BINCANG HUKUM KE PPAT – AN BERSAMA SAHABAT HERLINA

Semarang, Notarynews.id. Antispasi timbulnya persoalan hukum dalam praktek pelakasaaan jabatan PPAT memang semestinya dilakukan sejak dini. Jabatan ini merupakan perpaduan antara menuntut kematangan antara teori dan praktik dalam tataran yang ideal. Bisa jadi antara teori dan praktik kadang kala sejalan atau terkadang tidak saling sejalan. Permasalahan hukum dalam praktek PPAT sehari – hari yang dihadapi dalam praktek merupakan hal menarik untuk selalu dibahas karena dalam perkembangannya yang selalu berbeda-beda.

Untuk itu, pada Rabu, 6 Oktober 2021, Sahabat Herlina Jawa Tengah, menggelar webinar biincang-bincang Hukum, dengan mengusung tema besar “Aneka Permasalahan PPAT Dalam Tugas Jabatan dan Solusinya” dan dihadirkan sebagi narasumber Alwesius, SH., M.Kn (MPPP PPAT) dan Zaky Tuanaya, SH (MPPD PPAT Kabupaten Demak) dengan moderator Yulistya Adhi Nugraha. Acara dimulai pada pagi pukul 09.00 dan berakhir pada siang pukul 12.00.

Achmad Natsir
Achmad Natsir

Ketua Penyelenggara Bincang Hukum Ke PPAT an, Ahmah Natsir, SH kepada Notary menerangkan bahwa acara webinar kali ini merupakan rangkaian bincang hukum yang pertama dari tiga agenda yang sedianya diselengarakan oleh “Sahabat Herlina”. Tujuannnya, meningkatkan keilmuan dan berbagi pengalaman dan memberikan sinyal atau rambu-rambu sebagai bekal dalam menjalankan tugas jabatan PPAT, sehingga rekan-rekan PPAT di Jawa Tengah selalu mendapatkan ilmu ter-update.

“Agenda kedua akan dilaksanakan pada Rabu 13 Oktober 2021, dengan narasumber Dr. Habib Adjie, SH, M. M. Hum,” imbuh pria yang akrab disapa Natsir ini.

Zaky Matuanaya. SH

Zaky Tuanaya, SH (MPPD PPAT Kabupaten Demak), dalam paparannya mengungkapakan PPAT akhir-akhir ini kerap kali dipermasalahkan karena akta autentik yang dibuatnya terindikasi mengandung unsur-unsur tindak pidana, hal ini disebabkan karena kurang kehati-hatian rekan-rekan terhadap para pihak yang menghadap membuat akta autentik yang sering mengambil kesempatan demi keuntungannya sendiri dengan cara melakukan kejahatan seperti memberikan surat palsu dan keterangan palsu kedalam akta yang dibuat oleh PPAT.

Bicara soal pelaksanaan jabatan PPAT, lanjut Zaki, tentunya berkaitan erat dengan luasnya daerah kerja PPAT, yang dikenal adanya perluasan daerah kerja, namun hal ini terbatas hanya untuk pembuatan tiga macam Akta dimana salah satu bidang tanah yang merupakan obyek pembuatan akta berada di dalam daerah kerjanya.

Menurut Zaki ada tiga macam akta PPAT yang dibuat oleh PPAT di luar daerah kerjanya asal salah satu wilayah kerjanya merupakan darah kerja PPAT yang bersangkutan. Akta-akta tersebut adalah akta tukar menukar, akta pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng), dan akta pembagian hak bersama (APHB).

Seperti misal, Saya ambil contoh kecil saja, ada pertanyaan datang rekan PPAT Demak, bolehkah dalam satu Akta PPAT berisikan lebih dari satu objek perbuatan hukum untuk Akta Tukar Menukar, APHB dan Akta Inbreng?

