(Semarang – Notarynews) Pengurus Daerah Kota Semarang Ikatan Notaris Indonesia (Pengda Kota Semarang INI) menyelenggarakan acara “bedah buku” dengan judul buku “Perlindungan Hukum Para Pihak Terhadap Perjanjian Pemisahan Harta Pasca Perkawinan dengan penulis Dr. Sri Subekti, SH, MM, SpN, MH di Hotel Grandia Semarang, Jumat (17/12). Pembahasan buku menghadirkan tiga pembahas antara lain; Prof. Dr. Liliana Tedjosaputro, SH., MHum (Dosen FH Untag Semarang, Prof. Dr. Edy Lisdiyono, SH., MH., MM (Dekan FH UNTAG Semarang) dan Dr. I. Made Pria Dharsana. SH. M. Hum (Dosen Notariat FH Unwar, Bali)
Sebelum acara bedah buku dimulai dilakukan Penandatanganan MoU Antara Pengurus Daerah Kota Semarang Ikatan Notaris Indonesia Bekerjasama Program Studi Hukum Program Doktor FH UNTAG Semarang. Acara penandatanganan MoU dilakukan oleh Dr. Muhammad Hafidh, SH., MKn selaku Ketua Pengda Kata Semarang dan Prof. Dr. Sarsintorini Putra, SH., MH selaku Ketua PSHPD Untag Semarang.
Ketua Pengda Kota INI foto bersama Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Semarang dan Kaprodi Program Doktor Ilmu Hukum dan Dekan FH
Selanjutnya, mengawali acara bedah buku, Dr. Sri Subekti, SH, MM, SpN, MH sebagi penulis dalam paparannya mengungkapkan berdasarkan konstruksi perlindungan hukum terhadap pemidahan harta pasca perkawinan, setelah terbitnya Putusan MK Nomor 69/PUU/XIII/2015 berdampak besar terhadap perkembangan hukum perkawinan dan keemilikan kebendaan di Indonesia.
Sebekti berpendapat gugatan ke Mahkamah Konstitusi yang awalnya hanya menuntut hak WNI pelaku perkawinan campur untuk dapat memiliki hak kebendaan atau properti sama seperti WNI yang lain, juga ternyata menyebabkan Indonesia mengakui adanya perjanjian perkawinan setelah dilangsungkannya perkawinan.
Meski putusan MK sudah final dan mengikat umum teatapi dalam pelaksanaannnya yang penulis temui belum bisa menjalankan tugas Jabtan Notaris dengan maksimal, khsusunya dalam membuat akta perjanjian pemisahan harta masih mengalamai kendala dalam praktik jabatan Notaris . dalam Undang-Undang Perkwainan yang yang dibuat pasca perkawianan sesuai frase Pasal 29 ayat (1) hingga (4) sesuai amar putusan MK/69/PUUXIII/2015 belum masuk Undang-Undang Perkawianan.
Idealnya menurut Subekti, materi putusan MK tersebut dijadikan rujukan dalam Undang-Undang Perkawinan. Pertanyaannya, mengapa putusan MK 69/PUUXIII/2015 tidak diamassukan dala Udang-Undang Perkawinan, tapi justru Undang-Undang Perkawinan hanya memasukan batas minimal usia perkawinan (19 tahun ) ?
Menurut Subekti, Notaris memerelukan produk hukum yang dibuat oleh lembaga legislator untuk memberikan penguatan dalam menjalankan jabatanya. “Penguatan dalam membuat akta autentik berdasarkan Putusan MK 69/PUUXIII/2015 mestinya sudah bisa dimasukan dalam Undang-Undang Perkawina, namun mesti menunggu aturan pelaksnaannya.
Notaris – PPAT Kota Semarang ini menilai, dalam praktiknya sering kali Notaris menoolak untuk membuatkan perjanjian perkawinan hal ini disebabkan karena ketiadaktahuan Notaris bahwa sekarang ini diperbolehkan tapi karena belum ada aturan pelaksanaannya. Ketika akan melaporkan atau mencatatkan perjanjian tersebut di KUA atau Kantor Catatan Sipil, kenyataannnya masih ada yang di tolak.
“Pasangan suami istri yang akan membuat perjanjian perkawinan dapat meminta dapat meminta penasehat hukum atau advokat untuk memberikan pertimbangan hukum dalam bentuk legal opinion atau pendapat hukum. Advokat juga dapat membuat draf perjanjian tersebut untuk kemudian dibuatkan perjanjian perkawinan dalam bentuk akta Notaris. Setelah akta NOtaris dibuat, maka perjanjian perkawinan tersebut wajib dicatatkan oleh pegawai pencatata perkawinan,” terang Subekti.
