(Denpasar,- Notarynews) Indonesia menegaskan dirinya sebagai ”Negara Agraris” dan menempatkan tanah pada kedudukan yang teramat penting. Begitu pentingnya tanah, sehingga konstitusi memberikan amanat kepada negara untuk melindunginya. Hal ini dinyatakan secara tegas dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan bahwa ”Bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Mandat konstitusional tersebut mengamanatkan kepada negara bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan tanah sebagai bagian dari bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang ada di Indonesia harus dan wajib untuk dikelola dan dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Indonesia.

“Kalau berbicara mengenai tanah urgensinya tinggi sekali dan kita tidak bisa lepas baik itu sebagai pribadi, masyarakat maupun bangsa dan sebagainya Dan kita sangat bergantung, oleh karena itu pintar-pintarlah mengatur tanah dengan makna hidup tanah itu Ibu Pertiwi,” ujar Ketua Prodi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Udayana (Kaprodi MKn FH Unud) Bali, Prof. Dr. Made Subawa, SH, MS dalam sambutannya pada acara seminar dan bedah buku yang diselenggarakan oleh Prodi MKn FH Unud bekerjasama dengan Pengurus Wilayah Bali Ikatan Notaris Indonesia (Pengwil Bali INI) yang mengusung tema Perkembangan Hukum Indonesia Dalam Persepektif Tanah, Penanaman Modal dan Hak Kekayaan Intelektual”.

Prof Made Subawa dalam sambutannya menekankan perlu kehati-hatian bagi pihak pemerintah terkait dalam hal pemanfaatan tanah dari penanam modal dalam berinvestasi di wilayah Bali khususnya. “Kita tidak perlu membatasi investor menanam modal, namun perlu dibatasi tanah mana yang bisa dikormersiilkan. Kalau di Bali, identitas tanahnya sangat banyak, ada Duwen Pura, Karang Pura, Duwen Desa, dan lain sebagainya. Tentunyan harus hati-hati karena berbeda pemanfaatan tanah di Balu dengan cerah lainnya,” imbuh Prof Made Subawa.

Sambutan selanjutnya, Dekan FH Unud yang di wakili Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH.MH selaku Wakil Dekan Bidang Akademik dan Perencanaan menegaskan bahwa hukum tanah di Indonesia merupakan sesuatu yang sudah urgensi untuk di selesaikan karena terlalu banyak permasalaha-permasalahan dalam bidang pertanahan yang harus diselesaikan dari segi pemanfaatannya.
“Nah untuk itu, buku-buku yang sudah diselesaikan oleh para penulis dan akan dibedah hari ini bisa memberikan petunjuk maupun jalan keluar bagi masyarakat maupun para praktisi dan akademisi dalam penyelenggaraan pemanfaatan tanah sebagai kepentingan ekonomi maupun kepentingan masyarakat pada umumnya.
Disamping itu, lanjut Wakil Dekan FH Unud ini. sebagaimana kita ketahui juga bahwa kekayaan intelektual itu tidak bisa juga di kesampingkan tapi merupakan sesuatu yang sangat-sangat urgent yang harus menjadi perhatian bagi kita.
Karena menurut Dewi Kasih, terlalu banyak masyarakat kita yang memang belum mendapatkan perlindungan atas Hak Kekakayaan Intelektualnya (HKI).
“Jadi ada beberapa riset yang menunjukan bahwa perlunya perlindungan hukum beberapa karya-karya di seluruh Indonesia termasuk di Bali yang belum mendapatkan perlindungan atau di daftarkan oleh masyarakat karena ketidaktahuannya bahwa karya itu milik mereka. Baru setelah itu, terus kebakaran jenggot,” terang Dewi Kasih.

Bertindak sebagai Keynote Speech, Dr. Made Gde Subha Karma Resen,SH.MKn dalam paparannya mengungkapkan bahwa persoalan tanah amatlah penting karena memiliki ikatan sosio religius yang ada dalam masyarakat.
Mengutip ungkapan, dari Konfusius alias Confusius tokoh filsafat yang ajarannya menjadi panutan banyak orang di dunia, Suba Karma menyampaikan bahwa, ketika kita ingin membangun, yang kita butuhkan itu adalah, bukan papan, bukan kayu, tetapi lahan.
“Artinya, kalau kita bicara kulit bumi yang terluar adalah tanah, dan itu memiliki makna yang luar biasa, terutama di Indonesia, tapi kali ini kita bukan bicara semata-mata soal investasi, tapi kita juga harus bicara soal ikatan sosio religius yang sangat kuat khususnya di Bali,” tegasnya.
Melangkah kepersoalan pada penanaman modal, ditegaskan Subha Karma tentu saja tidak bisa dilepaskan dari percakapan tanah. Dosen Ilmu Hukum FH Unud ini pun teringat pada kuliahnya, terkait dengan Hukum Pembangunan Ekonomi bahwa ada suatu klasifikasi yang digambarkan di dunia ini bahwa ada dua pembagian tipe negara dalam konteks ekonomi yaitu negara maju dan negara berkembang.
“Dalam konteks ini yang yang menjadi hal penting adalah soal keunggulannya. Kalau negara maju memiliki skill, modal, dan capital yang memiliki human resources yang kuat. Sedangkan negara berkembang memiliki sumberdaya alam dan sumber daya manusia,” ujarnya.
“Inilah yang kemudian menyebabkan dalam konteks penanan modal, seolah-olah penanaman modal itu tertujunya kepada negara-negara berkembang seperti Indonesia. Karena disini sumber daya alamnya banyak, yang bisa dieksploitasi, lahannya luas bisa digunakan gudang dan lain sebagainya, atau pabrik-pabrik dibangun,” ungkapnya.
Menengok kebelakang soal perjalanan hukum pertanahan di negara Indonesia, menurut Subha Karma sangat dramatis dan luar biasa. Karena dampaknya mengakibatkan terjadinya pertumpahan darah di mana-mana, perang, begitupun pada masa kolonialisme.

