Bagi Warisan, Sebaiknya Hibah atau Waris Yaa Pak Pria?

Tanya : 

Selamat sore Pak Made Prie, Saya Marlinda dari Kabupaten Gianyar, ingin berkonsultasi, Apa sih syarat-syarat hibah? Lalu, Agar tidak menyalahi pemberian hibah, misalnya jika calon Debitur SHM atas namanya sendiri karena hibah yang bukan orang tuanya dalam perkawinan kemudian istrinya meninggal, apakah perlu tanda tangan anak-anaknya dalam akad kredit untuk Hak Tanggungan ?

 Jawab :

Selamat Sore Mbak Marlinda, dari permasalahan yang mbak sampaikan secara singkat dapat disampaikan :

Jika menyangkut asas patrilineal maka pengalihan penjaminan apapun atas namanya tidak perlu persetujuan anak-anaknya;

Jika keluarga tersebut bukan orang pribumi atau orang tionghoa atau timur asing maka perlu dimintakan penetapan pengadilan untuk menentukan ahli waris dan pembagian warisan ketentuan hibah, bukan harta gono gini; istri meninggal; akan dijaminkan dan tentu dipasang hak tanggungan bank;

Maka sesuai dengan ketentuan perundang-udangan itu bukan jadi warisan; sehingga pemegang SHM dapat melepas/menjual/ menjaminkan atas SHM tersebut tanpa persetujuan anak-anak. Dan selanjutnya jika dilihat dari ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

Menurut Hukum Islam

Apabila dalam pertanyaan saudara, keluarga tersebut beragama Islam; dan kiblatnya adalah Hukum Perkawinan Islam dan Hukum Waris Islam yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (Selanjutnya disebut KHI), Menurut Pasal 87 KHI:

Harta Bawaan masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

Suami dan Istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqoh atau lainnya.

Apabila dianalisis lagi penyebutan dari KHI di atas, sebelumnya harus diketahui apakah suami istri yang bersangkutan memiliki perjanjian kawin atau tidak;

Apabila memiliki perjanjian kawin yang menentukan bahwa “harta yang didapat suami atau istri yang berasal dari hibah, warisan dan sejenisnya, maka menjadi hak istri pula”, apabila dalam perjanjian kawin menentukan hal seperti itu, maka Hak atas Tanah yang berasal dari Hibah tersebut menjadi hak dari mendiang istri juga dan apabila ingin dijaminkan, memerlukan persetujuan dari ahli waris lainnya seperti, anak hasil perkawinan dengan suami dan orang tua dari mendiang.

Apabila tidak memiliki perjanjian kawin, maka suami mengikuti sepenuhnya ketentuan dari KHI di atas, suami bisa menjaminkan Hak atas Tanah tersebut tanpa harus meminta persetujuan dari ahli waris lainnya, karena menurut Pasal 87 KHI di atas, harta yang berasal dari hibah adalah hak sepenuhnya dari suami.

Menurut Hukum Waris Perdata

Apabila dalam pertanyaan saudara, keluarga tersebut berasal dari keturunan Tionghoa atau WN Keturunan, Timur Asing ;

Menurut Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer): Sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan suami istri.

Namun, apabila harta tersebut berasal dari pewarisan atau hibah, disebutkan dalam Pasal 120 KUHPer:

– Berkenaan dengan soal keuntungan, maka harta bersama itu meliputi barang-barang bergerak dan barang tak bergerak suami isteri itu, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, juga barang-barang mereka peroleh secara cuma-cuma, kecuali bila dalam hal terakhir ini yang mewariskan atau menghibahkan menentukan kebalikannya dengan tegas.

Ketentuan dalam KUHPer hampir sama dengan yang disebutkan dalam KHI, yang dapat menentukan apakah harta hibah tersebut juga merupakan hak dari mendiang istri atau tidak adalah si pemberi Hibah, jadi apabila:

– Pemberi hibah menyatakan bahwa Hak atas Tanah itu juga menjadi bagian dari harta istrinya atau termasuk dalam percampuran harta, maka suami yang ingin menjaminkan Hak atas Tanah tersebut harus mendapat persetujuan dari Ahli Waris istrinya yaitu anak-anak hasil perkawinan mereka.

– Pemberi hibah tidak menyatakan apapun mengenai harta hibah tersebut, maka secara hukum Hak atas Tanah tersebut tidak termasuk hak dari mendiang istri. Jadi, suami tidak memerlukan persetujuan dari Ahli Waris istrinya yaitu anak-anak hasil perkawinan mereka.

Menurut Hukum Waris Adat

Apabila dalam pertanyaan saudara, keluarga tersebut termasuk dalam suku tertentu, kiblat hukum warisnya mengarah pada hukum waris adat yang berkaitan dengan UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Harta Perkawinan (UUP). Dalam Pasal 35 ayat (2) UUP, menentukan bahwa:

Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Sama hal nya seperti yang diatur dalam KHI, dan KUHPer. Harta yang didapat dari Hibah secara hukum tidak bisa dicampur ke dalam harta bersama kecuali ditentukan lain dengan dibuatnya Perjanjian Perkawinan.

Kesimpulan:

Jadi, secara umum, jika tidak ditentukan dalam perjanjian perkawinan bahwa “harta yang didapat di kemudian hari yang berasal dari pewarisan atau hibah, maka akan menjadi hak bersama” atau ditentukan yang berbunyi seperti itu.

Secara hukum harta yang berasal dari pewarisan atau hibah TIDAK termasuk harta bersama, jadi harta tersebut tidak termasuk hak dari istri, maka apabila suami ingin menjaminkan Hak atas Tanah yang berasal dari hibah tersebut, tidak memerlukan persetujuan apapun dari anak-anak sebagai Ahli Waris karena tanah tersebut secara hukum merupakan hak sepenuhnya dari suami, sehingga suami dapat melepaskan, menyewakan, menjaminkan hak atas tanah yang diperoleh dari hibah tersebut.

Bali, 5 Mei 2025

 

I Made Pria Dharsana

Releated Posts

Follow Us Social Media

ADVERTISMENT

Are You Ready to Explore the Renewed JupiterX with Advanced User Experience?

Trending Posts

Recent Posts

ADVERTISMENT