Skip to content

Benarkah Ada Over Kriminalisasi Terhadap Pelaksanaan UUJN?

(JAKARTA – NOTARYNEWS.ID) Diskusi hukum siang itu berlangsung hanya dua jam. Tapi jelang pukul 12.30 sebelum acara dibuka jumlah peserta sudah membludak di ruang virtual dengan jumlah peserta mencapai 426 peserta. Sepertinya, Notaris meriang bahkah alergi mendengar kata ‘Kriminalisasi”, terlebih saat mendengar berita buruk, kritikan atau justru berita dangkal yang menyudutkan jabatan terhormat Notaris. Maka tak heran diskusi hukum yang diangkat oleh Inisiator Kelompencapir, Dr. Dewi Tenty, S.H., M.H.,M.Kn yang mengusung tema “Benarkah Ada Over Kriminalisasi Terhadap Pelaksanaan Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN)” kali  ini di ikuti banyak rekan.

Sebenarnya tak sekadar tema webinar saja yang menarik banyak rekan untuk memadati ruang virtual diskusi hukum siang itu, karena inisiator acara ini menghadirkan dua pakar hukum pidana yaitu : Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran, (Unpad) Bandung  Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LLM dan Guru Besar Hukum Pidana Universitas gajah Mada (UGM) Jogyakarta. Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto, S.H., M.Hum.

Dr. I. Made Pria Dharsana. SH. M. Hum

Beberapa data menarik disampaikan anggota Kelompencapir Dosen Notariat Fakultas Hukum Universitas Warmadewa, Dr. I. Made Pria Dharsana, SH, M. Hum sebelum acara dimulai. Dia mengungkapkan bahwa beberapa tahun belakangan seringkali terjadi kriminaliasasi terhadap jabatan Notaris – PPAT dalam menjalankan tugas jabatannya, indikasinya para penegak hukum selalu mempermasalahkan atau ketidakpercayaan terhadap akta yang dibuat Notaris.

“Sejumlah Notaris – PPAT di bebersps penjuru Nusantara merasa dirinya di kriminlaisasi  sebut saja diantaranya SAS (Balikpapan), KNM (Kabupaten Badung, Bali), MH (Jakarta Timur), TP (Papua), EA (Padang), ET dari Jakarta dan ada beberapa rekan lainnya,” terang Made Pria singkat.

Dr. Dewy Tenty. SH. MH. MKn

Inisiator Kelompencapir, Dr. Dewi Tenty, S.H., M.H.,M.Kn dalam prolognya mengawali pembukaan acara menegaskan bahwa semakin banyak kasus kriminaliasasi yang terjadi pada Notaris, dank kasus rekan Ketut Neli merupakan ‘fenomena gunung es’  yang apapbila kita telesuri maka akan semakin banyak kasus serupa.

Menurut Dewi Tenty, hal ini terjadi salah satunya dalah karena UUJN sendiri sebagai undang-undnag yang memayungi Notaris sebagai pejabat umum dianggap mengatur terlalu rinci tentang kewajiban dan larangan terhadap Notaris sehingga menjadi boomerang bagi Notaris sendiri.

Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto. SH. M. Hum (foto: ist) 

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gajah Mada (UGM) Jogyakarta. Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto, S.H., M.Hum dalam paparannya menyampaikan kriminalisasi sering ditujukan dalam dua pengertian yang berbeda, yaitu penetapan perbuatan yang semula bukan merupakan tindak pidana menjadi tindak pidana  (formulasi delik) dan penetapan seseorang sebagai tersangka atau  terdakwa  atas perbuatan yang tidak dilakukannya.

Dari sisi substansi, menurut Prof Marcus, tidak ada ketentuan pidana dalam UU Jabatan Notaris, sehingga kriminalisasi secara potensial bisa terjadi berdasarkan UU lain; Untuk kepentingan penegakan hukum, Hukum Acara Pidana telah dimulai sejak adanya sangkaan tindak pidana. Sementara dari sisi penegakan hukum Notaris tidak dapat dipastikan sebagai tersangka, namun jika akta notaris ada indikasi tindak pidana yang dilakukan oleh penghadap, dapat dipastikan akan diminta sebagai saksi.

Dalam perkara perdata, lanjut Prof Marcus, akta otentik merupakan alat yang bersifat mengikat dan memaksa. Artinya Hakim harus menganggap segala peristiwa hukum yang dinyatakan dalam akta otentik adalah benar, kecuali ada alat bukti lain yang dapat menghilangkan kekuatan pembuktian akta ini.

“Akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian sempurna sehingga jika ada orang atau pihak yang menilai atau menyatakan bahwa akta tersebut tidak benar, maka/pihak yang menilai atau menyatakan tersebut wajib membuktikan atau pernyataan sesuai dengan aturan hukum,” tegas Guru Besar Hukum Pidana UGM ini.

Ditegaskan Prof Marcus, Notaris tidak dapat diwajibkan untuk menjamin bahwa apa yang dinyatakan para penghadap adalah benar, tidak ada kewajiban bagi Notaris untuk menyelidiki secara materil apa-apa (hal-hal) yang dikemukakan oleh penghadap di hadapan Notaris tersebut” sebagai mana di sebutkan pada Putusan Mahkamah Agung Nomor:702K/sip/1973, 5 Sepetember 1973.

