(Semarang – Notarynews) Herlina Satu Hati Learning Center (HSLC) bersama Yayasan Sahabat Herlina Satu Hati Untuk Negeri (YSHSUN) menyelenggarakan acara bertajuk “Ngabuburit Online Keilmuan Semarak Ramadhan 1446 H”.
Kali ini pada Jumat (7/3) sore pukul 16.00 via zoom meating dengan mengusung tema besar “Konsekuensi Yuridis Perjanjian Kawin Terhadap Notaris Dan Perbankan Setelah Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 69/PUU/XII/2015” menghadirkan narasumber Dr I. Made Pria Dharsana, SH M.Hum. Hadir pada acara ini Hj. Herlina, S.H.MH selaku Pembina Yayasan Sahabat Herlina Satu Hati Untuk Negeri yang juga Ketua Pengwil Jateng INI yang bertindak sebagai keynote speaker sekaligus langsung membuka acara webinar kali ini. yang dihadiri oleh 56 peserta. Acara ini dipandu oleh Sandhiyaning Wahyu Arifani, S.H., M.Kn. (Notaris – PPAT Kabupaten Kudus).

Mengawali acara, Pembina Yayasan Sahabat Herlina Satu Hati Untuk Negeri, Hj Herlina, SH, MH dalam sambutannya menegaskan bahwa yayasan yang berdiri sejak tahun 2021 silam ini selalu mengadakan kegiatan rutin dibulan ramadhan.
“Setiap bulan Ramadhan kita selalu mengadakan empat kegiatan antara lain; pertama, kegiatan keilmuan bertajuk “Ngabuburit Keilmuan” yang diisi dengan narasumber berkompeten. Kedua, bakti sosial. Ketiga, khotmil Qur’an (tadarus daring) dan keempat, tausiyah ramadhan serta buka puasa bersama.
Herlina berharap seluruh anggota dan juga rekan-rekan Notaris – PPAT bisa mengikuti seluruh rangkaian kegiatan Sahabat Herlina Satu Hati Untuk Negeri. Harapannya, tentu saja acara kegiatan di bulan ramadhan ini semakin melengkapi ibadah dan keilmuan bagi rekan semua.

Terkait tema webinar, Herlina menegaskan bicara soal perjanjian kawin pasca Putusan MK Nomor 69/PUU/XII/2015 harus diakui masih banyak rekan-rekan Notaris yang belum paham terkait hasil putusan MK dimaksud.
“Semoga rekan-rekan bisa memetik pengetahuan terkait putusan MK tersebut dan membawa implementasi yuridis dalam tugas dan kewenangan Notaris dalam menjalankan tugas Jabatannya selaku Notaris – PPAT,” imbuh Herlina.