Notaris –PPAT Kota Semarang ini berpendapat bahwa pada dasarnya, perlindungan hukum yang diberikan dalam pengaturan perjanjian perkawinan terhadap kepentingan pihak ketiga memang lebih bersifat represif. Namun dengan adanya perbandingan antar pra dengan pasca Putusan MK, terlihat bahwa pengaturan perjanjian perkawinan terdahulu mempunyai sifat perlindungan hukum preventif.
Dengan tidak dimungkinkannya pembuatan perjanjian perkawinan oleh pasangan setelah dilangsungkannya perkawinan, maka waktu keberlakuan perjanjian perkawinan yang pasti, dan tidak dibolehkannya pencabutan atas suatu perjanjian perkawinan, memberikan celah yang lebih kecil untuk terjadinya permasalahan oleh karena kealpaan atau bahkan itikad buruk dari pasangan suami-istri.
Menurut Subekti, Notaris adalah jabatan yang pada tafsiran baru Putusan MK ditambahkan pada ayat (1). Notaris memang telah memiliki peran dalam perjanjian perkawinan baik sebelum Putusan MK, dengan dasar Pasal 147 KUHPerdata. Namun pasca Putusan MK, ditegaskan kembali bahwa dalam hal perjanjian perkawinan pejabat Notaris mempunyai peranan penting. Hal ini menyebabkan kalangan pejabat notaris memberikan perhatian lebih kepada akibat hukum daripada Putusan MK, terutama dalam kasus pasangan yang hendak membuat perjanjian perkawinan saat masih terikat perkawinan. Tertuang dalam ayat (1) pada Pasal 16 huruf a UUJN bahwa, “notaris wajib menjaga kepentingan para pihak yang terkait dalam perbuatan hukum.”
Selain itu, lanjut Subekti Notaris pada saat menjalankan tugasnya bersamaan harus mengedepankan prinsip kehati-hatian. Notaris perlu melakukan langkah perlindungan hukum preventif dalam membuat akta, guna melindungi dirinya sendiri dan juga para pihak dalam akta. Habib Adjie memberikan pendapatnya tentang bagaimana notaris sebaiknya bertindak dalam pembuatan perjanjian perkawinan pasca Putusan MK, dengan berdasarkan prinsip kehati-hatian tersebut. Selain untuk melindungi diri notaris untuk terlibat dari sengketa yang lahir di kemudian hari, pendapat ini juga berguna supaya kepentingan pihak ketiga terlindungi.
Hal-hal yang dimaksud perlu untuk diperhatikan seperti, meminta daftar inventarisasi harta yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan yang akan dicatumkan dalam akta; Ada pernyataan harta-harta tersebut tidak pernah ditransaksikan dengan cara dan bentuk apapun, untuk dan kepada siapapun. Pengaturan yang ada baik dalam KUHPerdata dan UU Perkawinan tentang perjanjian perkawinan menyatakan bahwa pembuatan perjanjian perkawinan hanya dapat dilakukan sebelum dan pada waktu perbuatan perkawinan dilakukan.
“Pasca adanya Putusan MK 69/PUU-XIII/2015, memberikan tafsiran baru menyebabkan perjanjian perkawinan juga dapat dibuat setelah berlangsungnya perkawinan, yang mana adalah sah selama tidak melanggar pengaturan dalam UU Perkawinan dan KUHPerdata,” ujar Subekti.
“Perlindungan kepentingan pihak ketiga dalam perjanjian perkawinan pasca Putusan MK 69/PUU-XIII/2015 lebih bersifat represif, karena identitas dan kepetingan daripada pihak ketiga tidak terlihat apabila tidak ada hubungan hukum antar dirinya dengan baik salah satu atau pasangan suami-istri. Kepentingan pihak ketiga yang terganggu juga baru terlihat ketika ada permasalahan yang terjadi antara para pihak, sehingga perlindungan hukum yang bersifat represif lebih efektif daripada perlindungan hukum preventif dalam penyelesaian kasus,” tegas Subekti.
Pembahas pertama, Prof. Dr. Liliana Tedjosaputro, SH., MHum (Dosen FH Untag Semarang) yang membahas dari sudut pandang “Perjanjian Kawin” menilai ada beberapa hal penting menarik dimana perjanjian Pra nikah atau prenuptial agreement memang belum cukup umum di Indonesia. Masih banyak orang yang menganggap bahwa perjanjian ini merupakan suatu hal yanag dianggap tabu. Sedikit masyarakat Indonesia masih kurang memahmi akan pentingnya melakukan perjanjian secara tertulis. Dan hanya bagi mereka yang mempelajari serta memahami terkait pentingnya membuat perjanjian secara tertulis.
