Keabsahan Akta Notaris Dan Implikasi Hukumnya

(Karawang – Notarynews.id)  Seiring dengan perkembangan kehidupan yang kian modern, yang diwarnai dengan meningkatnya hubungan antara sesama warga negara ataupun lembaga-lembaga pemerintah dan lembaga sosial, maka akan sangat terasa sekali pentingnya jasa pelayanan Notaris terutama dalam hal pembuatan akta otentik. Dengan demikian, jabatan Notaris adalah jabatan mulia dan terhormat karena memberikan pelayanan dan bantuan hukum kepada masyarakat yang mempercayakan pengurusan haknya dalam melakukan perbuatan hukum. Kepercayaan tersebut sudah semestinya dipegang oleh Notaris yang menjalankan tugas jabatannya.

Salah satu produk dari Notaris ialah akta otentik, dimana akta otentik tersebut menjadi kebutuhan bagi masyarakat yang melakukan transaksi-transaksi atau kegiatan-kegiatan keperdataan yang memerlukan suatu alat bukti demi menjaga kepentingan masing-masing pihak yang terlibat. Semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan terpenuhinya suatu alat bukti yang kuat dan sempurna demi menjaga hak-hak mereka di kemudian hari membuat jasa Notaris makin dicari dan dibutuhkan.

“Namun yang perlu diperhatikan, baik oleh Notaris maupun penghadap atau masyarakat yang menggunakan jasa Notaris ialah prosedur-prosedur yang sudah ditentukan oleh undang-undang dalam pembuatan akta Notaris (akta otentik) agar keotentikan dari akta tersebut dapat terpenuhi,” ujar Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Karawang, Marta Parulina Berliana, SH, MH saat mengisi acara seminar pada Selasa (12/10) yang di selenggarakan oleh Pengurus Daerah Kabupaten Karawang (Pengda Karawang INI) di Ballroom Resinda, Karawang yang mengangkat tema besar “Keabsahan Akta Notaris dan Implikasi Hukum”

Marta Parulina Berliana, SH, MH (Kajari Karawang)

Ditegaskan Marta Parulina, dalam paparannya yang mengusung tema “Akta Otentik Yang Dibuat Di Hadapan Notaris Dalam Hukum Pembuktian dan Implikasi Hukumnya” mengatakan bahwa Notaris bisa saja dipidana, namun bukan karena jabatannya, tetapi karena perbuatannya memenuhi unsure obyektif yaitu memenuhi unsure delik  dan subyek ada kesalahan (kesengajaan ataupun kealpaan).

Untuk itu, sebagaimana dtegaskan kembali oleh Marta Parulina dalam wawancaranya kepada Notary usai acara, Kajari Karawang ini mengingatkan agar Notaris selalu berpedoman secara normatif kepada Standar Prosedur Opersional (SOP) dan aturan hukum yang berkaitan dengan segala tindakan yang akan diambil untuk kemudian dituangkan ke dalam akta.

“Bertindak berdasarkan aturan hukum yang berlaku akan memberikan kepastian kepada para pihak, bahwa akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris telah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, sehingga jika terjadi permasalahan, akta Notaris dapat dijadikan pedoman oleh para pihak,” ujar Marta Parulina.

Dr. I. Made Pria Dharsana, SH, M. Hum 

Senada dengan Kajari Karawang, Dosen Notariat Fakultas Hukum Universitas Warmadewa, Bali Dr. I. Made Pria dharsana, SH, M. Hum kepada Notary menegaskan, dapat dipahami bahwa, melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya UUJN merupakan payung hukum bagi Notaris agar tidak terlibat dalam permasalahan hukum di kemudian hari.

“Dan tentu saja Notaris wajib berpedoman secara normatif kepada aturan hukum yang berkaitan dengan segala tindakan yang akan diambil untuk kemudian dituangkan ke dalam akta. Bertindak berdasarkan aturan hukum yang berlaku akan memberikan kepastian kepada para pihak, bahwa akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris telah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, sehingga jika terjadi permasalahan, akta Notaris dapat dijadikan pedoman oleh para pihak,” tegas Made Pria.

“Pada bagian awal akta, Notaris mencantumkan tanggal atau waktu pembuatan akta. Pencantuman tanggal, waktu ini sangatlah penting sehubungan dengan kekuatan pembuktian formal yang dimiliki akta Notaris. Kekuatan pembuktian formal artinya akta Notaris memberikan kepastian hukum bahwa suatu kejadian dan fakta yang diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap pada saat yang tercantum dalam akta sesuai dengan prosedur yang ditentukan dalam pembuatan akta,” terang Made Pria.

Notari – PPAT Kabupaten Badung, Bali ini menerangkan bahwa Akta Notaris dapat digunakan sebagai alat bukti dalam perkara perdata dan perkara pidana di pengadilan. Dalam hukum acara perdata akta Notaris adalah akta otentik sebagai alat bukti bersifat formil, yang artinya bahwa akta otentik mempunyai kekuatan bukti sedemikian rupa karena dianggap melekat pada akta itu sendiri, sehingga alat pembuktian yang lain tidak diperlukan lagi.