Ditegaskan Zaki, bahwa untuk ketiga macam akta tersebut di atas berlaku ketentuan pasal 4 ayat (2) PP nomor 37 tahun 1998 yang berbunyi : “Akta Tukar Menukar, Akta Pemasukan ke dalam Perusahaan, dan Akta Pembagian Hak Bersama menganai beberapa hak atas tanah dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang tidak semuanya terletak di dalam daerah kerja seseorang PPAT dapat dibuat oleh PPAT yang daerah kerjanya meliputi salah satu bidang tanah atau Satuan Rumah Susun yang haknya menjadi obyek perbuatan hukum dalam akta”.

Saya ambil contoh: Untuk pembuatan Akta Tukar Menukar atas sebidang tanah yang berada di Kabupaten Demak dengan sebidang tanah yang berada di Kabupaten Semarang, maka PPAT yang berwenang untuk membuat Akta Tukar Menukar tersebut adalah salah satu dari PPAT yang daerah kerjanya Kabupaten Demak atau PPAT yang daerah kerjanya Kabupaten Semarang. Untuk pembuatan Akta Pemasukan ke dalam Perusahaan (inbreng) dimana· hak atas tanah yang akan di-inbreng-kan ada 3 bidang yaitu terletak di Kota Semarang, Kota Yogyakarta dan Kabupaten Demak , maka PPAT yang boleh membuatkan Akta Pemasukan ke dalam Perusahaan hanyalah salah satu dari PPAT yang daerah kerjanya Kota Semarang, atau PPAT yang daerah kerjanya Kota Yogyakarta atau PPAT yang daerah kerjanya Kabupaten Demak.

Untuk pembuatan APHB atas tiga bidang hak atas tanah yang masing-masing· terletak di Kabupaten Temanggung, Kabupaten Sukoharjo dan Kota Semarang, maka PPAT yang boleh membuat akta APHB tersebut hanyalah salah satu dari PPAT yang daerah kerjanya Kabupaten temanggung atau PPAT yang daerah kerjanya Kabupaten Sukoharjo atau PPAT yang daerah kerjanya Kota Semarang.

Kewenangan PPAT untuk membuat akta atas perluasan wilayah yang dimaksud diatas hanya dapat dibuat oleh PPAT bila hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang merupakan obyek pembuatan akta terdiri dari dua bidang tanah atau lebih dan salah satu bidang tanah tersebut terletak dalam wilayah kerja PPAT.

“Dari paparan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa PPAT dapat membuat ketiga akta tersebut diatas untuk objek yang ada didalam wilayah kerjannya dan objek yang berada diluar wilayah kerjanya. Dengan demikian dimungkinkan diperbolehkan dalam satu akta berisi lebih dari satu objek Perbuatan Hukum, “ terang Anggota MPD Demak ini.

“Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka dalam rangka menghindari terjadinya pembayaran pajak ganda terutama berkaitan dengan pembuatan Akta Pembagian hak bersama, maka perlu untuk ketentuan tersebut diatas direalisasikan atau diterapkan dalam praktek PPAT. Hal mana akan menghindari terjadinya pembayaran pajak ganda,” imbuh Zaki Tuanaya mengakhiri paparannya.

Alwesius. SH. MKn

Sesungguhnya, terang Anggota Majelis Pembinaan dan Pengawas PPAT (MP3) Pusat, Alwesius, SH., M.Kn, Jabatan PPAT, menurut pendapat dia sebagi praktisi, bisa beresiko juga, jika dalam pelaksanaan jabatannya rekan-rekan tidak taat kepada Permen, Peraturan Pemerintah, Kode Etik dan peraturan lainnya serta kewajiban PPAT dalam menjalankan jabatannya dengan cara secara seksama dan tidak memihak.

Alwesius kepada rekan-rekan peserta webinar yang jumlahnya lebih dari 400 PPAT itu, mengingatkan agar dalam pelaksanaan tugas jabatan PPAT untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam proses pembuatan akta autentik, mengingat seringnya terjadi permasalahan hukum pada saat pembuatan akta PPAT karena terdapat pihak-pihak yang melakukan kejahatan seperti memberikan surat palsu dan keterangan palsu kedalam akta yang dibuat PPAT.