Lebih jauh Subha Karma mengungkapkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) merupakan produk legislasi pertama Indonesia yang sampai saat ini masih bertahan. Di sanalah rezim-rezim pendaftaran tanah menjadi sangat penting memberikan klasifikasi-klasifikasi hak atas tanah, dan tentu saja hak-hak milik atas tanah.
“Dari sinilah sering terjadi objeknya yang tidak halal, klausal yang palsu dan timbul persoalan-persoalan hukum dalam praktiknya pendaftaran tanah memiliki tujuan untuk kepastian hukum, nyatanya sampai saat ini tanah-tanah tersebut masih belum terdaftar,” ujar Subha Karma.
Sumbang Pemikiran P3ATI Bagi Perkembangan Hukum Pertanahan Di Indonesia
Dalam kesempatan terpisah Ketua Umum Perkumpulan Pemerhati Pertanahan dan Agrarian Terpadu Indonesia (P3ATI), Dr. I Made Pria Dharsana. SH, M.Hum kepada Notarynews yang dihubungi via seluler pada (19/1) pukul 16.30 Wit menegaskan bahwa P3ATI melalui penerbitan buku-buku terkait pertanahan diharapkan bisa memberikan sumbang pemikiran terhadap dunia pertanahan.

Made Pria berharap melalui book chapter dengan judul Tanah, Rakyat dan Penanaman Modal Pasca Undang-Undang Cipta Kerja” bisa memberikan gambaran yang lebih mendalam dan menyeluruh terkait akar persoalan tanah, perubahan paradigma dan pendekatan holistic, dan penguatan kelembagaan pertanahan sehingga menjadi pertimbangan pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan dibidang pertanahan.
Dalam kaitan itu, P3ATI berharap bisa mendorong perubahan paradigma para elite politik dan jajaran kepemimpinan di birokrasi dan melihat dan menyikapi persoalan pertanahan yang semakin berat tantangannya menghadapai era 5.0.

Book Chapter ini merupakan gagasan besar dari P3ATI dengan menghimpun karya ilmiah hasil penelitian dan gagasan konsptual yang berkaitan dengan ilmu hukum, khususunya berbagai perkembangan hukum pertanahan, serta problemetika hukum pertanahan di lapangan.
Diungkapkan Made Pria, book chapter kali ini merupakan kumpulan atas tulisan dan pemikiran-pemikiran para akademisi dan praktisi hukum yang terdiri dari para dosen, pengacara dan Notaris – PPAT. Seluruh tulisan dalam Book Chapter ini pada intinya berupaya mengupas tuntas berbagai kondisi realita, harapan, tantangan dan pembaharuan hukum pertanahan guna mencapai tujuan pembangunan dan menarik investasi dan penanaman modal di Indonesia.
Menurut Made, buku ini sangat aktual dan bisa menjadi satu referensi untuk dibaca siapa saja yang berisi 12 materi pokok bahasan dalam tulisan ini yang terkait erat dengan masalah pertanahan yakni : Politik Hukum Pertanahan Terkini, Tanah dan Rakyat, Tanah dan Penanaman Modal, Penguasaan Orang atau Badan Hukum Asing Atas Tanah, Penguasaan Tanah oleh Para Pihak Penanaman Modal, Bank Tanah Dalam Persepektif Pengaturan Penguasaan Tanah Yang Berkeadilan, Landreform Pengaturan Penguasaan Tanah Suatu Keniscayaan, Hak Pengelolaan (HPL) Atas Hak Ulayat Anatara Penguatan Penggerusan Hak, Mengkaji Hak Atas Ruang Bawah Tanah sebagai Pengembaqng Hak Atas Tanah, mengindentifikasi Mafia Tanah dan membuka Kemungkinan Perseroan Terbatas Perorangan Berhak Aatas Tanah Berdasarkan UUPA.
Made Pria mengharapkan P3ATI bisa berkonstribusi kepada Pemerintah yang diharapkan kedepan mampu menyelesaikan konflik agraria, termasuk di antaranya ketimpangan penguasaan tanah, tumpang tindih dan juga mafia tanah yang tahun 2022 lalu cukup marak dan menyita perhatian publik.
P3ATI juga berharap layanan pertanahan di Kementerian ATR/BPN dapat memegang prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik atau “Good Government Governance (GGG) yang menghendaki kepatuhan terhadap undang-undang serta peraturan ditambah nilai-nilai yang baik dengan tata kelola pemerintahan yang baik. Dengan begitu, harapannya melalui penerapan prinsip dimaksud dapat meningkatkan kepercayaan publik. Publik dalam hal ini tentunya dapat berupa bermitra pmerintah, baik sebagai investor, kreditur maupun masyarakat umum. Bagi stakeholders, bidang pertanahan dan kemudahan berusaha dalam berinvestasi (penanaman modal), tata pemerintahan yang baik adalah satu hal yang mutlak untuk dijadikan sikap atau keputusan dalam masalah bidang pertanahan. Tentunya, para investor akan merasa lebih aman dan nyaman karena lembaga pertanahan dijalankan dengan prinsip yang mengutamakan kepentingan semua pihak dan bukan pihak teretentu saja. (Pramono)