Sedangkan, dalam hukum acara pidana pembuktiannya bersifat materiil dimana harus ada dua  bukti alat bukti lainnya dan keyakinan hakim. Keberadaan, kedudukan, dan fungsi akta Notaris adalah berhubungan secara langsung dengan hukum pembuktian, terutama dalam rangka pembuatan alat bukti tertulis yang berupa akta otentik.

Lebih jauh Made Pria menerangkan Akta Notaris sebagai alat bukti, dapat mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna jika seluruh ketentuan prosedur atau tata cara pembuatan akta tersebut dipenuhi. Jika ada prosedur yang tidak dipenuhi dan prosedur yang tidak dipenuhi tersebut dapat dibuktikan, maka akta tersebut dengan proses pengadilan dapat dinyatakan sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Jika sudah berkedudukan seperti itu, maka nilai pembuktiannya diserahkan kepada hakim.

Jika kita memahami apa yang tertuang dalam UUJN, lanjut Made Pria, semestinya masyarakat umum dan juga para penegak hukum dapat memahami bahwa Notaris adalah suatu jabatan yang diawasi dengan sangat ketat. Pemerintah mengawasi pelaksanaan peraturan jabatan yang tertuang dalam UUJN dan juga kode etik Notaris melalui Majelis Pengawas Notaris di tingkat daerah, wilayah, maupun tingkat pusat. Dari internal organisasi jabatan Notaris sendiri, yakni Ikatan Notaris Indonesia (INI) memiliki Dewan Kehormatan untuk mengawasi dan memeriksa pelanggaran kode etik Notaris baik di tingkat daerah, wilayah, maupun tingkat pusat.

Untuk itu, Dosen Notariat Unwar, Bali ini juga menekankan kepada penyidik, semestinya menjunjung tinggi hukum yang berlaku sebagaimanan tertuang pada Undang Undang Jabatan Notaris Pasal 7 ayat 3, yang menegaskan bahwa dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), Penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku ”

“Notaris hanya dapat memberikan kesaksian terhadap apa yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan yang ia alami sendiri, yang diberikan setelah memperoleh persetujuan Majelis Kehormatan Notaris Wilayah (MKNW). MKNW hendaknya selalu berada pada keadaan independen tanpa tekanan dari pihak manapun dan objektif serta berada pada kebenaran dan keadilan serta memperhatikan perlindungan kepada masyarakat melalui jabatan Notaris,”  tegas Made Pria.

Penandatanganan Akta Di Lapas

Mengulas soal “Penandatanganan Akta Notaris oleh Penghadap di Lapas ”Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Karawang, Lenggono Budi Bc.Ip kepada Notary mengatakan bahwa secara keperdataan masih ada peluang-peluang atau dimungkinkan bagi narapidana untuk memberikan kesaksian, ataupun menandatangani akta Notaris di Lapas.

“Bisa saja Notaris yang datang ke Lapas atau tahanan bisa keluar menghadap Notaris. Tapi tentu saja hal itu tidak serta merta atau sembarangan karena mesti ada syarat-syarat penuh dari Lembaga Pemasyarakatan. Karena memang status tahanan itu, secara fisik itu menjadi kewenangan penuh Lembaga Pemasyarakatan, tapi secara  yuridis itu merupakan kewenangan yang menangani. Maka untuk itu harus ada ijin khusus jika sekiranya diminta menjadi saksi atau menandatanagni akta Notaris,” terang Budi Lenggono kepada Notary.

Budi Lenggono, Kepala Lapas Kelas II , Karawang

Sebelumnya, saat menyampaikan paparanya pada acara seminar berkaitan dengan pokok permasalahan bahwa penandatanganan akta Notaris yang dilakukan di dalam lembaga pemasyarakatan ketika salah satu penghadap atau saksi sebagai terpidana dan menjalani pidana menurut, Ka Lapas Klas II Karawang ini tetap sah dan mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta otentik, selama penandatanganan akta diluar kantor Notaris tersebut tidak dilakukan oleh Notaris secara terus menerus dengan tetap menjalankan jabatan di luar tempat kedudukannya.

Kepala Lapas Kelas II Karawang ini juga mendasari paparannya dengan mengacu pada UU No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan pada pasal 17 ayat 4 – 6, diungkapkan bahwa narapidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibawa ke luar Lapas untuk kepentingan penyerahan berkas perkara,  rekonstruksi atau pemeriksaan disidang pengadilan. Dalam hal terdapat keperluan lain di luar keperluan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) Narapidana hanya dapat dibawa ke luar Lapas setelah mendapat izin tertulis dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan.

“Adapun jangka waktu Narapidana dapat dibawa ke luar Lapas sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) KEP. DIRJEN PAS No. PAS-36-OT.02.02 Tahun 2020 Tanggal 18 Desember 2020 Tentang Standar Pelayanan Pemasyarakatan Hal. 195, kepada narapidana dapat diberikan layanan izin luar biasa, dengan cara mengajukan permohonan tertulis melalui narapidana tersebut, keluarga ataupun kuasa hukum. Izin luar biasa (ILB) dimaksud dalam hal; adanya keluarga yang sakit keras atau meninggal dunia, menjadi wali nikah untuk anak kandung atau membagi warisan,” imbuh Kepala Lapas kelas II Karawang ini. 

Releated Posts

Follow Us Social Media

ADVERTISMENT

Are You Ready to Explore the Renewed JupiterX with Advanced User Experience?

Trending Posts

Recent Posts

ADVERTISMENT