Selanjutnya Dr I Made Pria Dharsana SH M. Hum dalam paparannya menegaskan bahwa ada konsekuensi yuridis terhadap Peralihan hak atas tanah akibat adanya perbuatan hukum untuk mengalihkan hak dan pembebanan tanah kepada pihak kreditur setelah adanya putusan MK 69/2015. Menurut Made Pria, perjanjian kawin pasca perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh suami istri setelah menikah.
“Dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 69/PUU-XIII/2015 memperbolehkan perjanjian kawin dibuat setelah perkawinan berlangsung (postnup agreement). Maka, putusan ini memberikan politik hukum baru yang sebelumnya hanya memungkinkan perjanjian kawin dibuat sebelum menikah (prenup agreement), ” terang Made Pria mengawali paparannya.
Menurut Dosen Notariat Universitas Indonesia ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh rekan-rekan Notaris dengan lahirnya putusan MK dimaksud antara lain: pertama, perjanjian kawin pasca perkawinan dapat dibuat oleh suami istri dengan menghadap Notaris. Kedua, perjanjian kawin pasca perkawinan dapat berdampak pada harta bersama yang telah terbentuk. Ketiga, perjanjian kawin dapat dibuat sebelum perkawinan, pada waktu dilangsungkannya perkawinan, maupun selama dalam perkawinan.
Terkait dengan peralihan hak atas tanah dalam perkawinan, ditegaskan Made Pria bahwa harta bersama dapat dialihkan oleh suami atau istri dengan persetujuan kedua belah pihak atau bahasa hukumnya harus mendapatkan persetujuan pasangan kawinnya.
Setelah UU Perkawinan berlaku, Made Pria menilai terdapat unifikasi hukum dalam pengaturan perkawinan di Indonesia, kecuali sepanjang ada ketentuan yang belum atau yang tidak diatur di dalam undang-undang tersebut, maka dipergunakan peraturan yang sebelumnya. Terkait pengaturan hukum tentang perkawinan berlaku terhadap semua lapisan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, setiap orang berkewajiban untuk tunduk dan mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk terhadap UU Perkawinan yang menjadi landasan bagi terciptanya kepastian hukum dari sudut hukum keluarga, harta benda, maupun terhadap akibat hukum yang timbul dari suatu perkawinan.
Dalam ikatan perkawinan, lanjutnya akan timbul hak dan kewajiban dari setiap pasangan suami isteri. Kehidupan dalam suatu perkawinan akan menimbulkan akibat hukum, sehingga masyarakat pasti akan memerlukan hukum yang mengatur tentang perkawinan ini, yaitu pengaturan mengenai syarat-syarat untuk peresmian, kelangsungan, kelanjutan dan terhentinya suatu perkawinan, dalam hal al ini adalah UU Perkawinan.
Untuk menghindari adanya perselisihan mengenai harta benda tersebut, ditegaskan Dosen Notariat Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Bali agar calon suami dan isteri dapat membuat sebuah akta perjanjian kawin atau yang disebut juga perjanjian pra nikah (prenuptial agreement).
Hal ini diatur dalam UU Perkawinan, tepatnya pada Pasal 29, maka dengan adanya perjanjian kawin ini, tidak terjadi percampuran harta dari suami dan isteri sehingga harta dan utang menjadi hak dan tanggung jawab masing-masing pribadi. Adapun isi dalam perjanjian kawin dapat ditentukan dari kesepakatan para pihak apakah harta mereka akan terpisah seluruhnya atau hanya sebagian saja.
“Di Indonesia, perjanjian kawin masih dianggap menjadi persoalan yang sensitif, tabu, tidak lazim, dianggap tidak biasa, kasar, materialistik, egois, tidak etis, tidak sesuai dengan adat ketimuran, dan sebagainya. Padahal, ada kalanya perjanjian kawin tersebut bermanfaat bagi para pihak yang membuatnya,” ujar Made Pria.
Untuk itulah, kemudian lanjut Made Pria pembuatan perjanjian kawin diatur untuk dilakukan sebelum perkawinan dilaksanakan, sebagaimana dicantumkan dalam pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan, yang berbunyi: “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut.”
Dari paparan yang disampaikan oleh Notaris PPAT Kabupaten Badung ini diakhir paparannya menyimpulkan bahwa perjanjian kawin sebelum perkawinan dan perjanjian kawin pasca perkawinan menyangkut para pihak mempunyai akibat hukum yang sama, yaitu para pihak yang membuat perjanjian harus menjalankan hak dan kewajibannya sesuai denan isi perjanjian.
Sementara bagi pihak ketiga (kreditur) yang terkait, menurut Made Pria perjanjian kawin berlaku saat perjanjian kawin telah didaftarkan pada Kantor Urusan Agama bagi yang beragama muslim dan Kantor Catatan Sipil bagi yang beragama non muslim. Namun di dalam akibat hukum terhadap harta benda berbeda antara perjanjian kawin sebelum dan pasca perkawinan, karena pada umumnya pembuatan perjanjian kawin khusus diperuntukan bagi pengaturan pemisahan harta kekayaan suami dan isteri. Secara keseluruhan, akibat hukum dari pembuatan perjanjian kawin adalah para pihak yang membuat perjanjian harus mentaatinya dan juga berlaku bagi pihak ketiga yang terkait.
Menyangkut isi dari perjanjian kawin yang dibuat dan atau diubah oleh para pihak ditegaskan Made Pria, maka tidak boleh merugikan pihak ketiga, sehingga perjanjian kawin harus dibuat dalam bentuk akta otentik agar tidak mudah dilakukan perubahan. Hal ini harus diperhatikan sebab menyangkut kepastian hukum terhadap harta dan bagi pihak ketiga (kreditur), terutama terhadap harta benda yang diagunkan dan harta benda yang berada dalam sita jaminan oleh kreditur.
“Terdapat beberapa langkah yang dapat diambil dari teori perlindungan hukum untuk melindungi kepentingan kreditur, yaitu perlindungan hukum melalui tindakan preventif dan tindakan represif,” terang Made Pria.
Selanjutnya, untuk meminimalkan resiko terjadinya sengketa di kemudian hari, maka harus ada pemberitahuan terlebih dahulu kepada kreditur mengenai pembuatan perjanjian kawin apabila terdapat hal-hal yang berkaitan dengan kreditur agar terdapat kesepakatan dari awal antara para pihak. Apabila terdapat wanprestasi sebelum adanya pemisahan harta, harta benda yang berada dalam sita jaminan harus dilihat sebagai harta bersama suami isteri seperti pada awalnya, sehingga akan tercapai kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum bagi para pihak yang membuat perjanjian kawin maupun pihak ketiga yang terkait.
Perkawinan Merupakan Perjanjian Agung
Syamsul Arifin, SH MKn dalam kesempatan tanya jawab berpendapat bahwa perkawinan merupakan suatu ikatan lahir dan batin yang suci. Jadi semestinya jangan diganggu oleh hal-hal yang bersifat duniawi.
Dalam Islam, lanjut Syamsul perjanjian kawin atau akad nikah merupakan perjanjian yang sakral dan agung, karena merupakan mitsaqan ghalidzan. Perjanjian dimaksud Syamsul hal tersebut dilakukan antara dua insan, antara makhluk Allah dengan Sang Khaliq.

“Dalil dalam Al-Qur’an yaitu Surat An-Nisa ayat 21, Allah mengatakan bahwa pernikahan merupakan mitsaqan ghalidzan,” terang Syamsul.
Namun demikian disampaikan Ketua Pengda Kabupaten Demak INI, bahwa dalam agama Islam juga ada aturan dan bentuk perjanjian perkawinan. Adapun isi perjanjian kawin dalam hukum Islam dapat berupa, percampuran harta pribadi, pemisahan harta pencarian dan kewenangan mengadakan hipotek atas harta pribadi dan bersama.
Lalu pertanyaannya, lanjut Syamsul apakah isi perjanjian perkawinan boleh menyimpangi hukum Islam? Menurut Syamsul, apabila merujuk pada Pasal 29 ayat (2) UU Perkawinan, dijelaskan bahwa perjanjian perkawinan tidak dapat disahkan apabila melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan.
Hal serupa juga dijelaskan dalam Pasal 46 ayat (1) dan Pasal 47 ayat (2) KHI. Pasal 46 ayat (1) KHI, isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam. Pasal 47 ayat (2) KHI, perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam.
“Dengan demikian, bagi umat Islam, memang isi perjanjian perkawinan tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam,” imbuh Syamsul. (Pramono)
No comment yet, add your voice below!