Jika melihat fakta di lapangan, Prof Liliana mengamati masih banyak masyarakat Indonesia yang melakukan perjanjian secara lisan, meskipun perjanjian lisan tidak dilarang oleh KUH Perdata. Padahal semua permasalahan terkait harta kekayaan dan lainnya akan cepat selesai apabila sebelum pernikahan dilangsungkan ada kesepakatan antara kedua calon pasangan dalam sebuah perjanjian.
Terlepas dari kepercayaan individu, menurut Dosen Notariat Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Semarang ini, perjanjian pra-nikah sebenarnya lebih kepada perlindungan hukum bagi setiap masyarakat dari tuntutan yang mungkin muncul ketika terjadi perceraian antara suami dan istri atau terjadi perpisahan akibat kematian. Pada Pasal 29 Ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa pada waktu sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai Pencatat Perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut.
“Setiap harta yang kita bawa sebelum menikah walaupun akan bertambah tetap diatur. Hal yang terkait setelah menikah disebut harta bersama dan harus tetap diatur.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 memberikan politik hukum baru, di mana perjanjian perkawinan yang semula hanya dapat dibuat oleh calon suami dan calon istri sebelum perkawinan (prenuptial agreement), sekarang dapat dibuat oleh suami istri setelah perkawinan berlangsung. Mahkamah Konstitusi memberi tafsir konstitusional di mana pembuatan perjanjian perkawinan bisa disesuaikan dengan kebutuhan hukum masing-masing pasangan,” terang Prof Liliana.

Pembahas kedua yang membahas dari sudut pandang “Perjanjian Pada Umumnya” oleh Prof. Dr. Edy Lisdiyono, SH., MH., MM (Dekan FH UNTAG Semarang) dalam ulasannya mengatakan bahwa hasil putusan MK bukan hanya berlaku bagi para pihak pemohon akan tetapi berlaku bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Dalam ulasannya secara gamblang Prof Edy mengatakan bahwa ada yang menarik terkait dengan putusan MK dimana ada pertanyaan besar para pihak yang nantinya setelah mereka menikah lalu membuat perjanjian perkawinan.
Terdapat dua hal yang menjadi fokus bahasan yang disampaiakn oleh Prof Edy, yaitu Pemisahan Harta Benda dan Perjanjian Kawin (huwelijks voorwaarden). Perjanjian pra-nikah harus dibuat di hadapan akta notaris sebelum diberlangsungkan pernikahan bukan setelah perkawinan berlangsung sebelum ijab-qobul serta tidak boleh dilakukan perubahan dengan cara apa pun dan berlaku hingga perkawinan berakhir oleh perceraian ataupun kematian yang sifatnya mengikat.
Banyak aspek krusial dalam membuat perjanjian seperti Keterbukaan, Kerelaan, Objektif dan Notariil. Perjanjian pra-nikah dianggap penting, sehingga dibutuhkan untuk pembahasan lebih jauh. Merujuk pada Pasal 1320 KUH Perdata yang berisi tentang sahnya perjanjian.
Selanjutnya Prof Edy mengususlkan kepada penulis secara hukum agar untuk kesempurnaan bukunya perlunya dilakukan perubahan-perubahan agar buku ini semakin menarik dan sangat bermanfaat untuk masyarakat.
Dr. I. Made Pria Dharsana. SH. M. Hum
Pembahas ketiga, Dr. I Made Pria Dharsana, SH., M.Hum (Kooordinator Dewan Pakar PP INI) yang membahas dari sudut pandang “Dampak Perkawinan Campur Antara WNI dengan WNA Terhadap Status Hak Milik Atas Tanah setelah Berlakunya Keputusan MK No. 69/PUU/XII/2015 dan Perlindungan Hukum Bagi Pihak Pihak Ketiga”
Sebelum adanya putusan MK, menurut Made Pria, WNI yang menikah dengan WNA tidak bisa memiliki rumah berstatus hak milik atau hak guna bangunan karena terbentur aturan perjanjian perkawinan dan harta bersama. Ketentuan norma aquo membuat setiap WNI yang menikah dengan WNA selama tidak ada perjanjian pemisahan harta tidak bisa memiliki rumah berstatus HM atau HGB. Dan jika suatu hari terjadi perceraian atau keduanya, dipisahkan oleh kematian maka sudah menjadi keributan antara kedua belah pihak. Pada dasarnya akan membela serta melindungi hak dan kewajiban kedua belah pihak sebagai suami dan istri sehingga saat kita menikah tidak main – main.
Lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUUXIII/2015 menghasilkan tafsiran baru terhadap Pasal 29 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Singkatnya, isi amar putusan tersebut telah memberikan kebolehan kepada suami-istri yang terikat perkawinan untuk mengadakan perjanjian kawin. Dengan berlakunya tafsiran baru tersebut tanpa adanya aturan-aturan lain yang melengkapi menyebabkan kekaburan norma yang berkaitan dengan perjanjian perkawinan.
Atas dasar Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015, maka pengaturan yang ada pada Pasal 29 ayat (1), (3), dan (4) UU Perkawinan dimaknai: ayat (1), “Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.” ayat (3) “Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.”
“Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga.” Sebelum adanya Putusan MK tersebut, isi daripada Pasal 29 ayat (1) mengatur mengenai kapan pembuatan perjanjian seharusnya dilakukan yang mana lebih lanjut dijelaskan dengan, “pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis….”
Dan mengenai keberlakuannya disebut dalam ayat (3), “perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.” Namun dengan tafsiran baru pada ayat (1) dan (3), bisa dikatakan sekarang perjanjian kawin untuk dapat dibuat dan diberlakukan kapan saja oleh pasangan.
Lalu pada ayat (4) mengatur kemampuan untuk suatu perjanjian perkawinan dilakukan pengubahan atau pencabutan. Perjanjian perkawinan yang oleh para pihak telah dibuat dan dihsahkan di hadapan pejabat notaris adalah sah, sesuai dengan Pasal 147 KUHPerdata, juga Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan.
Namun jika perjanjian perkawinan hanya sampai pada pengesahan Notaris saja dan tidak didaftarkan kepada instansi penyelenggara, seperti Kantor Urusan Agama (KUA) atau Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil), isinya tidak mampu untuk dipaksakan kepada pihak ketiga.
Namun menurut perjanjian perkawinan itu tetap sah adanya, dan berdasarkan asas pacta sunt servanda, subjek hukum yang menjadi pihak dalam pembuatan perjanjian itu tetap terikat oleh ketentuan perjanjian. Tanpa didaftarkannya sebuah perjanjian menyebabkan nihilnya asas publisitas dari perjanjian itu sehingga pihak ketiga tidak dapat terikat ke dalam perjanjian perkawinan.
Ditegaskan Made Pria, tak ada satu peraturan yang undang-undang yang memaksa seseorang untuk kawin atau menikah, akan tetapi jika seorang telah melakukan perkawinan yang undang-undang dinamakan tindakan hukum atau perbuatan maka bagi orang-orang yang bersangkutan itu diletakan hak adan kewajiban yang diatur oleh Undang-Undang Perkawinan.
Dan buku ini menurut Made Pria perlu disempurnakan lagi agar bisa lebih lengkap lagi agar pembaca lembih terang lagi tentang sisi lain perkawinan campur karena ini roh dari gugatan.atas lahirnya Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015. Bicara soal perkawinan campuran bisa mulai dengan pasal 57 dalam Undang-Undang Perkawinan ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.
Janji kawin lanjut Made Pria, dalam perkawinan campuran itu jika dipandang dari sudut hukum tidak dapat dilansungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi. Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.
Selanjutnya, sebelum mengakhiri paparannya Dosen Notariat Warmadewa ini mengingatkan untuk mencermati Pasal 58, Undang-Undang Perkawinan, bahwa janji kawin tidak menimbulkan hak untuk menuntut di muka Hakim berlangsungnya perkawinan, juga tidak menimbulkan hak untuk menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga, akibat tidak dipenuhinya janji itu, semua persetujuan untuk ganti rugi dalam hal ini adalah batal.
Akan tetapi, lanjut Made Pria, jika pemberitahuan kawin ini telah diikuti oleh suatu pengumuman,, maka hal itu dapat menjadi dasar untuk menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga berdasarkan kerugian-kerugian yang nyata diderita oleh satu pihak atas barang-barangnya sebagai akibat dan penolakan pihak yang lain; dalam pada itu tak boleh diperhitungkan soal kehilangan keuntungan. Tuntutan ini lewat waktu dengan lampaunya waktu delapan belas bulan, terhitung dari pengumuman perkawinan itu. (PM)