(Bandung – Notarynews) Kecerdasan buatan atau akal imitasi (AI) adalah kecerdasan yang ditambahkan kepada suatu sistem yang bisa diatur dalam konteks ilmiah atau bisa disebut juga inteligensi artifisial (Inggris: artificial intelligence) atau hanya disingkat AI, didefinisikan sebagai kecerdasan entitas ilmiah. Andreas Kaplan dan Michael Haenlein mendefinisikan kecerdasanbuatan sebagai “kemampuan sistem untuk menafsirkan dataeksternal dengan benar, untuk belajar dari data tersebut, danmenggunakan pembelajaran tersebut guna mencapai tujuandan tugas tertentu melalui adaptasi yang fleksibel”. Sistem seperti ini umumnya dianggap komputer.

Demikian disampaikan oleh Dr. Ir. Cahyana Ahmadjayadi, SH, MH mengawali paparannya pada seminar nasional yang mengangkat tema besar “UU ITE Baru, Transformasi Digital dan Cyber Notary” yang diselenggarakan oleh Ikatan Keluarga Alumni Notariat Universitas Padjadjaran (Ikano Unpad) pada Jumat, (1/3) RSG Lantai 4 UNPAD, di Jalan Dipati Ukur No 35 Bandung. Kali ini, Dr. Cahyana yang pernah menjadi pejabat eselon satu ditiga kementrian ( Kementrian Otda, Kemendagri, Kominfo) ini mengangkat judul “AI dan Pendidikan Tinggi Ilmu Hukum”.
Menurut Cahyana, dalam konteks pendidikan hukum, artificial intelligence memang menawarkan berbagai keuntungan dalam hal efisiensi dan kemampuan analitik. Namun, sangat penting untuk menekankan pada mahasiswa hukum tentang perlunya kesadaran moral, etika, asas-asas kemanusiaan, logika humanis, dan refleksi kritis sebagai subjek utama manusia.
“Terutama saat berinteraksi dengan teknologi seperti Al. Selain memahami bahwa Al bisa memiliki “bias” tersendiri. Harus dipahami bahwa Al juga dapat mempengaruhi dan memperkaya pendidikan hukum. Untuk itu, pentingnya membangun pendekatan hukum yang menempatkan penggunanya kemanusiaan (manusia) dan menjunjung empati,” ujar Cahyana.
Menurut Cahayana, Al juga dapat mendukung profesional-profesional di bidang hukum dan pentingnya kesadaran etika, moral dalam pendidikan hukum. Misal: Alat bantu analisa kasus, simulasi persidangan, pelathan keterampilan kritis-analitis, chatbot tanya-jawab hukum, dan lain sebagainya.
“Beberapa Use-Case Al di Bidang Hukum seperti, analisis dan penelitian hukum misalnya, Al dapat digunakan untuk menganalisis dokumen hukum dan data kasus secara besar-besaran, membantu peneliti dan praktisi hukum menemukan preseden, hukum yang relevan, dan pola dalam kasus hukum,” terang Cahyana.
Selain itu, lanjut Cahyana Al juga dapat digunakan untuk mengotomatisasi pembuatan dokumen hukum seperti kontrak, surat wasiat, dan dokumen hukum lainnya, meningkatkan efisiensi dan akurasi.
“Al dapat pula digunakan untuk mendeteksi pola penipuan dan memantau kepatuhan terhadap regulasi hukum, terutama dalam sektor keuangan dan bisnis,” ujar lulusan Insitut Teknologi Bandung yang mengambil Doktor di bidang Cyber Security.
Namun menurut Cahyana Al juga bisa memiliki beberapa dampak sosial, seperti;
pengaruh Al terhadap lapangan kerja, kesenjangan sosial, dan kekuasaan. Untuk itu, pemanfaatan AI memerlukan pertimbangan etis yang melibatkan pemikiran kritis, antara lain seperti; penelitian, pengembangan, pengkajian, dan pererapan yang wajib dilaksanakan sesuai dengan kode etik bidang ilmu sebagaimana termuat pada UU No. 11 (2019) tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
“Prinsip Etika dalam Al dimaksud adalah berdasarkan pertimbangan moral, nilai, dan prinsip yang terkait dengan pengembangan, penggunaan, dan dampak Al serta isu etis seputar keputusan Al, penggunaan data pribadi, keadilan, privasi, keamanan, dan dampak sosial dari teknologi Al,” imbuh Cahyana.

Lantas bagaimana perkembangan dan tantangan artificial intelligence) di tahun 2024 ? Cahyana menilai tahun 2024 terjadi
kompetisi yang tinggi dan menunjukkan betapa cepatnya AI berkembang dan bagaimana hal ini akan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan kita, termasuk hukum, pendidikan, dan industri kreatif.
“Maka sebagai praktisi hukum, penting untuk menyadari dan memahami perkembangan ini untuk dapat beradaptasi dan memanfaatkan Al secara etis dan efektif dalam praktik hukum,” ujar Cahyana mengakhiri paparannya (Pramono)