(Bandung – Notarynews) Apakah ada urgensinya perlindungan Jabatan Notaris diusulkan masuk dalam RUU KUHP? Menurut Hakim Agung (Kamar Pidana Mahkamah Agung RI) Dr. H. Prim Haryadi, S.H., M.H, naskah RUU KUHP belum mengatur secara khusus dan tegas mengenai Perlindungan Jabatan Notaris, khususnya mengenai larangan penjatuhan pidana terhadap profesi Notaris maupun perbuatan Notaris yang secara khusus dapat di pidana.
“Urgensinya tidak ada dan memang belum diperlukan. Dengan demikian, tidak perlu diatur secara khusus didalam RKUHP maka dikembalikan saja kepada ketentuan UUJN. Sebagaimana termuat didalam Naskah Akademik RUU KUHP,” ujar Prim Haryadi saat menyampaikan paparannya pada Seminar Nasional yang diselenggarakan Pengurus Wilayah Jawa Barat Ikatan Notaris Indonesia bekerjasama dengan Ikatan Keluarga Alumni Notariat Universitas Padjadjaran (IKANO UNPAD) pada Rabu ((3/8) bertempat di Grand Ballroom Savoy Homann, Jalan Asia Afrika 112, Bandung yang mengangkat tema besar: “Urgensi Perlindungan Jabatan Notaris Dalam RUU KUHP”

Prim Haryadi kemudian menjelaskan bahwa yang terpenting saat ini adalah penguatan terhadap UUJN. Harus diakui memang dalam penerapannya masih ada kendala dengan aparat penegak hukum, untuk itu perlunya organisasi Notaris melakukan penguatan terhadap UUJN.
“Kalau memang ada yang perlu penegasan maka perlu dikawal bersama. Kalau ada yang perlu disosialisasikan ya disosialisasikan dan kalau ada yang perlu di MoU kan yaa tentu dilakukan kerjasama dengan pihak-pihak terkait,” tegas Prim Haryadi.
Prim menilai ketentuan KUHP sekarang ini hanya menekankan pada kemungkinan pemalsuan yang khusus dilakukan oleh dokter (Pasal 267 dst KUHP). Tidak disebut tentang kemungkinan pemalsuan oleh pamongpraja terutama oleh Lurah dan Camat di samping oleh pejabat Agraria dan Notaris yang sekarang agak menonjol baik dalam soal tanah maupun dalam soal kewarganegaraan.
Hakim Agung MA ini mengungkapkan beberapa jenis tindak pidana yang rentan menjerat Notaris pada RUU KUHP yaitu terkait tindak pidana sumpah palsu dan keterangan palsu pada Pasal 295 ayat (1) Jo. Pasal 379 Jo. RKUHP, tindak pidana pemalsuan surat Pasal 397 sampai dengan Pasal 406 RKUHP, tindak pidana penggelapan Pasal 492 Jo. 497 RKUHP; tindak pidana perbuatan curang Pasal 498 Jo. 516 RKUHP; tindak pidana penggunaan ijazah atau gelar akademik palsu, Pasal 271 ayat (2) RKUHP.
Dia menyebutkan tolak ukur yang dapat membantu untuk mengetahui apakah terdapat sikap batin jahat (mens rea) dari seorang Notaris sebagai berikut: Apakah Akta disusun berdasarkan ketentuan UUJN, Akta bermasalah karena sepenuhnya kelalaian notaris dalam pembuatannya. Kesalahan para pihak yang tidak mau jujur dalam memberikan keterangannya di hadapan notaris. Adanya kesepakatan bernilai kejahatan yang sengaja dibuat antara notaris dengan pihak penghadap sejak awal. Misalnya dengan memberikan keterangan palsu di bawah sumpah sebagaimana diatur dalam pasal 242 KUHP.
Prim Haryadi menegaskan bahwa Notaris tidak dapat dimintakan pertanggung jawaban secara pidana selama Notaris telah melaksanakan tugas dan wewenangnya berdasarkan UUJN. Dan Notaris mampu membuktikan di persidangan bahwa apa yang dituangkan didalam akta tersebut adalah berdasarkan para pihak dan diketahui oleh para pihak serta telah disampaikan secara langsung yang dibuktikan dengan tanda tangan pada minuta akta yang tentu saja Notaris telah mempedomani UUJN
Namun begitu harus dipahami juga bahwa Notaris dapat dijatuhi pidana apabila dalam menjalankan kewenangan dan kewajibannya tidak jujur, tidak seksama, tidak mandiri, berpihak, dan tidak menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum Selain itu, Notaris dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya terbukti memiliki sikap batin jahat (mens rea)
“Hak Imunitas melekat pada Notaris yang melaksanakan kewajiban dan kewenangannya berdasarkan UUJN, Sebaliknya, Tidak ada satu profesi yang lepas dari pertanggung jawaban pidana apabila terbukti melakukan Tindak Pidana”, imbuh Prim Haryadi.

