HAKI Menuju Bankable Asset: Sinergi Kanwil Kemenkum Jabar, OJK, dan Notaris Dorong Skema Pembiayaan UMKM

(BANDUNG – NOTARYNEWS)  Kantor Wilayah Kementerian Hukum (Kemenkum) Jawa Barat mendorong percepatan implementasi Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) agar dapat dijadikan agunan perbankan bernilai ekonomis bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

Langkah strategis ini menjadi fokus utama dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Sinergi Antar Lembaga Dalam Memperkuat Payung Hukum Kekayaan Intelektual Sebagai Agunan Bank Untuk Mendukung Pembiayaan Industri Kreatif di Jawa Barat”, yang digelar di Kantor Wilayah Kemenkum Jawa Barat, Jalan Jakarta, Kota Bandung, Kamis (23/10/2025).

Kepala Kanwil Kemenkum Jawa Barat, Asep Sutandar, menegaskan pentingnya forum tersebut sebagai wadah menyatukan langkah lintas sektor agar sertifikat kekayaan intelektual (KI) tidak hanya berfungsi sebagai dokumen administratif, tetapi juga memiliki nilai ekonomi riil yang bisa dimanfaatkan untuk pembiayaan usaha.

“Kami ingin agar sertifikat kekayaan intelektual tidak hanya disimpan sebagai arsip, tetapi dimanfaatkan sebagai agunan oleh para pelaku UMKM untuk mengembangkan usahanya,” ujar Asep.

Suasana Focus Group Discussion (FGD) Kanwil Kemenkum Jabar bersama OJK dan Notaris membahas HAKI sebagai aset bankable bagi UMKM.
Suasana Focus Group Discussion (FGD) Kanwil Kemenkum Jabar bersama OJK dan Notaris membahas HAKI sebagai aset bankable bagi UMKM.

FGD diikuti oleh berbagai pemangku kepentingan, antara lain perwakilan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, akademisi Universitas Padjadjaran, Notaris, perbankan, serta pelaku industri kreatif.

 

Regulasi Kuat, Implementasi Jadi Fokus

Pemanfaatan KI sebagai agunan kini memiliki dasar hukum yang kokoh. Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2022 tentang Pelaksanaan UU Ekonomi Kreatif.

Pasal 9 PP tersebut secara eksplisit mengatur bahwa kekayaan intelektual dapat dijadikan objek jaminan utang, baik dalam bentuk jaminan fidusia atas KI, kontrak kegiatan ekonomi kreatif, maupun hak tagih yang timbul dari kegiatan ekonomi kreatif.

Selain itu, dukungan sektor keuangan hadir melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 19 Tahun 2025 tentang Kemudahan Akses Pembiayaan Kepada UMKM. Regulasi ini membuka peluang bagi lembaga keuangan bank dan nonbank untuk menerima jaminan berbasis KI, sekaligus mendorong percepatan proses pembiayaan digital.

Untuk aspek penilaian, diterbitkan Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Permenparekraf) Nomor 6 Tahun 2025 tentang Penilai Kekayaan Intelektual, yang mengatur mekanisme dan klasifikasi penilai publik atau panel penilai yang ditunjuk lembaga keuangan.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Prof. Dr. Ahmad M. Ramli, menegaskan pentingnya valuasi KI agar layak dijadikan objek pembiayaan.

“Valuasi bisa dilakukan melalui pendekatan pasar (market approach), pendapatan (income approach), atau biaya (cost approach). Permenparekraf ini memberi dasar legal dan fleksibilitas dalam metode penilaian,” jelasnya.

Notaris dan Skema “Double Cover Collateral”

Ketua Umum Ikatan Keluarga Alumni Notariat (Ikano) Universitas Padjadjaran, Dr. Ranti Fauza Mayana, S.H., menguraikan model “Double Cover Collateral Binding” sebagai inovasi hukum pembiayaan berbasis kekayaan intelektual.

Ia mencontohkan, seorang pencipta lagu yang telah mencatatkan ciptaannya di DJKI dapat menjaminkan sertifikat ciptaannya sebagai collateral pertama, sedangkan royalti yang dihasilkan dari penggunaan lagu tersebut dapat diikat sebagai collateral kedua melalui fidusia tagihan.

“Model ini menggabungkan dua lapis jaminan — hak kebendaan atas KI dan hak ekonomi yang dihasilkannya. Skema ini bisa menjawab kekhawatiran perbankan terhadap aspek mitigasi risiko,” ujarnya.

Ranti juga menegaskan pentingnya peran Notaris dalam keseluruhan tahapan pembiayaan berbasis KI — mulai dari uji tuntas hukum (legal due diligence), penyusunan akta kredit dan akta fidusia, hingga pendaftaran jaminan di sistem fidusia. “Notaris menjadi ujung tombak dalam memastikan proses pembiayaan berbasis KI berjalan sesuai prinsip kehati-hatian dan memiliki kekuatan hukum penuh,” tegasnya.

Kesiapan DJKI dan Tantangan Eksekusi

Sekretaris DJKI, Andrieansjah, menuturkan bahwa dari sisi regulasi dan kelembagaan, sistem sudah siap. “Aturannya sudah lengkap. Sekarang kami sedang menyiapkan tim penilai serta berkoordinasi dengan perbankan yang akan menjalankannya,” ujarnya.

Ia menilai, kesadaran publik terhadap nilai ekonomi KI meningkat pesat. “Sertifikat KI kini bukan sekadar perlindungan hukum, tetapi juga investasi yang bernilai ekonomi seperti halnya sertifikat tanah atau BPKB,” tambahnya.

Meski demikian, tantangan masih ada — mulai dari membangun kepercayaan lembaga keuangan terhadap KI sebagai kolateral, menyiapkan tenaga penilai yang kompeten, hingga membentuk ekosistem penjaminan dan pasar sekunder KI.

Ranti menilai, sinergi lintas lembaga menjadi kunci. “Pemerintah, OJK, Notaris, KJPP, dan pelaku industri kreatif harus berjalan bersama agar ekonomi berbasis kreativitas ini benar-benar menjadi motor baru bagi UMKM,” tutupnya. (Pramono)

 

 

Releated Posts

Follow Us Social Media

ADVERTISMENT

Are You Ready to Explore the Renewed JupiterX with Advanced User Experience?

Trending Posts

Recent Posts

ADVERTISMENT