(Bandung – Notarynews.id) Pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan sejumlah peraturan untuk mengatasi persoalan dampak ekonomi akibat pandemic Covid-19. Namun secara umum persoalan perekonomian masih belum dapat teratasi secara menyeluruh. Masih terdapat debitur yang gagal bayar dan menjadikan para pihak (khususnya kreditur) lebih memilih melakukan penyelesaian hukum melalui Kepailitan dan PKPU.
Hal ini terlihat dari Perkara PKPU dan Kepailitan pada Pengadilan Niaga Seluruh Indonesia di masa pandemi Covid 19 (2020 s.d Juni 2021)Total Perkara PKPU dan Kepailitan sebanyak 1.222 perkara (termasuk 4 perkara dimana Bank sebagai termohon. Adapun total perkara PKPU dan Kepailitan yang melibatkan Bank sebanyak 75 perkara, dengan perincian 71 perkara bank dalam kedudukan sebagai pemohon dan 4 perkara bank dalam kedudukan sebagai termohon.

Demikian diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Hukum Lembaga Penjamin Simpanan, Dr. Ary Zulfikar, SH,MH, pada seminar nasional mengangkat tema besar “Dinamika Hukum Kepailitan Di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Pengurus Wilayah Ikatan Notaris Indonesia (Pengwil Jabar INI) bekerjasama dengan Ikatan Keluarga Alumni Notariat (IKANO) Universitas Padjadjaran dan Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Padjadjaran, pada Senin, (25/10) lalu.
“Pilihan kreditur ini antara lain didorong oleh keberadaan pranata hukum Kepailitan dan PKPU yang memberikan kemudahan bagi kreditur untuk menyelesaikan persoalan piutang mereka dengan waktu yang cepat dan syarat yang relatif mudah. Dan hal ini juga dikarenakan, Tidak adanya pengaturan mengenai batas nilai utang-piutang yang jadi dasar pengajuan ke pengadilan niaga. Selama ini, perusahaan dapat masuk PKPU atau pailit dengan jumlah utang berapapun tanpa batasan,” ujar Ary yang mengusung materi “Peranan dan Fungsi LPS dalam Menjaga Stabilitas Sistem Perbankan sebagai Dampak Meningkatnya PKPU dan Kepailitan”.

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), menurut Direktur Eksekutif LPS ini, berperan melindungi nasabah bank termasuk jika terjadi ancaman krisis (akibat pandemic Covid-19) yang berpotensi mengakibatkan merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan dan membahayakan stabilitas sistem keuangan.
“Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 menyebutkan bahwa LPS merupakan suatu lembaga independen yang berfungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya. Menjadi tugas LPS untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan penyelesaian Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik dan melaksanakan penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik, “ terang Ary.
Ditegaskan Direktur Eksekutif LPS ini bahwa industri perbankan merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam perekonomian suatu negara. Dan ketika menghadapi Covid-19, perbankan saat ini banyak melakukan restrukturisasi kredit untuk menjaga tingkat Non Performing Loan (NPL).
“Tapi anehnya pada masa pandemi Covid-19, justru terjadi kenaikan tingkat NPL Bank. Dari hasil data statistik NPL OJK sampai dengan Juli 2021, pada masa pandemi Covid-19 menyebabkan terjadinya kenaikan NPL BPR dibandingkan tahun sebelumnya. Dan kenaikan NPL Bank Umum kepada pihak ketiga bukan bank berdasarkan lapangan usaha dan bukan lapangan usaha penerima kredit, antara lain: a. industri pengolahan; b. pertambangan dan penggalian; c. jasa kemasyarakatan, sosial budaya, hiburan dan perorangan lainnya; d. pemilikan flat atau apartemen; e. pemilikan kendaraan bermotor; dan f. pemilikan peralatan rumah tangga lainnya (termasuk pinjaman multiguna),” terang Ary.
Selanjutnya, dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan di masa pandemi Covid-19, OJK menerbitkan POJK No. 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Covid-19 sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan POJK 17 /POJK.03/2021.
Dan salah satu cara POJK memberikan Stimulus Perekonomian Nasional yaitu melalui Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran COVID-19 yaitu, dengan melakukan penurunan suku bunga, perpanjangan jangka waktu, pengurangan tunggakan pokok, pengurangan tunggakan bunga, penambahan fasilitas kredit atau pembiayaan; dan atau konversi pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara (Penjelasan Psl 5 ayat (2)).
Menariknya, menurut Direktur Eksekutif LPS ini, di tengah pandemi Covid-19, justru kepercayaan masyarakat kepada industri perbankan nasional malah meningkat. Hal ini bisa kita lihat dari hasil data distribusi simpanan per Juli 2021 pada 107 Bank Umum yang terdiri dari 95 Bank Umum Konvensional dan 12 Bank Umum Syariah. Terjadi kenaikan jumlah rekening simpanan nasabah sebesar 12,6% (40.251.228 rekening) year-on-year (yoy) menjadi 359.949.911 rekening. Dan dilihat dari sisi nominal, simpanan nasabah naik sekitar Rp 650 triliun (10,18%) secara year-on-year (yoy) dari Rp6.388 triliun per Juli 2020 menjadi Rp 7.038 triliun per Juli 2021.
Sementgara di jalur distribusi juga ada kenaikan simpanan nasabah year-on-year (yoy) terpantau cukup merata. Dan Per Juli 2021, semua kategori (tier) simpanan mengalami pertumbuhan positif. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada tier dengan saldo rekening di atas Rp 5 miliar. (Sumber: Siaran Pers LPS No: PRESS- 31/SEKL/2021).
Selanjutnya, pada bulan Juli 2021, secara yoy nominal simpanan pada umumnya memang mengalami kenaikan, namun secara month-to-month terjadi penurunan nominal simpanan dengan tiering diatas Rp 2 miliar yakni sebesar -0,1% setara dengan Rp 3,83 triliun. Artinya, dana pada tiering tersebut yang mayoritas merupakan dana milik korporasi mulai terdistribusi merata. Hal ini mengindikasikan bahwa pemulihan ekonomi nasional tengah bergerak ke arah yang lebih baik, hal ini terlihat dari dunia usaha yang mulai bersiap untuk kembali melakukan ekspansi. ***