Ditegaskan Alwesius, Pasal 22 Peraturan Jabatan PPAT, Akta PPAT harus dibacakan atau dijelaskan isinya kepada para pihak dengan dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi sebelum ditandatangani seketika itu juga oleh para pihak,saksi-saksi dan PPAT. Pembuatan akta, lanjut Alwesius tanpa kehadiran, para pihak atau akta tidak dibacakan merupakan “pelanggaran berat” sebagaimana dijelaslan dalam Penjelasan Pasal 10 Peraturan Jabatan PPAT.

Sehingga untuk mencegah terjadinya kejahatan-kejahatan yang dapat menjerumuskan PPAT, maka harus berpedoman pada Peraturan Jabatan PPAT. Ada dua hal yang memang mesti di jadikan pijakan yakni, pertama yaitu prinsip kehati-hatian PPAT dalam proses pembuatan akta dan kedua harus mengantisipasi sejak dini akibat hukum terhadap akta PPAT yang dibuat berdasarkan surat palsu dan keterangan palsu.

Dalam membuat akta ada kallanya penjual atau pembeli tidak dapat hadir saat pelaksanaan penandatanganan akta pengalihan. Dalam keadaan seperti ini maka diperlukan surat kuasa. Dalam hal bagaimana surat kuasa ini dibuat? Dalam praktek jual beli tanah ada dikenal adanya kuasa menjual. Lalu bagaimana, sebenarnya boleh atau tidak?

Menurut pendapat Alwesius boleh-boleh saja, adanya kuaasa menjual asalakan dibuat dengan kata-kata tegas dimana pada Pasal 1796 KUHPerdata, untuk jual beli tidak boleh menggunakan kuasa umum, kuasa umum hanya untuk tindakan pengurusan saja.

Maka untuk itu kuasa untuk menjual tidak boleh bersifat “Mutlak” sebagaiamana ditegaskan Alwesisu mengutip Pasal 39 PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah antara lain menyebutkan : PPAT bisa menolak untuk membuat akta jika : tidak diserahkan sertipikat asli (untuk tanah yang sudah bersertipikat). Salah satu atau para pihak yang akan melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan atau salah satu saksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 (tiga puluh delapan) tidak berhak atau tidak memenuhi syarat untuk bertindak demikian.

Untuk itu, ditegaskan Alwesius, pelarangan penggunaan kuasa mutlak harus ditetapkan secara bijaksana karena pada dasarnya pembuatan Kuasa Mutlak menjadi penting dan dirasa harus dibuatkan misalnya dalam hal seseorang sudah melunasi semua harga dan kewajibannya kepada penjual namun pada saat pelunasan tersebut belum dapat dibuatkan Akta Jual Belinya sehingga harus dibuatkan lebih dahulu Akta Perikatan Jual Beli (yang didalamnya memuat Kuasa Menjual dari penjual kepada pembeli) pada kasus yang demikian ini sudah sepantasnya pembeli mendapat kuasa mutlak dari penjual untuk dapat melakukan segala hal yang dapat dilakukan oleh penjual termasuk disini adalah menjual kepada pembeli yang tercantum dalam akta perikatan jual beli. Kuasa yang demikian ini sepantasnyalah diterima oleh Kantor Pertanahan.

Acara selanjutnya, kemudian di teruskan dengan tanya jawab tentang SKMHT, APHT, dan permasalah hukum lain yang biasa terjadi dalam praktek ke PPAT –an yang berakhir pada pukul 12.00 siang. ***

Releated Posts

Follow Us Social Media

ADVERTISMENT

Are You Ready to Explore the Renewed JupiterX with Advanced User Experience?

Trending Posts

Recent Posts

ADVERTISMENT