Hal senada juga disampikan oleh Ketua Dewan Penasehat Ikano Unpad, Badar Baraba, SH, MH, dalam RUU KUHP sudah tepat tidak mengatur secara khusus tentang Notaris, karena Notaris sudah diatur secara khusus dalam UUJN dan juga ruang lingkup Notaris dan Jabatan Notaris berada dalam lingkup hukum perdata sehingga sudah seharusnya Notaris berada pada ranah hukum perdata maka sanksi yang diterapkan harus sanksi perdata. Contoh; terhadap akta atau pembuatan akta, sanksi pembatalan akta, turun gradasinya menjadi akta dibawah tangan, terhadap notaris, teguran sampai dengan pemberhentian, juga – ganti rugi, biaya dan bunga.
“Berbeda halnya dalam Notaris melakukan tindak pidana berlakulah sanksi pidana yang berlaku bagi pelaku tindak pidana, termasuk Notaris tanpa pengecualian. Pengenaan pidana kepada Notaris harus sebagai ultimum remedium yang berarti bahwa Hukum Pidana hendaknya dijadikan sebagai upaya terakhir dalam hal penegakan Hukum,” tegas Badar..
Hanya saja, melihat latar belakang tersebut, lanjut Badar, Rancangan Undang-undang KUHP kita tetap perlu memberikan perlindungan kepada masyarakat lewat Notaris dan Jabatan Notaris. Akta otentik yang dibuat oleh Pejabat Umum (Notaris) Notaris tetap memerlukan untuk diberikan perlindungan untuk dapat menjalankan sesuai dengan apa yang ditentukan dalam Undang-undang.
Dan soal tanggung jawab Notaris, menurut Badar adalah Based On Fault, artinya seseorang Notaris baru dapat dimintakan pertanggung jawaban secara hukum jika ada unsur kesengajaan dan kesalahan yang dilakukan. Sedangkan dalam perkara pidana, yang dimaksud dengan kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum (keharusan-keharusan jabatan dan juga kepatutan). Inilah yang kemudian menjadi tugas Majelis Kehormatan Notaris (MKN) lah untuk meneliti apakah Notaris dalam menjalankan jabatan sudah sesuai atau tidak dengan perUndang-undangan dan keharusan-keharusan jabatan, ada atau tidak kesalahan dalam perbuatannya
Selanjutnya, jika melihat secara keseluruhan RUU KUHP dapat kita pahami RUU KUHP tidak memberikan perlindungan secara khusus kepada Notaris tetapi pasal 31 dan pasal 32 cukup dapat dijadikan perlindungan bagi Notaris.
“Kita semua mesti menyadari bahwa memberikan perlindungan kepada Notaris sejatinya memberikan perlindungan kepada masyarakat, melalui pembuatan alat bukti yang sah dan benar. Notaris dalam menjalankan jabatannya tidak boleh ragu apalagi takut, Notaris harus independen dan mandiri serta dapat dipercaya dan bertanggung jawab,” ujar Badar
Intinya, lanjut Badar RUU KUHP tidak mengatur secara khusus tentang pemindanaan dan perlindungan terhadap Notaris karenanya perlindungan terhadap Notaris terdapat dalam Undang-undang Jabatan Notaris sebagai Undang-undang yang mengatur Notaris. Undang-undang Jabatan Notaris memerintahkan kepada Notaris perlu diberikan perlindungan hukum yaitu melalui lembaga Majelis Kehormatan Notaris (MKN) yang dibentuk untuk memberikan perlindungan kepada Notaris melalui persetujuan atau penolakkan permintaan penyidik, penuntut umum atau Hakim sebagaimana terdapat dalam pasal 66.
Untuk itu, werda Notaris ini mengingatkan agar Majelis Kehormatan Notaris (MKN) harus menentukan dengan benar dan dapat dipertanggung jawabkan setiap persetujuan atau penolakkannya, sehingga persetujuan dan penolakkan Majelis Kehormatan Notaris (MKN) harus disertai alasan yang benar dan menurut hukum.
“Oleh Undang-undang Pasal 16 sebagaimana yang terdapat dalam konsiderans huruf b dan c UUJN, khususnya huruf c yang secara tegas memberikan perlindungan kepada Notaris. Konsiderans Huruf c memuat : bahwa Notaris sebagai Pejabat Umum yang menjalankan profesi dalam memberikan jasa hukum kepada masyarakat, perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum,” terang Badar.
Perlindungan kepada Notaris lanjut Badar dari kewenangan dan kewajiban-kewajiban tersebut seharusnya kepada Notaris diberikan perlindungan sekurang-kurangnya ada lima; pertama, untuk tetap dapat menjaga keluhuran harkat dan martabat jabatannya,termasuk ketika memberikan kesaksian dan berproses dalam pemeriksaan. Kedua, untuk dapat selalu menjaga kerahasiaan segala sesuatu mengenai aktayang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan kewajiban Notaris baik sesuai dengan Undang Undangmaupun sumpah jabatannya, kecuali Undang Undang menentukan lain. Ketiga, untuk dapat menjaga minuta dan/atau surat-surat yang dilekatkan padaminuta akta atau protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris. Keempat, bekerja dengan tenang, tanpa takut atas tekanan atau kekhawatiran lain agar Notaris dapat membuat akta demi tercapainya kepastian hukum. Dan kelima, tetap beranggapan Notaris bukan pihak dalam akta otentik, akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris.(Pramono)