Prof Marcus menilai, di dalam praktik, jika sebuah akta Notaris tersangkut dalam sebuah perkara pidana dan akta Notaris tersebut diindikasi sebagai awal atau penunjuk terjadinya perkara pidana,  Notaris berurusan baik dengan penyidik, penuntut umum maupun hakim dalam proses peradilan pidana. Dan penyidik atau penuntut umum tidak menilai akta notaris sebagai hal yang “apa adanya “, tetapi akan mencari “ada apa” dibalik “apa adanya” atau mencari kebenaran bahwa penghadap yang datang ke Notaris telah “ benar berkata” dan dituangkan dalam bentuk akta otentik.

“Jika terbukti penghadap tidak “berkata benar” atau “ada yang tidak benar” sehingga akta  menjadi “tidak benar” , maka penyidik atau penuntut umum  “dapat” menggiring Notaris sebagai pihak “menyuruh melakukan” atau “membantu melakukan” atau “turut serta melakukan” dan ditetapkan  menjadi tersangka,” terang Prof Marcus.

Prof. Dr. Romli Atmasasmita. SH. LLm

Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LLM, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran, (Unpad) Bandung mengatakan untuk menentukan  adanya kesalahan subjek hukum harus memenuhi beberapa unsur, antara lain : pertama, adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat, kedua. hubungan batin antara si pembuat dan perbuatannya yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa), dan ketiga, tidak adanya alasan penghapus kesalahan atau tidak adanya alasan pemaaf.  (Adanya Unsur Sifat Melawan Hukum Yang Negatif –Yurisprodensi  MA Perkara Sisminbakum, Macroes Efendi Dan Otjo Danaatmadja).

Ketiga unsur ini menurut Prof Romli merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain, dimana unsur yang satu bergantung pada unsur yang lain. Asas ultimum remedium, dalam hukum pidana hendaknya di jadikan upaya terakhir dalam penegakan hukum. Dan  Notaris sebagai pejabat umum yang harus memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat berdasarkan UUJN seharusnya pelaksanaan pekerjaannya lebih ke arah perdata, atau Administrasi (penyelah gunaan wewenang) bukan kepada hukum pidana.

Menurut Prof Romli, perlunya di terapkannya restoratif justice dimana merupakan alternative dalam hukum pidana yang bertujuan utk membangun peradilan pidana yang peka tentang masalah korban bukan penekanan pada hukuman.

Selain itu, lanjut Guru Besar Pidana Unpad menghimbau kepada perkumpualan Ikatan Notaris Indonesia untuk menjaga sinergitas anatara pengurus organisasi dengan Majelis Pengawas Majelis Kehormatan Notaris untuk mengoptimalkan pembinaan dan perlindungan kepada anggota.

Menurut Prof Romli, Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) sebagai payung hukum bagi notaris hendaknya dikaji kembali dengan merevisi pasal-pasal yang rentan tehadap unsure-unsur pidana. Dan UUJN mengamanatkan notaris dengan fungsi sosialnya yaitu memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta kepada masyarakat.

“Hendaknya fungsi sosial ini tidak di salah artikan dengan menjadikan Notaris kedalam “twilight crime” karena akan menjadi kan Notaris masuk ke dalam meeting of mind (menyuruh melakukan atau membantu melakukan). Untuk itu, perlunya dibuat suatu pemahaman antara PP INI dengan lembaga hukum lain seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman untuk menyamakan presepsi tugas dan wewenang Notaris sebagai pejabat umum,” ujar Prof Romli.

Kiat-kiat Notaris menghadapi Pemanggilan Penyidik 

Dalam lima tahun terakhir, utamanya tahun 2021 sejumlah Notaris dipanggil polisi untuk dimintai keterangan, baik sebagai saksi sebagai turut tergugat, maupun tersangka. Seperti diantaranya Notaris berinisial F yang terkait dengan kasus dengan keluarga artis Nirina Zubir. Kemudian kasus  Wakil Bupati Badung yang menyeret Notaris Ni Ketut Neli bersentuhan dengan hukum dan harus berjuang menuntut keadilan hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya dia diputus bebas murni. Kasus Ni Ketut Neli ini bisa disebut sebagai fenomena gunung es yang kemudian menguak beberapa kasus lain di daerah.

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gajah Mada (UGM) Jogyakarta. Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto, S.H., M.Hum dalam diskusi hukum kali menyampaikan beberapa kiat untuk meminimalkan resiko pemanggilan penyidik: pertama, lihat identitas yang dipanggil, apakah itu benar identitas anda, untuk menghindarkan diri dari salah panggil. Kedua, lihat status panggilan, status panggilan ada dua: sebagai saksi atau tersangka.

“Kalau saudara Notaris, apakah pemanggilan itu telah mendapat persetujuan Majelis Kehormatan Notaris (MKN) apa belum?,” ujar Prof Marcus.

Lalu, lihat dalam kasus apa anda dipanggil;  untuk mempersiapkan informasi hal  yang dibutuhkan. Dan, lihat kepada siapa anda harus menghadap, tanggal berapa dan jam berapa?.

“Bila penyidik menyediakan nomor telepon, bisa dihubungi, anda dapat menghubungi penyidik tersebut sekaligus dan menanyakan gambaran kasusnya ataupun koordinasi lebih jauh bila anda menginginkan perubahan waktu atau hal-hal lainnya. Selanjutnya, temui penyidik pada tempat dan waktu yang ditentukan, anda boleh ditemani kerabat atau siapapun  (pengacara) untuk mendampingi anda selama anda menghadapi panggilan,” terang Prof Marcus.

Releated Posts

No comment yet, add your voice below!


Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *