Made Pria Dharsana, SH, M. Hum
Dr I Made Pria Dharsana, SH, M. Hum saat menyampaikan paparannya.

Dr. Made Pria Dharsana,SH, M. Hum dalam telaah bedah buku Prof Wayan menilai bahwa penulis dalam hal ini juga sangat jeli melihat adanya persoalan mendasar yang masih terjadi di lapangan antara lain soal keterbatasan bukti kepemilikan dimana masih banyak tanah adat yang belum memiliki sertifikat kepemilikan, sehingga rentan terhadap sengketa dan perebutan.

Untuk itu, menurut Made Pria diperlukan ada upaya dari pemerintah untuk memproses sertifikasi tanah adat secara lebih masif, sambil tetap menghargai nilai-nilai dan aturan adat.

Dalam hal sengketa tanah adat Prof Wayan dalam kacamata Made Pria juga mengamati bahwa di Bali masih sering terjadi, baik antar individu maupun antar desa adat, menunjukkan adanya ketidakjelasan dalam regulasi dan penegakan hukum.

Menariknya, lanjut Made Pria menurut penilaian Prof Wayan, sistem mediasi yang menjadi alternatif penyelesaian sengketa adat perlu ditingkatkan efektivitasnya dengan melibatkan tokoh adat dan aparat desa yang netral.

Disamping perlu juga adanya regulasi yang lebih jelas terkait dengan sengketa tanah adat, serta mekanisme penegakan hukum yang lebih kuat. Untuk itu, dibutuhkan keterlibatan masyarakat adat secara aktif dalam perumusan kebijakan dan regulasi terkait tanah adat, termasuk dalam proses penyelesaian sengketa. Disamping itu, diperlukan pemberdayaan masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam, termasuk tanah adat, perlu ditingkatkan. Pendidikan dan sosialisasi mengenai hukum adat dan hak-hak masyarakat adat perlu terus dilakukan, agar masyarakat adat memiliki pemahaman yang lebih baik tentang hak-haknya.

Menurut Dosen Notariat Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Bali ini dengan bercermin dari apa yang ditulis Prof Wayan dalam bukunya, Bab III halaman 33, bisa dipahami bagaimana sebaiknya pengembangan pariwisata berbasis desa adat sudah selayaknya dirancang mekanisme penguasaan tanah melalui perjanjian.

Hal ini sudah jauh disampaikan pada saat seminar nasional soal penguasaan tanah bagi orang asing di Hotel Bali Natour antara Fakultas Hukum Universitas Udayana dengan universitas Trisakti tahun 2008 silam.

“Yang mesti menjadi perhatian di dalam perjanjian pemberian Hak atas Tanah di Atas Hk Pengelolaan (HPL) atau Hak Milik (HM) adalah isi perjanjain sebagimana implentasi BOT atau BTO, karena tidak ada ketentuan baku apa saja isi perjanjiannnya dan apa dampak bagi pemilik tanah jika terjadi wanprestasi yang tidak menguntungkan pemilik HPL dan HM,” terang Made Pria.

” Untuk itu, kita harus belajar dari tanah HPL-nya Perusda Bali di Padang Galak, tanahnya mangkrak akan tetapi perusda tidak dapat membatalkan HGB di atas HPL, kecuali sampai batas,” imbuhnya.

Prof Dr. Dewa Putu Oka Prasiasa, A.Par., M.M
Prof Dr. Dewa Putu Oka Prasiasa, A.Par., M.M

Selanjutnya, Prof Dr. Dewa Putu Oka Prasiasa, A.Par., M.M sebagai penelaah kedua memandang bahwa kekuatan buku Prof Wayan  kali adalah terkait pembahasan soal studi kasus desa ekowisata dalam perspektif multidisipliner.

Ciri utama utama dari buku ini menurut Prof Dewa Putu Oka merupakan referensi yang baik adalah menyajikan hasil-hasil penelitian penulis yang relevan dan menjelaskan konsep-konsep dasar seperti ontologi, epistemologi, dan aksiologi secara jelas.

Akhirnya, dari paparan penulis dan juga para pembedah bisa disimpulankan, bahwa persoalan tanah adat di Bali tidak hanya tentang eksploitasi versus konservasi, tetapi juga tentang keseimbangan antara pembangunan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Politik hukum pertanahan harus memastikan bahwa kebijakan pemerintah tidak hanya mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menjaga kelestarian budaya dan keberlanjutan lingkungan bagi masyarakat adat di Bali. (Pramono)

 

Releated Posts

Follow Us Social Media

ADVERTISMENT

Are You Ready to Explore the Renewed JupiterX with Advanced User Experience?

Trending Posts

Recent Posts

ADVERTISMENT