Skip to content

Beresiko PPJB Dijadikan Jaminan Bank!

(Bali – Notarynews) Problematika hukum dalam praktek Notaris terkait dengan PPJB. Pertanyaan mengemuka di kalangan Notaris – PPAT dan menjadi perbincangan menarik siang ini. Pertanyaannya, apakah Perikatan Perjanjian Jual Beli (PPJB) dapat dijadikan sebagai jaminan hutang bank? Lantas apa sandaran Notaris membuat PPJB hak atas tanah agar tidak melanggar aturan. Demikian beberapa pertanyaan yang terkuak dari webinar yang diselenggarakan oleh Indonesia Notary Club (INC) pada Sabtu (16/4) pukul 10.00 sampai dengan pukul 12.00 wib, yang mengangkat tema besar “Dapatkah PPJB Sebagai Dasar Jaminan Hutang ke Bank?”.

Liza Prihandini, SH, M. Kn
Liza Prihandini, SH, M. Kn

Webinar di buka oleh Dr. M. Hafidh., SH, M.Kn dan selanjutnya acara di pandu oleh Dosen Magister Kenotariatan, Universitas Indonesia, Liza Prihandini SH M.Kn

Dr. I. Made Pria Dharsana, S.H, M. Hum, dala kesempatan pertamanya menilai apabila PPJB dijadikan sebagai jaminan utang, maka dapat beresiko terhadap kreditur yang dalam hal ini bank, karena obyek yang dijadikan sebagai jaminan masih bersifat menggantung. Dalam artian, belum pasti kepemilikannya sebelum diterbitkannya AJB. Resiko terhadap kreditur yang dapat dimungkinkan terjadi, yaitu kreditur hanya berstatus sebagai kreditur konkuren.

Dr. I. Made Pria Dharsana. S.H. M. Hum
Dr. I. Made Pria Dharsana. S.H. M. Hum

Pertimbangan ini menurut Dosen Notariat Universitas Warmadewa, Bali ini, bahwa kedudukan kreditur konkuren, dalam hal terjadinya kepailitan merupakan kreditur yang tidak memiliki kedudukan utama dalam pembayaran utang oleh debitor karena kreditur konkuren tidak memegang hak jaminan atau obyek kebendaan sehingga haknya untuk mendapatkan pelunasan utang adalah paling terakhir setelah pelunasan terhadap kreditur-kreditur utama lainnya (kreditur separatis dan kreditur preferen).

Memang dalam prakteknya, diungkapkan Notaris – PPAT Kabupaten Badung, Bali ini, bank hanya dapat menerima objek berupa tanah dan bangunan yang dapat dibebani hak tanggungan. Tanah dan bangunan yang akan dijadikan sebagai jaminan harus berstatus sebagai hak milik, hak guna usaha atau hak guna bangunan. Dan PPJB, hanya merupakan bentuk kesepakatan yang belum berstatus sebagai hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan, sehingga tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan.

Selanjutnya perlu dicermati, lanjut Made Pria, bahwa beberapa bank memiliki ketentuan internal tersendiri mengenai penjaminan dengan dasar PPJB atas KPR. Tetapi berdasarkan best practice, apabila PPJB tersebut ingin dijadikan jaminan atas KPR, maka Bank memperbolehkan hal tersebut dengan syarat bahwa KPR tersebut untuk memfasilitasi pembelian rumah baru (KPR Primary) serta khusus untuk pembelian melalui developer rekanan dari Bank tersebut. Dengan pertimbangan bahwa proses jual beli rumah baru akan memerlukan proses yang tidak singkat sampai dengan terbitnya sertifikat atas rumah tersebut.

“Artinya apa, itu bisa dilihat dari segi aspek developer rekanan, dikarenakan apabila terjadi resiko hukum pada Bank terkait dengan jaminan yang masih berupa PPJB tersebut, Bank dapat melakukan gugatan dan atau tuntutan hukum kepada developer berdasarkan perjanjian kerja sama rekanan antara Bank dan developer. Dan untuk pembelian bukan rumah baru (KPR Secondary), maka saran kami agunan yang dijaminkan tetap berupa bangunan yang telah selesai proses Akta Jual Beli-nya dan telah diterbitkan sertifikat atas tanah tersebut,” tegas Made Pria.

Namun begitu, Made Pria mengingatkan agar dalam membuat akta PPJB Notaris bersandar pada ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN yang memberikan kewenangan kepada Notaris untuk membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan. Pendapat Saya ini tidak hendak menguji apakah ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN tersebut bertentangan dengan norma lainnya yang mengatur tentang pertanahan, sehingga keberadaan Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN harus difahami sedemikian adanya sebagai dasar bagi Notaris untuk membuat akta PPJB-HAT dan secara normatif diterima sedemikian rupa sebagai norma yang berlaku sebagai hukum positif.

Selanjutnya, jika bank sebagai kreditur memberikan kepada debitur tentunya apabila menggunakan jaminan PPJB tentu harus dibuatkan akta jaminan berupa ‘pengalihn jaminan dan kuasa’ dengan akta Notaris yang isinya merupakan kesepakatan para pihak.

“Tentu itu harus dengan pertimbangan dan penilaian bank, pastinya dengan pertimbangan secara internal bank yang kuat dengan segala resikonya. Dan harus  dipastikan juga bahwa Sertipikat jaminan tersebut sudah atas nama developer atau pengembang yang sedang dalam proses pemecahan di kantor pertanahan,’ imbuh Made Pria.

Dr. Udin Narsudin. SH, M.Hum
Dr. Udin Narsudin. SH, M.Hum

Selanjutnya pada kesempatan kedua, Dr.Udin Narsudin, SH, M.Hum juga mengingatkan sebelum mengikatkan pengikatan jual beli terkait dengn obyek tanahnya belum jelas kepemilikan hak atas tanahnya, apalagi pengembang tersebut selaku penjual belum mendapatkan SKPH (Surat Keputusan Pemberian Hak) yabg dikeluarkan oleh Badan Pertanyaan Nasional (BPN), maka perlu diperhatikan ketentuan sebagai berikut : “Pasal 42 ayat (2) huruf b, UU No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman menyebutkan, perjanjian jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah memenuhi persyaratan kepastian atas status kepemilikan tanah’.

Tanpa adanya, kepastian status kepemilikan tanah, menurut Udin, siapapun. tidak dapat melakukan penjualan atas tanah, demikian pula dengan penjualan rumah diatas tanah tersebut.

Selanjutnya, dalam kaitannya dengan pengikatan  jaminan atas objek tersebut, maka harus diingat asas spesialitet, bahwa hak tanggungan, hak fidusia, dan hipotek, hanya dapat dibebankan atas persil, atau atas barang-barang yang sudah terdaftar atas nm orang tertentu. Dalam kontekan hk atas tanah maka hak tanggungan hanya dibebankan pada hak atas tnya yang telah ada.  (PM)

 

Releated Posts

No comment yet, add your voice below!


Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *